Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Saya melakukan operasi, lalu saya mendapatkan haid. (Setelah suci) saya ingin shalat. Apa yang (harus) saya lakukan? Apa saya bertayamum? Dan bagaimana caranya bertayamum dari haid? Apakah saya bertayamum pada setiap shalat?
Alhamdulillah.
Orang yang haid, diharuskan mandi apabila telah bersih dari haid dan ingin menunaikan shalat. Kalau dia tidak mampu mandi, akibat tidak dapat menggunakan air karena tidak mampu berdiri dari ranjang atau karena air berbahaya baginya, maka dia boleh bertayamum.
Syekh Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Karena syariat Islam dibangun berdasarkan kemudahan dan keringanan, maka Allah memberikan keringanan bagi orang yang mempunyai uzur dalam beribadah sesuai uzurnya agar dia dapat melakukan ibadah tanpa kesulitan dan tanpa beban.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan (Dia) tidak menjadikan bagi kamu semua dalam agama dari kepayahan.”
“Allah menginginkan bagi kamu semua kemudahan dan tidak menginginkan bagi kamu semua kesukaran.”
“Maka bertaqwalah kepada Allah (sesuai) dengan kemampuan kalian.”
(Nabi sallalalahu’alaih wa sallam) bersabda:
“Kalau kalian aku perintahkan sebuah perintah, maka lakukanlah semampu kalian.”
Beliu juga bersabda: “Sesungguhnya agama itu mudah.”
Maka orang yang sakit, apabila dia tidak mampu bersuci dengan air, berwudu dari hadats kecil atau mandi dari hadats besar, karena lemah atau khawatir bertambah sakit atau memperlambat kesembuhan, maka dia boleh bertayamum. (Caranya) yaitu kedua tangannya menepuk tanah dengan sekali tepukan, lalu mengusap wajahnya dengan telapak tangannya dan mengusap kedua telapak tangannya satu sama lain.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al-Maidah: 6)
Orang yang tidak mampu menggunakan air, hukumnya (seperti) hukum orang yang tidak mendapatkan air berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: ”Maka bertaqwalah kepada Allah (sesuai) dengan kemampuan anda semua.”
Juga berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam: “Kalau aku memerintahkan kepada kamu semua suatu perintah maka, lakukanlah semampu kalian.”
Dan beliau mengatakan lagi, bagi orang sakit dalam masalah bersuci ada beberapa kondisi.
1.Kalau sakitnya ringan, tidak khawatir adanya bahaya jika menggunakan air atau (tidak khawatir) menimbulkan sakit yang mengkhawatirkan dan tidak memperlambat kesembuhan dan tidak bertambah sakit atau memungkinkan baginya menggunakan air panas serta tidak menimbulkan bahaya, maka (dalam kondis seperti ini) tidak dipekenankan baginya bertayamum. Karena tujuan dibolehkannya tayammu adalah untuk mencegah bahaya baginya. Karena dia dihukumi sebagai orang yang mendapatkan air, maka diharuskan baginya menggunakan air.
2.Jika dia menderita sakit, dan khawatir (jika menggunakan air) akan membahayakan jiwanya, atau membahayakan salah satu anggota tubuh, atau dikhawatirkan menyebabkan sakit yang mengancam jiwa, atau merusak salah satu anggota tubuhnya, atau hilangnya manfaat. Maka dibolehkan baginya bertayamum. Berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah kalian membunuh diri kalian, karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kalian.”
3.Jika sakit yang diderita membuatnya tidak mampu bergerak dan tidak ada orang yang mengambilkan air, dibolehkan baginya bertayamum
4.Siapa yang mempunyai luka, nanah, patah atau sakit yang dapat mendatangkan bahaya jika menggunakan air, kemudian dia mengalami junub, maka dibolehkan baginya bertayamum berdasarkan dalil-dalil tadi. Kalau memungkinkan baginya membasuh bagian tubuh yang sehat, maka diharuskan baginya membasuhnya sedang sisanya yang tidak memungkinkan dibasuh air, diganti dengan tayammum.
5.Jika penderita sakit berada di suatu tempat yang tidak ada air dan debu, serta tidak ada orang yang mengambilkan keduanya (air dan debu). Maka dia menunaikan shalat dalam kondisi apa adanya, tidak diperkenankan baginya mengakhirkan shalat. Berdasarkan firman Allah: ”Maka bertaqwalah kepada Allah (sesuai) dengan kemampuan anda semua.” (Al-Fatawa Al-Muta’alliqah Bit Tibbi Wa Ahkamul Mardho, hal. 26.)
Kedua: Tatacara bertayamum dari haid, tidak berbeda dengan tatacara bertayamum dari hadats kecil. Telah dijelaskan tata cara bertayamum dari perkataan Syekh Ibnu Baz rahimahullah. Dan telah dijelaskan secara rinci pada soal jawab no. 21074.
Ketiga: (hukum) tayamum seperti wudhu, dapat menghilangkan hadats menurut pendapat yang kuat. Maka dia dibolehkan shalat fardu berkali-kali. Tidak diharuskan baginya mengulangi (tayamum) pada setiap shalat. Kalau dia bertayamum untuk shalat Zuhur, misalnya, dan wadunya tidak batal, maka dibolehkan baginya menunaikan shalat Ashar. Begitulah pula untuk shalat-shalat lainnya.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya: “Kalau seseorang bertayamum untuk shalat sunnah, apakah dibolehkan dengan tayamum itu digunakan untuk shalat fardhu?" Beliau menjawab dengan mengatakan: “Tayamum dapat menghilangkan hadats, oleh karena itu, dibolehkan baginya menunaikan shalat fardhu meskipun tayamumnya untuk shalat sunnah. Sebagaimana berwudhu untuk shalat sunnah, maka dibolehkan baginya dengan wudu itu untuk (shalat) fardhu. Tidak diharuskan baginya mengulangi tayamum kalau sudah keluar waktu, selagi tidak ada pembatal (wudhu).' (Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, 11/240)
Wallahu’alam .