Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Apakah bagi lelaki dan wanita memungkinkan shalat dengan tetap memakai baju pelindung seluruh badan (APD)? Bagaimana seseorang dapat menyempurnakan bersuci sementara dia tetap memakai baju pelindung badan Ketika batal wudhunya dan tidak dapat membuka baju APD terutama para dokter yang sibuk memberikan pelayanan?
Alhamdulillah.
Pertama:
Tidak mengapa shalat dengan memakai baju pelindung dari virus (APD) meskipun wajah dan seluruh tubuhnya tertutupi selagi orang yang shalat mampu menempelkan hidung dan dahinya di tanah Ketika bersujud. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhori, (812) dan Muslim, (490) dari Ibnu Abbas radhiallahunahuma berkata, Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ
“Saya diperintahkan bersujud dengan tujuh anggota tubuh, di dahi dan memberikan isyarat ke hidungnya, kedua tangan, kedua lutut dan kedua ujung kakinya.
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Tidak diharuskan orang yang shalat bersentuhan langsung dengan anggota tubuh ini. Qodhi mengatakan, “Kalau sujud di atas sisa kain surban, atau buntalan atau ujung kainnya, maka shalatnya sah dalam satu Riwayat. Dan ini adalah mazhabnya Malik dan Abu Hanifah. Diantara yang memberikan keringanan bersujud di atas baju Ketika panas dan dingin adalah ‘Atho’, Thowus, Nakho’I, Sya’by, Al-Auza’I, Malik, Ishak dan Pengikut mazhab Abu Hanifah (lebih condong ke logika).
Sementara yang memberi keringanan boleh bersujud di atas surban adalah Hasan, Makhul, Abdurrahman bin Yazid. Sementara Syuraih memperbolehkan sujud di atas baju jubahnya. Selesai dari Mugni, (1/305).
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya tentang orang yang memakai kacamata besar sekali, tidak memungkinkan bersujud secara sempurna dengan seluruh anggota tubuh yang tujuh terkadang terhalangi sebelum hidungnya. Maka beliau menjawab,”Kalau hal itu menghalangi sampainya ujung hidung ke tanah waktu sujud, maka tidak diterima sujudnya. Hal itu karena yang membawa wajah adalah dua kacamata. Sementara keduanya bukan di ujung hidung bahkan keduanya menempel searah di kedua mata. Sehingga sujudnya tidak sah. Oleh karena itu orang yang memakai kacamata dan dapat menghalangi sampainya hidung ke tempat sujud, harus di lepaskan Ketika kondisi bersujud.” Selesai dari ‘Majmu Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, (13/186).
Dimakruhkan menutup hidung Ketika shalat, akan tetapi Ketika ada kebutuhan, yang makruh menjadi hilang.
Beliau mengatakan di kitab ‘Syarkhul Mumti’, (2/193), “Perkataan ‘Yang menutupi mulut dan hidungnya maksudnya dimakruhkan menutupi mulut dan hidungnya. Dengan menaruh gutroh (kain penutup kepala atau surban atau simagh (kain penutup kepala) ke mulut juga ke hidungnya. Karena Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menutup mulutnya waktu shalat. HR Abu Dawud, (643) Ibnu Majah (966) dengan sanad hasan. Juga karena hal itu menjadikan kesusahan dan tidak jelas keluarnya huruf Ketika membaca dan berzikir. Akan tetapi hal itu dikecualikan Ketika akan menguap dengan menutup mulutnya agar menahan tidak menguap. Hal ini tidak mengapa. Sementara kalau tidak ada sebabnya, maka hal itu dimakruhkan. Kalau disekitarnya ada bau busuk yang mengganggu Ketika shalat, dan membutuhkan penutup, maka hal itu tidak mengapa. Karena ada kebutuhan. Begitu juga kalau dia sedang flu dan dia mempunyai alergi kalau tidak ditutup mulutnya, ini juga termasuk kebutuhan diperbolehkan untuk menutup mulutnya. Selesai
Untuk faedah silahkan melihat jawaban soal no. (69855).
Kedua:
Tidak mengapa Ketika berwudhu dia memakai baju pelindung diri. Ketika memungkinkan membasuh semua anggota tubuh wudhu. Dan mengusap kepalanya. Meskipun dengan memasukkan tangannya dengan air ke dalam bajunya. Diperbolehkan mengusap dua khuf (kaos kaki dari kulit) sehari semalam kalau dia mukim dan tiga hari tiga malam kalau dia musafir.
Diriwayatkan oleh Bukhori, (363) dan Muslim, (274) dari Mugiroh bin Syu’bah berkata, dahulu saya Bersama Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu bepergian seraya beliau bersabda:
(يَا مُغِيرَةُ خُذِ الإِدَاوَةَ)، فَأَخَذْتُهَا، فَانْطَلَقَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى تَوَارَى عَنِّي، فَقَضَى حَاجَتَهُ، وَعَلَيْهِ جُبَّةٌ شَأْمِيَّةٌ، فَذَهَبَ لِيُخْرِجَ يَدَهُ مِنْ كُمِّهَا فَضَاقَتْ، فَأَخْرَجَ يَدَهُ مِنْ أَسْفَلِهَا، فَصَبَبْتُ عَلَيْهِ، فَتَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ ، وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ، ثُمَّ صَلَّى
“Wahai Mugiroh ambillah timba, maka saya mengambilnya. Sementara Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan sampai tidak terlihat dariku. Dan beliau menyelesaikan kebutuhannya. Dan beliau memakai jubah dari syam. dan mencoba mengeluarkan tangannya dari bajunya tapi kesempitan. Maka beliau keluarkan dari bawahnya. Dan saya siramkan air di atasnya. Dan beliau berwudhu untuk shalat. Dan mengusap di kedua khufnya (kaos kaki dari kulit) kemudian beliau menunaikan shalat. Sementara redaksi Muslim, “Beliau memakai jubah Syam dan sempit kedua tangannya.
Siapa yang mampu berwudhu dalam kondisi memakai baju pengaman, maka tidak mengapa. Dan siapa yang tidak memungkinkan, maka dia harus melepaskan agar sempurna bersucinya. Kalau terjadi kesulitan dan kepayahan apalagi bagi para dokter yang mengharuskan hal itu di banyak waktu, maka dia diperbolehkan menjama’ antara dua dhuhur (dhuhur dan Asar) dan dua isya’ (magrib dan isya’) baik di dahulukan atau diakhirkan waktunya (taqdim atau ta’khir). Karena diantara sebab dipebolehkan menjama’ adalah menghilangkan kesulitan dan kepayahan sebagaimana Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam memnberikan keringanan bagi wanita yang tekena istihadhoh dalam menjama’ karena kesulitan bersuci pada setiap shalat.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Mengqosor (memendekkan shalat) sebabnya khusus bepergian saja. Tidak diperbolehkan di selain bepergian. Sementara menjama’ sebabnya adalah karena ada kebutuhan dan uzur. Kalau dibutuhkan menjama’ dalam safar baik pendek maupun Panjang. Begitu juga menjama’ karena ada hujan dan semisalnya. Untuk orang sakit dan semisalnya. Dan sebab-sebab lainnya. Karena maksud dari semua itu adalah menghilangkan kesulitan dari umat ini.” Selesai dari ‘Majmu Fatawa, (22/293),
wallahu a’lam