Donasi untuk situs islamqa.info

Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah

IBUNYA MARAH KALAU TIDAK MERAYAKAN HARI IBU

18-03-2012

Pertanyaan 59905

Saya punya teman di salah satu negara Arab. Di negera tersebut perayaan hari ibu termasuk perayaan resmi. Yaitu perayaan bersama saudara dan saudarinya untuk ibu mereka. Dia sekarang ingin memutuskan hal ini. Akan tetapi ibunya akan marah kepadanya kerena telah terbiasa dengan hal ini dan menjadi kebiasaan di negeranya. Dia takut ibunya marah dan tidak meridhainya hingga dia wafat. Dia mencoba menjelaskan dengan hikmah akan tetapi ibunya belum bisa menerima karena kondisi (masyarakat) secara umum. Apa yang selayaknya untuk dilakukan? Tolong beri kami penjelasan.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Merayakan hari ibu adalah termasuk perayaan baru yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi sallallahu alaihi wa sallam, tidak juga para shahabatnya radhiallahu anhum. Di sisi lain, hal tersebut merupakan tindakan menyerupai orang kafir yang kita diperintahkan untuk berbeda dengannya. Oleh karena itu, tidak dibolehkan merayakannya. Tidak boleh mentaati ibunya dalam hal ini. berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam:

 لا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ ( رواه البخاري،   رقم 7257، ومسلم، رقم 1840)

"Tidak ada ketaatan dalam (berbuat) kemaksiatan. Sesungguhnya ketaatan adalah dalam berbuat kebaikan." (HR. Bukhari, 7257 dan Muslim, 1840)

Hendaknya dia tetap berbakti dan berbuat baik kepadanya. Terus menjelaskan bahwa perayaan ini termasuk bid’ah baru, sedangkan Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan dalam agama. Setiap bid’ah adalah sesat." (HR. Muslim, 867 dan Nasa’i, 1578 dengan tambahan, ‘Setiap kesesatan masuk neraka.')

Ibu adalah orang yang berhak dihargai dan dihormati, diperintahkan berbakti dan menyambungnya sepanjang masa. Untuk dikhususkan menghormatinya pada hari tertentu?

Kemudian bid’ah ini, tidak datang kepada kita kecuali lewat masyarakat yang suka durhaka kepada orang tua. Dimana ayak dan ibu tidak mendapatkan tempat berteduh kecuali di panti jompo, membuat mereka terasa jauh, terputus dan menderita. Mereka mengira, sehari menghormatinya dapat menghapus kedurhakaannya pada sisa tahun lainnya.

Sementara kita, umat Islam telah diperintahkan untuk berbakti dan menyambungnya. Dilarang berbuat durhaka. Kedudukan  ibu dalam agama kita, diberikan (hak-hak) yang tidak ada pada agama lain. Hak  seorang ibu lebih diutamakan dari pada hak seorang ayah. Sebagaimana diriwayatkan Bukhari, 5514 dan Muslim, 4621 dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dia berkata,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي ؟ قَالَ : أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّك قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالثُمَّ أَبُوك

"Seorang laki-laki mendatangi Nabi sallallahu’alaihi wa sallam dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah! Siapa orang yang lebih berhak untuk saya berbakti? Beliau menjawab, ‘Ibumu.' Dia berkata lagi, ‘Kemudian siapa?' Beliau menjawab, ‘Ibumu.' Dia berkata, ‘Kemudian siapa?' Beliau menjawab, ‘Ibumu.' Dia berkata, ‘Kemudian siapa?' Beliau menjawab, ‘Ibumu.' Berkata, ‘Kemudian siapa?' Beliau menjawab, ‘Baru ayahmu."

Bakti kepada ibu tidak terputus dengan wafatnya, dia tetap mulia waktu hidupnya dan setelah meninggal dunia. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan berdoa dan memohon ampunan untuknya. Melaksanakan wasiatnya, serta memuliakan kerabat dan teman-temanya.

Hendaknya anda memegang teguh agama nan agung ini. Berkomitmen dengan adab dan hukumnya. Di dalamnya ada petunjuk, kecukupan dan kerohmatan.

Syekh Ali Mahfud rahimahullah menjelaskan tentang perayaan ini terkait dengan menyerupai orang kafir, ‘Sebagai penjelasan akan bahayanya perayaan selain perayaan Islam, Nabi sallallahu’alaihi wa sallam telah memberitahukan bahwa sekelompok golongan dari umatnya akan mengikuti Ahli Kitab pada sebagian syiar dan adat mereka. Sebagaimana yang ada dalam hadits Abu Said Al-Khudri radhiallahu anhu dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, beliau bersabda:

لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ ، شِبْرًا شِبْرًا ، وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ . قُلْنَا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى ؟ قَالَ : فَمَنْ ؟! (أخرجه البخاري ومسلم)

"Sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan orang sebelum kalian, sejengkal sejengkal, sehasta sehasta. Sampai kalau mereka memasuki lobang biawak, sungguh kalian akan mengikutinya.' Kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah! Apakah (mereka itu) Yahudi dan Nashrani?' Beliau menjawab, ‘Siapa lagi (kalau bukan mereka?' (HR. Bukhari dan Muslim)

Senang meniru, meskipun merupakan tabiat seseorang, akan tetapi tidak baik menurut agama jika yang diikuti berbeda dengan  keyakinan dan pemikiran kita. Terutama meniru dari sisi aqidah atau ibadah, syiar ataupun adat kebiasaan. Saat umat Islam lemah di zaman ini, semakin bertambah keinginan mengekor kepada musuhnya. Akibatnya  kebiasaan orang  barat menjadi laku, baik kebiasaan konsumerisme, maupun prilaku. Di antara fenomena ini adalah perhatian terhadap perayaan hari ibu.’

Syekh Muhammad bin Sholeh Utsaimin rahimahullah ditanya tentang merayakan hari ibu, maka beliau menjawab,

"Sesungguhnya semua perayaan yang menyalahi perayaan agama. Maka semuanya itu perayaan bid’ah. Tidak dikenal pada zaman ulama salafus sholeh. Terkadang dibuat oleh non muslim. Disamping hal itu bid’ah, juga dianggap meniru musuh Allah Subhana Wa Ta’ala. Perayaan agama yang dikenal menurut Islam adalah Idul Fitri dan Idul Adha, serta hari raya mingguan, yaitu hari Jumat. Dalam Islam tidak ada lagi perayaan selain dari tiga har raya ini. Semua perayaan yang baru selain dari itu, semuanya tertolak dan dianggap batil dalam syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam, "Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada (perintahnya) maka ia tertolak." Yakni tidak diterima di sisi Allah.

Dalam redaksi lain,

"Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah dari kami, maka ia tertolak."

Jika hal ini telah jelas, maka tidak dibolehkan merayakan perayaan yang ada dalam pertanyaan yang dinamakan dengan hari ibu. Tidak dibolehkan membuat suatu yang baru sedikitpun dari syiar hari raya. Seprti memperlihatkan kegembiraan, kesenangan memberikan hadiah atau semisal itu.

Seharusnya seorang muslim punya bangga dengan agamanya dan mencukupkan diri dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya sallallahu alaihi wa sallam dalam agama yang mulia ini yang telah Allah ridhai untuk hamban-Nya. Maka jangan ditambah dan dikurangi. Seyogyanya juga sebagai seorang muslim jangan ikut-ikutan, mengikuti semua ajakan. Bahkan seharusnya kepribadiannya sesuai dengan syariat Allah Ta’ala. Sehingga menjadi panutan bukan pengekor. Menjadi contoh bukan mengikuti saja. Karena syariat Allah itu sempurna dari segala sisi. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu." (QS. Al-Maidah: 3)

Seorang ibu tidak cukup dirayakan hanya sehari dalam setahun. Bahkan seorang ibu berhak mendapatkan perhatian dan perlindungan dari anak-anaknya ditaati  dalam hal yang tidak mengandung kemaksiatan kepada Allah Azza Wajalla setiap waktu dan tempat."

(Majmu Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, 2/301)

Silahkan lihat soal jawab no. 10070

Wallahu’alam .

bidah
tampilan di situs islamqa.info