Alhamdulillah.
Al Qur’an, Sunnah yang shahih dan ijama’ generasi ulama salaf telah menunjukkan akan kewajiban beriman dengan takdir baik dan buruk, hal tersebut sudah menjadi bagian dari rukun iman yang enam dan tidak dianggap sempurna keimanan seorang hamba kecuali rukun keenam tersebut, Allah –Ta’ala- berfirman:
( مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الأَرْضِ وَلا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ ) الحديد/22
”Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS. Al Hadid: 22)
Allah –Ta’ala- juga berfirman:
( إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ ) القمر/49 .
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran”. (QS. al Qamar: 49)
Dari Umar bin Khathab –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda untuk mengajarkan iman:
( أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره ) رواه مسلم (8 (
“Hendaknya kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari kiamat dan hendaknya beriman kepada takdir-Nya yang baik dan buruk”. (HR. Muslim: 8)
Semua hal yang terjadi di jagat ini adalah karena takdir Allah –Ta’ala-, dan wajib bagi yang beriman dengan takdir agar percaya bahwa Allah –Ta’ala- Maha Mengetahui segala sesuatu sebelum terjadinya, kemudian menuliskan ilmu tersebut di lauhil mahfudz, lalu Allah menghendaki untuk mewujudkannya, kemudian menciptakannya, inilah tahapan takdir yang empat yang sudah tidak asing lagi, dan setiap tahapan tersebut terdapat banyak dalil, dan telah dijelaskan sebelumnya dengan mendetail pada jawaban soal nomor: 49004 maka silahkan anda membacanya.
Majunya atau mundurnya waktu pernikahan, mudah dan sulitnya semua itu berdasarkan takdir Allah –Ta’ala-. Hal itu bukan berarti bahwa seorang muslim tidak melakukan sebab-sebab yang dengan itu Allah –Ta’ala- akan mewujudkan musababnya, melakukan sebab itu tidak menafikan sesuatu yang telah ditakdirkan pada zaman azali, karena seseorang tidak mengetahui apa yang telah ditetapkan baginya, maka dari itu dia diperintah untuk melakukan sebab-sebabnya.
Semua musibah yang telah ditakdirkan oleh Allah –Ta’ala- kepada seorang hamba, akan menjadi baik bagi seorang mukmin jika dia bersabar dengan musibah itu dan mengambil pelajaran, sebagaimana sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
( عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ ، وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلا لِلْمُؤْمِنِ ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ ) رواه مسلم (2999(
“Urusan orang mukmin itu menakjubkan, sungguh semua urusannya adalah baik, dan hal itu tidak dimiliki kecuali oleh seorang mukmin, jika dia sedang berbahagia dia bersyukur, maka hal itu lebih baik baginya, dan jika dia tertimpa musibah dia bersabar, maka hal itu lebih baik baginya”. (HR. Muslim: 2999)
Musibah yang terjadi bisa jadi sebagai akibat dari maksiat yang telah dilakukan, namun hal tersebut tidak menjadi sebuah keharusan, bisa jadi untuk meninggikan derajat seorang mukmin, dan menambah kebaikannya jika dia bersabar dan ridho… atau ada banyak lagi hikmah yang agung dibalik musibah tersebut.
Syeikh Abdul Aziz bin Baaz –rahimahullah- pernah ditanya:
“Jika seseorang sedang diuji dengan penyakit atau musibah yang buruk pada jiwa dan harta, bagaimana cara mengenali bahwa hal itu ujian atau murka dari Allah ?
Beliau menjawab:
“Allah –‘Azza wa Jalla- menguji hamba-hamba-Nya dengan kebahagiaan dan kesedihan, dengan kesulitan dan kemudahan, bisa jadi Dia menguji mereka untuk mengangkat derajat mereka dan melipatgandakan kebaikan mereka, sebagaimana yang Dia lakukan kepada para Nabi dan Rasul –‘alaihimus salam- dan kepada orang-orang sholeh dari hamba-Nya, sebagaimana sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
( أشد الناس بلاء الأنبياء ، ثم الأمثل فالأمثل )
“Manusia yang paling keras bala’nya (ujiannya) adalah para Nabi, kemudian yang serupa dengan mereka, demikian seterusnya”.
Kadang kala Dia –subhanahu wa ta’ala- melakukannya disebabkan oleh kemaksiatan dan dosa, dan mensegerakan hukuman-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:
( وما أصابكم من مصيبة فبما كسبت أيديكم ويعفو عن كثير )
“Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”. (QS. Asy Syura: 30)
Jika pada umumnya seorang manusia tidak maksimal dalam menjalankan kewajiban, maka apa yang menimpanya disebabkan karena dosa-dosanya dan kelalaiannya akan perintah Allah, dan jika salah seorang dari hamba Allah yang sholeh diuji dengan penyakit atau semacamnya, maka hal ini termasuk sejenis dengan ujian yang menimpa para Nabi dan Rasul untuk mengangkat derajat, mengagungkan pahalanya, dan agar menjadi teladan bagi yang lain dalam hal kesabaran dan pengharapan.
Kesimpulannya:
Bahwa bisa jadi bala’ (ujian) itu mengangkat derajat, dan mengagungkan pahala, sebagaimana yang Allah lakukan kepada para Nabi dan para hamba-hamba pilihan-Nya, bisa juga untuk menghapuskan dosa, sebagaimana dalam firman-Nya:
)من يعمل سوءً يُجز به )
“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu”. (QS. An Nisa’: 123)
Dan berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :
( ما أصاب المسلم من همٍّ ولا غم ولا نصب ولا وصب ولا حزن ولا أذى إلا كفَّر الله به من خطاياه حتى الشوكة يشاكها )
“Tidaklah ada yang menimpa seorang muslim dari mulai kerisauan, kegundahan, keburukan, penyakit, kesedihan dan duka kecuali Allah akan mengampuni dosa-dosanya sampai duri yang menancap sekalipun”.
Sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang lain:
( من يرد الله به خيراً يُصِب منه(
“Barang siapa yang Allah menginginkannya baik , maka dia akan melakukannya”.
Namun bisa jadi juga kejadian itu merupakan hukuman yang disegerakan karena disebabkan oleh maksiat dan tidak segera bertaubat, sebagaimana dalam hadits Nabi –shallallahu ‘alaihi wa salam- :
( إذا أراد الله بعبده الخير عجَّل له العقوبة في الدنيا ، وإذا أراد بعبده الشر أمسك عنه بذنبه حتى يوافيه به يوم القيامة ) خرجه الترمذي وحسنه
“Jika Allah menginginkan kepada hamba-Nya sebuah kebaikan maka Dia akan mensegerakan hukumannya di dunia, dan jika mengingikan keburukan kepada hamba-Nya maka Allah akan menahan hukuman-Nya dengan dosanya hingga akan dilaksanakan pada hari kiamat”. (HR. Tirmidzi dan dihasankan olehnya)
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat: 4/370)
Selama anda menolak para peminang anda karena Allah dan disebabkan karena mereka tidak istiqamah dalam agama, maka Allah –Ta’ala- akan menggantikan dengan yang lebih baik dari mereka, Allah –Ta’ala- berfirman:
( وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً . وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ ) الطلاق/2 ، 3 (
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya”. (QS. ath Thalaq: 2-3)
Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam brsabda:
( إنك لن تدع شيئاً لله عز وجل إلا بدَّلك الله به ما هو خير لك منه ) رواه الإمام أحمد ، وصححه الألباني في " حجاب المرأة المسلمة " ( 47(
“Tidaklah anda meninggalkan sesuatu karena Allah –‘Azza wa Jalla- kecuali Allah akan menggantikan yang lebih baik bagi anda”. (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh al Baani dalam Hijab Mar’ah al Muslimah: 47)
Maka anda harus segera mendekatkan diri kepada Allah –Ta’ala- dengan berdo’a dan beribadah, dan janganlah mengeluh serta ketahuilah bahwa rahmat Allah begitu dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.
Wallahu a’lam .