Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Saya punya pertanyaan tentang perdagangan dan jasa. Ada seorang pemuda menawarkan pengajaran dengan konsep upah yang ditentukan perjam mengajar. Lalu ada kerabatnya yang meminta untuk mengajar anaknya, dia tidak menanyakan gajinya karena percaya dengannya. Orang itu memberi pinjaman sejumlah uang. Maka pemuda ini menentukan sendiri gaji perjamnya dan dia memulai menulis beberapa jam sampai akhirnya jumlah pertemuan sesuai dengan jumlah uang tersebut. Maka pertemuan berikutnya, orang tersebut dianggap memiliki kewajiban membayar lagi. Dan pemuda tidak memberitahunya jumlah upah yang harus dibayar perjamnya kepadanya. Kemudian dia mengetahui bahwa gaji yang telah ditentukan sendiri itu kecil, tidak sampai 60% dari gaji yang menjadi standar di sekitarnya dengan pelayanan yang sama. Pertanyaannya, apakah dia boleh menambah gajinya antara 75 % – 80 % dari gaji yang standar di daerahnya tanpa memberitahukan orang itu? Jika dibolehkan, apakah tambahan itu hanya berlaku untuk jam-jam mengajar berikutnya, bukan jam yang telah berlalu atau untuk semuanya?
Alhamdulillah.
Pertama:
Jika dalam kesepakatan tidak ada penentuan gaji dan pemuda sudah diketahui bahwa dia mengajar berdasarkan gaji –sebagaimana yang tampak- maka akad tersebut sah dan gaji pemuda diberikan dengan ukuran standar gaji yang umum diberikan di daerah itu untuk pekerjaan sejenis. Niat pemuda dalam dirinya tidak dijadikan rujukan.
Dalam kitab Ar-Raudhul Murbi, hal. 410 dikatakan, “Kalau dia masuk kamar mandi atau kapal laut) tanpa ada akad (atau dia memberikan bajunya kepada pemotong kain atau penjahit) agar dikerjakannya (tanpa ada akad, maka sah dengan gaji standar yang berlaku di daerah tersebut), karena kebiasaan yang berlaku dapat menggantikan kedudukan suatu ucapan. Begitu juga kalau dia menyerahkan barang kepada orang yang menjualnya atau memakai pekerja pembawa barang dan semisalnya, maka orang itu layak mendapatkan upah yang standar diberikan, meskipun kebiasaannya dia tidak mengambil upah.
Kalau dia ingin merelakan sebagian haknya dengan mengambil lebih sedikit dari yang semestinya, maka dia telah melakukan kebaikan kepada orang tua murid, dan hal itu tidak mengapa. Adapun jika ada tambahan dari standar upah untuk para pengajar di negerinya, maka hal itu tidak halal baginya kecuali jika ada kesepakatan yang jelas dengan orang tua murid.
Kedua:
Tidak sah menggabungkan antara upah jasa dengan utang. Berdasarkan sabda Nabi sallalahu’alaihi wa sallam:
لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ رواه الترمذي، رقم 1234، وأبو داود، رقم 3504، والنسائي، رقم 4611 وصححه الترمذي، والألباني
“Tidak halal (menggabungkan) antara utang dan jual beli.” (HR. Tirmizi, no. 1234, Abu Daud, no. 3504, Nasa’i, no. 4611, dinyatakan shahih oleh Tirmizi dan Albany)
Persewaan adalah menjual manfaat. Mayoritas ulama melarang menggabungkan antara berhutang dengan akad apapun yang mengandung imbalan seperti perantara (makelar).
Jika maksudnya memberikan sejumlah uang itu sebagai tahap awal pembayaran yang didahulukan maka hal itu tidak mengapa, jika upahnya telah diketahui. Adapun jika upahnya belum diketahui dan rusaknya akad sewa jasa, maka apa yang ada di tangannya dianggap amanah, kalau dia menggunakannya, maka hal itu dianggap sebagai utang.
Wallahu a’lam