Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Apakah hukum bekas Istijmar yang dima’fu (dimaafkan) apabila berpindah ke pakaian atau mengenai badan?
Alhamdulillah.
Para ulama berbeda pendapat tentang bekas Istijmar jika berpindah dari tempatnya ke badan atau pakaian.
Madzhab Hanafi berpendapat bahwasanya bekas najis yang tersisa setelah Istijmar dimaafkan (Ma’fu) jika berpindah ke pakaian dan badan.
Ibnu Al-Hammam Rahimahullah mengatakan, “Para ulama muta’akhirin (masa kini) berijma’ bahwasanya bekas Istijmar tidaklah najis jika terkena keringat, hingga jika misalnya keringat itu mengalir dan mengenai pakaian dan badan lebih banyak dari ukuran dirham. Tidak perlu dicegah.” (Fathul Qadir, 1/214).
Para ulama Muhaqqiq dari kalangan madzhab Syafi’i berpendapat bahwasanya sisa Istijmar dimaafkan (Ma’fu) apabila berpindah dari tempat semula menuju ke badan atau pakaian.
An-Nawawi Rahihamullah mengatakan, “Ada dua pendapat mengenai bekas Istijmar itu terkena keringat dan mencemari tempat Istinja’ dan lainnya. Akan tetapi pendapat yang lebih benar di sini adalah dimaafkan (Ma’fu) karena sulit untuk dihindari.” (Raudhatut Thalibin, 1/129).
Ar-Ramli Rahimahullah mengatakan, “Bekas tempat Istijmar dimaafkan berdasarkan bolehnya membersihkan kotoran hanya dengan batu, meskipun tempat Istijmar berkeringat dan bekas Istijmar itu mencemari bagian lainnya, karena memang sulit untuk dijauhi.” (Nihayatul Muhtaj, 2/25).
Madzhab Hambali berpendapat, menurut salah satu pendapat yang masyhur dalam madzhab itu, bahwasanya ia tidak dimaafkan (Ma’fu). Hal ini berdasarkan atas ucapan mereka bahwasanya Istijmar tidak bisa mensucikan tempatnya.
Pendapat kedua dalam madzhab Hambali menyatakan bahwasanya ia dimaafkan (Ma’fu) karena Istijmar dapat mensucikan tempatnya. Inilah pendapat yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan, “Najis-najis Mughalazhah dimaafkan karena tempatnya di dalam tiga poin. Pertama, tempat Istinja’. Bekas Istinja’ dimaafkan setelah tempat itu dibersihkan dan jumlah batunya terpenuhi, tanpa ada perbedaan yang kita ketahui tentang masalah itu.”
Para sahabat kami berbeda pendapat tentang kesucian bekas Istijmar.
Abu Abdillah bin Hamid dan Abu Hafsh bin Al-Muslim berpendapat bahwa ia suci. Inilah pernyataan dari Ahmad. Beliau pernah berkata mengenai orang yang Istijmar yang berkeringat di celananya, “Tidak apa-apa. Kalau seandainya najis, maka akan membuatnya najis. Hal itu berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengenai kotoran hewan dan abu kotoran, “Keduanya tidak suci.” Secara tersirat berarti selain keduanya suci. Dan karena Istijmar itu semakna dengan menghilangkan hukum najis, sehingga ia dapat menghilangkan najis, seperti layaknya air.
Para sahabat kami yang muta’akhirin (masa kini) mengatakan, ‘Tempatnya tidak suci, tetapi najis. Jika seandainya orang yang Istijmar duduk di air yang sedikit, maka akan membuatnya najis. Seandainya ia berkeringat, maka keringatnya najis, karena mengusap tidak menghilangkan semua bagian najis. Yang tersisa darinya adalah najis, karena ia adalah wujud najis itu sendiri, mirip dengan seandainya ia mendapati najis di tempat itu sendiri.’” (Al-Mughni, 2/486).
Syaikh Ibnu Utsaimin memilih pendapat bahwasanya sisa-sisa Istijmar yang sedikit dimaafkan (Ma’fu).
Syaikh Utsaimin Rahimahullah mengatakan dalam keterangannya terhadap Zadul Mustaqni’, “Bekas yang tersisa pada tempatnya setelah Istijmar dimaafkan, “Dari kata-katanya, ‘Pada tempatnya,’ diketahui bahwa apabila bekas yang tersisa itu melewati tempatnya, maka ia tidak dimaafkan, seperti kalau seandainya ia berkeringat, kemudian keringat itu mengalir dan melewati tempatnya, lalu mengenai celanan, pakaian dan kedua sisi dubur, maka saat itu ia tidak dimaafkan, karena ia melewati tempatnya.
Dari kata-katanya diketahui bahwa Istijmar tidak mensucikan, dan bahwa bekasnya adalah najis, akan tetapi dimaafkan ketika masih pada tempatnya.
Pendapat yang benar adalah apabila syarat-syarat Istijmar terpenuhi, maka ia dapat mensucikan.
Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengenai tulang dan kotoran hewan, “Keduanya tidak suci.” Hadits ini isnadnya baik (jayyid).
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Keduanya tidak suci,” menunjukkan bahwasanya Istijmar dengan menggunakan benda selain tulang dan kotoran hewan yang boleh digunakan untuk Istijmar dapat mensucikan.
Berdasarkan pendapat yang kuat ini, jika seandainya bekas Istijmar itu melewati tempatnya dan mengalir dengan keringat ke celananya, maka tidak menjadi najis, karena Istijmar itu dapat mensucikan, akan tetapi Istijmar dimaafkan (dengan tidak menggunakan air) untuk memudahkan umat Islam.” (As-Syarhul Mumti’ ‘Ala Zadil Mustaqni’, 1/445-446).
Atas dasr penjelasan sebelumnya, maka pendapat yang kuat adalah pendapat yang menyatakan bahwasanya sisa-sisa najis yang sedikit setelah dilakukan Istijmar dimaafkan (Ma’fu), meskipun ia berpindah ke pakaian atau badan, karena inilah yang tampak pada keadaan para sahabat. Mereka berkeringat, lalu pakaian mereka bersentuhan dengan bekas Istijmar pada tempatnya. Tidak pernah diriwayatkan dari salah seorang dari mereka bahwa mereka mandi setelah melakukan Istijmar. Dan karena hal ini sangatlah sulit untuk dihindari. Dan tidak disebutkan adanya pengecualian dalam hukum Istijmar untuk hukum berpindahnya sisa-sisa Istijmar ke pakaian atau badan, maka hal ini menunjukkan bahwa masalah ini dimaafkan (Ma’fu).
Wallahu A’lam.