Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Apa maksud kedua tangan Allah itu kanan? Apakah ini hakikat atau kabar majaz (kiasan) saja? Seperti yang ada dalam hadits shahih, mohon penjelasannnya.
Pertanyaan kedua, “Ketika witir tiga rokaat dengan satu tasyahud imam tidak membaca qunut pada rakaat ketiga, dia mengatakan ini juga termasuk sunah? Apakah Nabi sallallahu alaihi wa sallam pernah meninggalkan qunut dalam shalatnya? Mohon dijelaskan.
Alhamdulillah.
Pertama:
Allah mempunyai dua tangan yang mulia. Sebagaimana yang Allah kabarkan dalam Kitab-Nya dan lewat lisan Rasul-Nya sallallahu alaihi wa sallam serta telah menjadi kesepakatan (konsensus) para ulama salaf. Dan salah satu tangannya itu kanan, apakah yang lainnya dinamakan kiri?’
Dalam hal itu para ulama ahlus sunah berbeda pendapat, karena perbedaan tentang sah tidaknya terkait tambahan yang ada dalam riwayat Muslim, no. 2788. Yaitu dalam perkataan: ‘Kemudian bumi digulung dengan tangan kiri-Nya.’ Di antara ulama ada yang menyatakan shahih dan ada pula yang mengatakan bahwa dia adalah syaz (nyeleneh).
Pendapat yang kuat, tambahan itu adalah shahih. Jika dikatakan bahwa salah satu tangan-Nya adalah kiri itu hanya dari sisi penamaan saja, akan tetapi ia adalah kanan yang penuh keberkahan dari sisi maknanya.
Hal itu karena kiri bagi makhluk merupakan sesuatu yang kurang dibandingkan dengan yang kanan. Akan tetapi bagi kholiq (pencipta) tidak seperti itu. Maka sifat-Nya itu sangat sempurna sekali dan lagi agung. Dan kedua tangannya itu kanan dari sisi maknanya.
Syekh Bin Baz rahimahullah mengatakan, “Semuanya itu haditsnya shahih menurut ulama sunah, hadits Ibnu Umar sampai kepada Nabi juga shahih, bukan hadits yang sampai shahabat (mauquf). Dan tidak ada perbedaan alhamdulillah. Allah Subahanahu disifati tangannya dengan kanan dan kiri dari sisi nama. Sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar dan keduanya itu kanan yang penuh keberkahan dari sisi kemuliaan dan keutamaan. Sebagaimana dalam hadits shahih yang lainnya. (Majmu Fatawa Syekh Ibnu Baz, 25/126).
Kedua:
Siapa yang shalat witir dengan tiga rakaat, dia diperbolehkan salam setelah dua rakaat dan diperbolehkan melanjutkan tiga rakaat dengan satu salam di akhirnya. Namun jangan menyerupai shalat magrib (shalat tiga rakaat dengan tasyahud awal).
Ketiga:
Qunut dalam shalat witir itu sunah berdasarkan hadits Hasan bin Ali radhiallahu anhu berkata:
“Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam mengajarkan kepadaku beberapa kalimat yang saya baca ketika qunut witir,
اللهم اهدني فِيمَنْ هَدَيْتَ ، وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ ، فإِنَّكَ تَقْضِي وَلا يُقْضَى عَلَيْكَ ، وَإِنَّهُ لا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ ، وَلا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ (رواه أبو داود، رقم 1425، والترمذي، رقم 464 وحسنه، وصححه ابن عبد البر في الاستذكار، 2/285، والنووي في الأذكار، رقم 86)
”Ya Allah berikanlah petunjuk untuk diriku bagi yang Engkau beri petunjuk. Dan ampuni saya diantara orang yang Engkau ampuni. Dan palingkan diriku diantara orang-orang yang Engkau palingkan. Dan berikan keberkahan terhadap apa yang Engkau berikan. Dan jagalah diriku dari kejelekan apa yang Engkau takdirkan. Sesungguhnya Engkau yang menentukan dan tidak ada yang mampu mengalahkan diri-Mu. Sesungguhnya tidak ada orang hina siapa saja yang Engkau berikan kekuasaan dan tidak ada kemulyaan orang yang Engkau musuhi. Keberkahan dan ketinggian hanya milik-Mu wahai Tuhan Kami.
(HR. Abu Daud, no. 1425, Tirmizi, no. 464, dia menyatakan hasan. Dishahihkan oleh Ibnu Abdul Bar dalam Al-Istidzkar, 2/285 dan Nawawi dalam Al-Azkar, no. 86)
Tidak ada dalam sunah bahwa beliau melakukan dan meninggalkan. Seperti inilah nash yang jelas dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam, meskipun sebagian para ulama mengambil hal itu dalam rangka mengumpulkan hadits-hadits yang ada terkait dengan shalat witirnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam.
Al Albani rahimahullah mengatakan dalam kitabnya Sifatus Sholatin Nabi sallallahu alaihi wa sallam, hal. 160, “Dahulu Nabi sallallahu alaihi wa sallam terkadang qunut. Kenapa kita katakan ‘terkadang’ karena para shahabat meriwayatkan witir tanpa menyebutkan qunut di dalamnya. Jika Nabi sallallahu alaihi wa sallam melakukannya terus, mereka pasti menukilkan semuanya dari beliau.
Memang ada riwayat dari Ubay bin Ka’b sendiri, hal itu menunjukkan bahwa beliau terkadang melakukannya.
Terdapat dari Ubay bin Ka’b radhiallahu anhu dari para shahabat bahwa mereka qunut selama Ramadan penuh, sebagian ulama menganjurkan kepada Imam agar sesekali meninggalkannya agar diketahui bahwa hal itu tidak wajib.
Ibnu Abdul Bar rahimahullah mengatakan, “Diriwyatkan qunut di pertengahan akhir Ramadan, dari Ali dan Ubay bin Ka’b, Ibnu Umar, Ibnu sirin, Tsaury, Zuhri, Yahya bin Watsab. Ibnu Mundzir mengatakan, “Juga (berpendapat demikian) Malik, Syafi’i serta Ahmad.”
Dari hasan, dia berkata, “Umar memerintahkan Ubay bin Ka’b menjadi imam shalat, maka ketika telah melewati pertengahan bulan untuk menyambut pertengahan akhir, malam keenambelas, mereka qunut dan berdoa untuk keburukan kaum kafir.”
Ibnu Juraij berkata, saya berkata kepada Atho’, “Qunut di bulan Ramadan?” Dia berkata, “Orang yang pertama kali qunut itu Umar,” saya mengatakan, “Pada pertengahan akhir?” Dia berkata, “Ya.” (Al-Istizkar, 2/76,77).
Syaikhul Islam Ibnu Timiyah rahimahullah mengatakan, “Adapun terkait dengan qunut witir, para ulama ada tiga pendapat. Ada yang berpendapat, tidak dianjurkan sama sekali, karena hal itu tidak ada ketetapan dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau qunut di witir.
Ada juga yang berpendapat, “Justeru disunahkan pada semua shalat sunah. Sebagaimana dinukilkan dari Ibnu Mas’ud dan lainnya. Karena di kitab sunan sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam mengajarkan Hasan bin Ali radhiallahu anhuma doa yang dibaca ketika qunut witir.”
Ada juga yang berpendapat, “Sunah qunut di pertengahan akhir di bulan Ramadan, sebagaimana yang dilakukan oleh Ubay bin Ka’b.”
Pada hakekatnya permasalahan ini adalah bahwa qunut witir itu termasuk jenis doa yang seringkali di baca dalam shalat, siapa yang mau melakukan dipersilahkan dan siapa yang mau meninggalkan juga dipersilahkan. Sebagaimana seseorang diberi pilihan ketika witir, tiga atau lima atau tujuh rakaat. Sebagaiman ada pilihan kalau dia witir tiga rakaat, kalau mau diputus (dibagi dua) dan kalau dia mau dilanjutkan (langsung tiga).
Begitu juga doa qunut, kalau dia mau silahkan dilakukan, kalau dia mau silahkan ditingglkan.
Kalau dia shalat qiyam Ramadan, kalau dia qunut pada sebulan penuh, maka itu bagus. Kalau dia qunut di pertengahan akhir, juga bagus. Kalaupun dia tidak qunut sama sekali juga bagus. (Fatawa Al-Kubro, 2/119).
Syekh Ibnu Baz rahimahullah ditanya, “Tentang melanjurkan qunut pada witir di setiap malam apakah hal itu ada atsar dari ulama salaf kita?
Maka beliau menjawab, “Tidak mengapa hal itu, bahkan itu juga termasuk sesuai sunah. karena Nabi sallallahu’alai wa sallam ketika mengajarkan Husain bin Ali radhialla’nhuma qunut dalam witir tidak memerintahkan untuk meninggalkan sesekali. Dan juga tidak (memerintahkan) dilakukan terus menerus, maka hal itu menunjukkan diperbolehkan dua hal tersebut.
Oleh karena itu Terdapat ketetapan dari Ubay bin Ka’b radhiallahu anhu ketika shalat bersama para shahabat radhiallahu anhum di Masjid Rasulillah sallalahu alaihi wa sallam bahwa beliau terkadang meninggalkan qunut pada sebagian malam. Agar diketahui oleh orang-orang bahwa hal itu bukan suatu kewajiban. Wallahu waliyyut taufiq. (Fatawa Islamiyah, 2/159).
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “bagunys, sekali-sekali meninggalkan doa (qunut) agar orang-orang awam tidak menyangka bahwa doa itu wajib.” (Fatawa Ulama Al-Baladil Haram, 152).
Apa yang dilakukan oleh imam anda semua tidaklah mengapa, kalau maksud dari sunah adalah prilaku para shahabat, maka hal itu benar (shahih).
Wallahu a’lam