Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Bagaimanakah hukumnya seseorang suatu ketika berucap dengan kata “melaknat agama” namun tidak menyempurnakannya ?, dan apa perbedaan antara gugurnya amal dan gugurnya pahala amal ?, saya telah mendengar bahwa orang yang murtad jika ia bertaubat maka amalnya akan tetap bersamanya, namun pahala amalnya yang hilang ?!
Alhamdulillah.
Pertama:
Mengumpat agama adalah bentuk pemurtadan dalam agama, dan kekufuran kepada Allah Yang Maha Agung.
Dan barang siapa yang mengucapkannya dalam kondisi marah “melaknat agama” namun tidak menyempurnakannya, maka tidak termasuk orang yang melaknat dan mencela agama, maka ia hendaknya beristighfar dan tidak ada konsekuensi apapun baginya, dan menahan amarahnya setelah itu, agar tidak terperosok pada kebinasaan.
Kedua:
Perbedaan antara gugurnya amal dan gugurnya pahala amal, bahwa gugurnya amal itu adalah batalnya amal, dan konsekuensinya gugurnya pahalanya, adapun gugurnya pahala amal, bahwa seseorang itu tidak mendapatkan pahala dari amalnya, dan tidak serta merta amalnya menjadi batal, bisa jadi amalnya tetap sah namun tidak ada pahalanya karena menjadi sanksi atas maksiat yang telah dilakukan oleh manusia.
Al Khatib As Sarbini –rahimahullah- berkata:
“Gugurnya pahala amal tidak berarti gugurnya amal, dengan alasan bahwa shalat di atas lahan curian tetap sah dan tidak perlu mengqadha’ shalat tersebut, namun tidak ada pahala pada shalatnya, menurut pendapat kebanyakan para ulama”. (Mughni al Muhtaj: 5/427)
Bisa jadi seorang hamba melakukan amalan, secara umum sah namun tidak berpahala, dan karena sudah gugur kewajiban beramal baginya, dan tidak diminta untuk mengulanginya lagi.
Ulama Lajnah Daimah lil Ifta’ berkata:
“Muslim telah meriwayatkan di dalam kitab Shahihnya dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda:
من أتى عرافا فسأله عن شيء لم تقبل له صلاة أربعين ليلة
“Barang siapa yang telah mendatangi peramal/dukun dan bertanya tentang sesuatu kepadanya, maka shalatnya tidak diterima selama 40 hari”.
Maksud dari hadits di atas menurut para ulama adalah menghilangkan pahalanya, bukan menghapus sahnya shalat, dan karenanya peminum khomr, pelaku dosa akut dan orang yang mendatangi peramal/dukun dan bertanya sesuatu kepadanya tidak diperintah untuk mengulangi shalat”. Selesai. (Fatawa Lajnah Daimah: 5/144)
Maka barang siapa yang mendatangi peramal/dukun dan ia melaksanakan shalat, maka kewajiban shalatnya sudah gugur dan amalnya tidak gugur, akan tetapi tidak ada pahalanya selama 40 malam, maka pahala dari amal itu yang gugur.
Ibnu Majah (4002) telah meriwayatkan dari Abu Hurairah berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ تَطَيَّبَتْ، ثُمَّ خَرَجَتْ إِلَى الْمَسْجِدِ، لَمْ تُقْبَلْ لَهَا صَلَاةٌ حَتَّى تَغْتَسِلَ
وصححه الألباني في " صحيح ابن ماجة
“Wanita mana saja yang memakai parfum, kemudian keluar ke masjid, maka shalatnya tidak diterima sampai ia mandi”. (Telah ditashih oleh Albani di dalam Shahih Ibnu Majah)
Al Manawi –rahimahullah- berkata:
“Bahwa shalatnya tidak diberi pahala selama ia dalam kondisi berparfum, akan tetapi shalatnya sah dan tidak perlu lagi mengqadha’nya, kewajiban shalatnya sudah gugur, maka disampaikan dengan meniadakan pahalanya dengan tidak diterima untuk menakut-nakuti dan sebagai efek jera”. (Faidhul Qadiir:3/155)
Dan telah disebutkan di dalam Mir’atul Mafatih (4/56):
“Mendapatkan pahala itu lebih khusus dari pada diterimanya (amal), karena tidak medapatkan pahala tidak mesti tidak diterima amalannya, diterimanya amal itu menjadi sebab gugurnya kewajiban, dan diterimanya amal itu menjadi sebab adanya pahala”.
As Safiri –rahimahullah- berkata di dalam Syarah Al Bukhori (2/254):
“Diterimanya amal itu maksudnya menurut syari’at adalah mendapatkan pahala, dan tidak mendapatkan pahala tidak mesti tidak sah, akan tetapi tidak berpahala tapi tetap sah, dalilnya sahnya shalatnya seorang hamba yang melarikan diri, dan shalatnya peminum khomr jika ia sedang tidak mabuk, selama di dalam tubuhnya masih ada sisanya, shalatnya seseorang di lahan hasil curian, menurut Syafi’iyyah, maka masing-masing dari mereka tidak berpahala. Maksudnya adalah amalannya tetap sah, dan saat itu bisa dipastikan tidak adanya amal maka tidak sah”.
Ketiga:
Orang yang murtad jika ia bertaubat, maka amal shalehnya pada saat ia dalam kondisi berislam tidaklah gugur. Ulama Lajnah Daimah lil Ifta’ berkata:
“Barang siapa yang murtad dari Islam kemudian kembali lagi maka amal shaleh sebelumnya tidak gugur selama masa Islamnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al Baqarah: 217)
Allah telah memberikan syarat akan gugurnya amal adalah wafatnya pelakunya dalam kekafiran”. (Fatawa Lajnah Daimah: 2/102)
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa amalnya tetap ada dan pahalanya saja yang tidak ada, maka pendapat yang tidak benar.
Wallahu Ta’ala A’lam