Donasi untuk situs islamqa.info

Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah

Kaidah ‘Hukum Asal Terhadap Benda Adalah Boleh’

25-02-2021

Pertanyaan 231261

Sampai sejauhmana kita dapat mempraktekkan kaidah bahwa ‘hukum asal atas benda adalah dibolehkan’ ketika hal tersebut terkait dengan masalah makanan, pakaian dan sabun?

Contoh: Bagaimana saya bersikap ketika saya membeli bahan makanan yang tidak tercantum rincian daftar kandungannya? Begitupula terhadap semua benda yang tidak saya ketahui bahan-bahan dasarnya atau tidak terdapat informasi rinci tentang benda tersebut?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Para ulama telah menetapkan kaidah ‘Al-Ashlu alal asya’i al-ibahah’ (asal hukum atas benda adalah boleh) sebagai kesimpulan atas dalil-dalil syari’at, yaitu; Kitabullah, sunah rasulNya, mengikuti jalan kaum beriman

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, “Ketahuilah, asal hukum semua benda yang ada dengan segala perbedaan sifat dan jenisnya adalah halal secara mutlak bagi manusia, dan bahwa dia suci, tidak haram dikenakan dan digunakan serta disentuh. Ini merupakan ungkapan yang bersifat umum, menyeluruh dan patokan agung yang besar manfaatnya, luas barokahnya, jadi rujukan para pemerhati syariat terhadap berbagai praktek yang tak terhitung dan kasus di tengah masyarakat. Kaidah ini didasari oleh dalil yang sepuluh, sesuai yang aku ketahui dalam syariat, yaitu; Kitabullah, sunah rasulNya yang terkandung dalam firman Allah Taala,

أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم

“Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) serta ulil amri di antara kalian.” (QS. An-Nisa: 59)

Dan firmanNya,

إنما وليكم الله ورسوله والذين آمنوا

“Sesungguhnya penolong kami hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman.” (QS. Al-Maidah: 55)

Kemudian, qiyas, I’tibar, manahijurra’yi dan ishtibshar.”

(Majmu Fatawa, 21/535)

Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan dalil-dalil semua itu, bagus jika kitab tersebut ditelaah kembali.

Makna kaidah ini adalah bahwa semua yang ada di muka bumi berupa berbagai manfaat dan apa yang dihasilkan manusia darinya, maka memanfaatkannya dibolehkan, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.

Kedua:

Terkait makanan dan minuman serta bahan-bahan pembersih, maka kaidah ini berlaku pada semua perkara yang tidak dijelaskan dalam nash syariat. Dikecualikan dari hal itu dua perkara;

Pertama:

Benda-benda yang mengandung bahaya yang jelas pengaruhnya. Karena benda yang berbahaya, hukum asalnya adalah haram. Tidak termasuk dalam kaidah ‘Hukum asal pada setiap benda adalah boleh’.

Allah Taala berfirman,

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ (سورة  البقرة: 195)

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah: 195)

وَلَا تَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا  (سورة النساء: 29)

“Janganlah kamu membunuh diri kamu sendiri, sesungguhnya Allah maha pengasih kepada kalian.” (QS. An-Nisa: 29)

Abu Said Al-Khudry radhiallahu anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dia bersabda,

لا ضَرَرَ ولا ضِرارَ  

(رواه الحاكم، 2 / 57 – 58 وقال صحيح الإسناد على شرط مسلم ، وصححه الألباني في " سلسلة الأحاديث الصحيحة، 1 / 498)

“Tidak boleh melakukan sesuatu yang berbahaya dan membahayakan.” (HR .Hakim, 2/57-58, dia berkata, sanadnya shahih berdasarkan syarat Muslim, dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 1/498)

Syekh mufassir Amin Asy-Syinqithi rahimahullah telah mengkaji masalah ini, dia berkata, “Jika di dalamnya terdapat bahaya yang tidak terselubung manfaat, maka dia diharamkan, berdasarkan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Tidak boleh melakukan sesuatu yang berbahaya dan membahayakan.” Jika pada benda itu memiliki manfaat di satu sisi dan bahaya di sisi lain, maka dalam hal ini ada tiga kondisi;

Pertama: Manfaatnya lebih besar dari bahayanya.

Kedua: Sebaliknya.

Ketiga: Sama derajatnya.

Jika bahayanya lebih besar dari manfaatnya, makan terlarang, berdasarkan hadits, karena menolak kerusakan didahulukan daripada mendatangkan manfaat.

Jika manfaatnya lebih besar, maka pendapat yang lebih kuat adalah dibolehkan. Karena kaidah yang berlaku dalam ushul fiqih adalah bahwa ‘Maslahat  yang kuat didahulukan daripada kerusakan yang tidak kuat’ (Adhwa’ul Bayan, 7/793-794)

Kedua:

Hukum asal pada sembelihan adalah haram. Karena sembelihan asalnya tidak boleh dimakan, kecuali jika telah diyakini bahwa dia disemebelih dengan memenuhi syarat-syaratnya.

Al-Khatabi rahimahullah berkata, “Adapun sesuatu, jika asalnya adalah dilarang, tapi dibolehkan berdasarkan syarat-syarat atau cara tertentu. Seperti kemaluan misalnya, tidak dihalalkan kecuali setelah pernikahan atau perbudakan.  Seperti kambing, dagingnya tidak halal kecuali disembelih. Apabila seseorang  ragu adanya syarat-syarat (penyembelihan), sedangkan dia mendapatinya dengan yakin sesuai ciri-ciri yang menjadi tanda kehalalannya, maka hewan tersebut masih tetap dalam hukum asalnya, yaitu haram.” (Ma’alim Sunan, 3/57)

Akan tetapi, cukup kita meyakini kehalalannya dengan mengetahui bahwa penyembelihnya adalah seorang muslim atau dari kalangan ahli kitab (Yahudi dan Nashrani), setelah itu tidak disyaratkan meneliti cara menyembelihnya. Sebagaimana telah dijelaskan dalam fatwan no. 223005 .

Berdasarkan hal tersebut, maka sembelihan-sembelihan yang terdapat di negeri-negeri Islam, atau negeri Ahli Kitab, dihukumi halal, kecuali jika kita dapat membuktikan bahwa hewan tersebut disembelih dengan cara bertentangan dengan syariat Islam, seperti dicekik, setrum listrik, atau disembelih tidak menyebut nama Allah dan semacamnya.

Produk yang tidak ada petunjuk dalil syar’i bahwa dia diharamkan, atau tidak ada petunjuk kandungan yagn diharamkan atau berbahaya, maka kita menghukuminya sebagai halal dan suci. Hukum asalnya  tidak berubah hanya karena ragu atau informasi yang tidak kuat.

Jika kandungan suatu makanan tersebut berasal dari barang haram, apakah seluruh makanan tersebut haram dimakan? Perkara ini ada penjelasannya secara terperinci sebagaimana telah dijelaskan dalam fatwa no. 114129 .

Kesimpulannya, jika kandungan barang yang haram itu masih ada zatnya, maka dia haram dimakan. Jika benda tersebut telah berubah menjadi benda lain karena sebab reaksi atau proses tertentu, sedangkan unsur haram pada benda pertama tidak lagi tersisa zatnya, maka pendapat yang kuat di antara pendapat para ulama adalah bahwa makanan tersebut boleh dikonsumsi.

Ketiga:

Terkait pakaian, maka dia masuk dalam kaidah ‘Hukum asal dalam segala perkara adalah boleh’. Maka asalnya dia adalah halal kecuali yang dikecualikan syariat, seperti sutera yang diharamkan bagi laki-laki. Sebagian kulit yang tidak suci kecuali dengan disamak. 

Wallahu a’lam.

Adat / Kebiasaan
tampilan di situs islamqa.info