Jum'ah 17 Syawal 1445 - 26 April 2024
Indonesian

Hukum Merayakan Jamaah Haji Setelah Kembalinya Dan Menghiasi Rumahnya

97879

Tanggal Tayang : 24-08-2018

Penampilan-penampilan : 3073

Pertanyaan

Apa hukum merayakan jamaah haji setelah kembalinya dan menghias rumah untuknya seraya mengatakan kepadanya ‘Haji Mabrur’ melakukan perayaan khusus kejadian (ini saja)? Apakah hal itu termasuk bid’ah yang baru disertai dalilnya?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Tidak ada dalam sunah nabawiyah menghias rumah dengan pepohonan dan lampu-lampu dalam rangka kedatangan jamaah haji, begitu juga tidak ada dari prilaku para shahabat radhiallahu anhum. Sebagian ahli ilmu kontemporer telah memberikan fatwa dengan tidak memperbolehkan amalan ini. Mereka menyebutkan beberapa sebab pelarangannya diantaranya:

  1. Bahwa perbuatan ini tidak ada dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam dan para shahabatnya, maka ia termasuk bid’ah.
  2. Di dalamnya ada semacam riya’
  3. Di dalamnya juga ada berlebihan (dalam membelanjakan) harta.

Yang nampak setelah perenungan bahwa perbuatan ini diperbolehkan. Sementara apa yang disebutkan para ulama mulya tadi tidak cukup kuat untuk mengharamkan menghiasi rumah dalam rangka kedatangan jamaah haji. Bantahan terhadap apa yang mereka katakan ada beberapa hal:

Pertama: prilaku ini termasuk adat bukan ibadah. Dari sini, maka tidak ada alasan untuk melarangnya karena tidak ada dalam prilaku Nabi sallallahu alaihi wa sallam

Kedua: kebanyakan apa yang dilakukan dengan menghiasi rumah Cuma menghabiskan dana sedikit tidak sampai dana banyak. Apa yang kami lihat dari sebagian orang yang menaruh bagian pohon hijau dan menancapkan kayu dimana kebanyakan tidak ada akarnya. Kami tidak melihat ada toko khusus yang menjual seperti ini. Hal itu menunjukkan tidak membutuhkan dana besar sampai orang dilarang (melakukannya). Ya mungkin dikatakan kepada sebagaian pemilik nikmat dan harta (berlebih). Sampai hal ini, terkadang ada pada orang yang memiliki harta yang menjadikan apa yang dilakukan tidak termasuk dalam batasan berlebihan.

Ketiga: tidak mesti melakukan hal ini ada sifat riya’. Karena ibadah haji termasuk ibadah yang tidak tersembunyi sampai dikhawatirkan kalau diperlihatkan akan timbul sifat riya. Bahkan terkadang sifat riya akan timbul dengan menampakkan penampilan lusuh, kumuh dan tidak berhias. Sebagaimana ketika menampakkan berhias dan kesenangan waktu kedatangan jamaah haji. Inti dari semua itu adalah niatan pelaku dan apa yang ada dalam hatinya.

Yang nampak, bahwa hiasan ini termasuk dalam adat kebiasaan. Asalnya hal itu mubah, tidak ada dalil yang menguatkan orang yang mengharamkan dibanding dengan yang menghalalkan.

Kedua:

Sementara merayakan kedatangan jamaah haji dan membuat makanan untuknya, yang nampak –juga- hal itu diperbolehkan. Bahkan jamaah haji sendiri yang datang membuat makanan dan mengundang orang, hal itu diperbolehkan. Bagaimana tidak diperbolehkan orang membuat makanan untuknya?

Telah ada ketetapan dalam sunah nabawi para shahabat merayakan kedatangan orang yang safar (pergi jauh) baik itu perjalanan haji, umrah, perniagaan atau selain itu.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما قَالَ : لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم مَكَّةَ – أي : في فتحها - اسْتَقْبَلَتْهُ أُغَيْلِمَةُ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ ، فَحَمَلَ وَاحِداً بَيْنَ يَدَيْهِ وَآخَرَ خَلْفَهُ‏ .
رواه البخاري ( 1704 ) في كتاب العمرة و بوب عليه باب استقبال الحاج القادمين ، والثلاثة على الدابة

“Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhua berkata, “Ketika Nabi sallallahu alaihi wa sallam datang ke Mekkah –maksudnya waktu penaklukannya- disambut anak-anak Bani Abdul Mutollib. Satu orang membawa diantara kedua tangannya dan yang lainnya di belakannya.” HR. Bukhori, 17004 dalam kitab ‘Umroh’ dan beliau membuat babnya ‘Bab Menyambut kedatangan jamaah haji. Dan tiga orang di atas kendaraan.

Ibnu Zubair mengatakan kepada Ibnu Jakfar radhiallahu anhum, “Apa anda ingat ketika kita menyambut Rasulullah sallallahu alahi wa sallam saya, anda dan Ibnu Abbas? Beliau menjawab, “Ya, kita membawanya dan meninggalkanmu.” HR. Bukhori, 2916.

Dari Abdullah bin Jakfar berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ تُلُقِّيَ بِنَا .
قَالَ : فَتُلُقِّيَ بِي وَبِالْحَسَنِ أَوْ بِالْحُسَيْنِ . قَالَ : فَحَمَلَ أَحَدَنَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَالْآخَرَ خَلْفَهُ حَتَّى دَخَلْنَا الْمَدِينَةَ رواه مسلم 2428

“Biasanya Nabi sallallahu alaihi wa sallam ketika datang dari bepergian, kita menyambutnya. Berkata, “Maka saya, Hasan dan Husain menyambutnya. Berkata, “Maka salah satu diantara kita membawa diantara beliau sementara yang lain di belakangnya sampai kita memasuki Madinah.” HR. Muslim, 2428.

Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dianjurkan ‘Nuqoiah’ yaitu makanan yang dibuat untuk menyambut kedatangan orang safar. Biasanya apa yang dilakukan oleh orang safar yang datang atau dilakukan orang lain untuknya. Yang dijadikan sandaran dalil akan hal itu adalah hadits Jabir radhiallahu anhu sesungguhnya Rasulullah sallallahu alahi wa sallam ketika datang di Madinah dari safarnya, menyembelih kambing atau sapi.” HR. Bukhori. (Al-Majmu’, (4/400).

Syekh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah ditanya, “Fenomena menyebar di desa khususnya setelah kembalinya jamaah haji dari Mekkah

Syekh: ‘Apakah tahun ini?

Penanya, “Hampir setiap tahun. Mereka melakukan walimah (perayaan) yang dinamakan, “Sembelihan untuk jamaah haji’ atau ‘Kesenangan dengan jamaah haji’ atau ‘keselamatan jamaah haji’. Terkadang dagingnya dari daging kurban atau daging sembelihan baru disertai ada sedikit pemborosan. Apa pendapat anda dari sisi agama dan dari sisi sosial?

Syekh, “Ini tidak mengapa. Tidak mengapa memulyakan jamaah haji atas kedatangannya. Karena hal ini menunjukkan perayaan untuk mereka dan memberi semangat juga kepada jamaah haji. Akan tetapi pemborosan yang anda isyaratkan itu yang dilarang. Karena pemborosan itu dilarang, baik dalam momen seperti ini atau lainnya. Allah berfirman:

وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (الأنعام/141)

“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” QS. Al-An’am: 141

Dan firman Allah Ta’ala:

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ (الإسراء/27)

“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” QS. Al-Isro’: 27

Akan tetapi perayaan karena ada momen sesuai dengan orang yang hadir atau ada sedikit tambahan, hal ini tidak mengapa dari sisi agama. Sementara dari sisi sosial, mungkin ini ada di desa. Sementara kalau di kota hampir sudah punah. Kita lihat banyak jamaah haji yang datang tanpa ada walimah (perayaan). Akan tetapi terkadang didapatkan di desa kecil. Dan tidak mengapa. Penduduk desa mempunyai kedermawanan, satu dengan lainnya tidak ingin mengurangi penghormatannya. ‘Liqo Bab Maftuh, (154 /soal no. 12).

Ketiga:

Tidak mengapa bagi orang yang memberikan ucapan selamat untuk keselamatan jamaah haji dengan mengapresiasikan ungkapan yang dikehendakinya yang penting mubah dalam syara’ dan menunjukkan akan maksudnya. Seperti ‘Semoga Allah menerima ketaatan anda’ atau ‘Semoga Allah menerima haji anda’ atau ‘Haji mabrur dan umroh yang disyukuri’. Telah ada banyak hadits dan atsar lemah terkait ucapan yang dikatakan kepada jamaah haji setelah kembali. Dan tidak tetap dari sisi sanadnya. Akan tetapi tidak mengapa penggunaannya karena di dalamnya ada doa. Diantaranya,’Semoga Allah menerima haji anda, mengampuni dosa dan mengganti nafkah anda’ atau ‘Semoga Allah menerima manasik anda, mengagungkan pahala dan mengganti nafkah anda’. masalah ini luas (tidak terikat) alhamdulillah. 

Wallahu a’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam