Ahad 21 Jumadits Tsani 1446 - 22 Desember 2024
Indonesian

Manfaat Cobaan Bagi Seorang Mukmin

Tanggal Tayang : 15-06-2002

Penampilan-penampilan : 72112

Pertanyaan

Kenapa Allah membebani kaum mukminin dengan banyak ibadah, dengan penyakit dan berbagai macam cobaan, sementara para pelaku maksiat bersenang-senang saja dengan segala kenikmatan hidup?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertanyaan ini terlontarkan atas dua alasan:

pertama, sebagai gugatan.

Kedua, untuk mencari bimbingan. Kalau pertanyaan itu dilontarkan dalam rangka menggugat, jelas itu menunjukkan kebodohan si penanya. Karena hikmah Allah itu terlalu agung untuk dapat dicapai oleh akal manusia. Allah berfirman:

"Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah:"Roh itu termasuk urusan Rabb-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit"" (Al-Israa : 85)

Ruh yang berada dalam tubuh kita sendiri, yang merupakan materi kehidupan kita, itupun tidak kita ketahui. Para Ahli Logika, Ahli Filsafat dan Ahli Kalam tidak mampu memberikan definisi dan penjelasan substansial dari ruh tersebut. Kalau ruh yang merupakan ciptaan Allah terdekat dengan kita saja tidak kita ketahui kecuali sebatas yang dijelaskan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, apalagi dengan segala hal yang tersembunyi di balik itu?
Allah berfirman:

"Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah bahwa ruh itu termasuk urusan Rabb-ku, dan tidaklah kalian diberikan pengetahuan tentang ruh itu melainkan sedikit saja.."

Di balik itu, apa yang tersembunyi? Allah itu lebih bijaksana, lebih mulia, lebih agung dan lebih memiliki kekuasaan. Maka hendaknya kita pasrah sepasrah-pasrahnya terhadap segala takdir-Nya; takdir hukum alam maupun kodtrat-Nya. Karena kita memang tidak akan mampu memahami batas dari kebijaksanaan-Nya. Oleh sebab itu, ditinjau dari sisi ini, maka jawaban pertanyaan tersebut di atas adalah: Allah itu lebih bijaksana, lebih mampu dan lebih agung adanya.
Adapun kemungkinan kedua adalah pertanyaan yang berbentuk meminta penjelasan. Kepada si penanya kita katakan: Seorang mukmin pasti mendapatkan cobaan. Dan cobaan Allah yang terlihat mengganggu dirinya itu pada dasarnya memiliki dua keuntungan besar: Keuntungan pertama, menguji keimanan si mukmin tersebut. Apakah imannya teguh, atau mudah bergoncang. Mukmin yang tulus imannya akan tabah menghadapi takdir dan ketentuan Allah. Ia akan mengharap-harap pahala dari takdir tersebut, sehingga ujian itu menjadi ringan ia rasakan. Dikisahkan bahwa ada seorang Ahli Ibadah wanita yang diberi cobaan dengan jarinya yang terluka atau buntung, namun ia tidak sedikitpun mengeluh, dan tidak tampak kekecewaan di wajahnya. Ada orang yang bertanya kepadanya tentang sikapnya itu, maka ia menjawab: "Manisnya pahala cobaan ini membuatku lupa akan pahitnya menahan kesabaran dalam menghadapinya." Seorang mukmin memang selalu mengharap pahala dari Allah dan bersikap pasrah kepada-Nya dengan sedalam-dalamnya. Itu adalah satu keuntungan.
Keuntungan kedua, bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala amat memuji orang-orang yang tabah dan memberitahukan bahwa Dia selalu bersama mereka, Dia akan memberikan pahala sempurna kepada mereka tanpa batas. Ketabahan adalah satu tingkat yang tinggi, yang hanya dapat dicapai dengan bersabar menghadapi berbagai cobaan. Bila seseorang mampu bersabar, maka ia akan memperoleh derajat tinggi tersebut yang mengandung pahala besar tersebut. Allah menguji kaum mukminin dengan berbagai cobaan berat agar mereka memperoleh pahala bagi orang-orang bersabar tersebut. Oleh sebab itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai orang yang paling beriman dan bertakwa serta paling takut kepada Allah juga merasakan sengsara sebagaimana orang biasa. Beliau juga merasakan beratnya sakaratul maut. Semua itu diperuntukkan agar beliau mendapatkan pahala kesabaran secara maksimal. Karena beliau adalah orang yang paling bersabar. Dengan penjelasan ini semua, menjadi jelas bagi kita hikmah kenapa Allah memberi cobaan kepada seorang mukmin dengan berbagai musibah tersebut. Adapun kenapa Allah memberikan kesehatan dan rezeki kepada para pelaku maksiat, orang-orang fasik dan pembuat keonaran, serta melapangkan jalan buat mereka, maka yang demikian itu adalah istidraj (semacam tipuan) dari Allah kepada mereka hingga mereka terlena. Diriwayatkan dengan shahih bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Dunia itu adalah penjara seorang mukmin dan Surga bagi orang kafir." Mereka memperoleh berbagai kenikmatan sebagai kenikmatan yang diberikan dalam kehidupan dunia mereka saja. Sementara di Hari Kiamat nanti mereka akan memperoleh ganjaran dari perbuatan mereka. Allah berfirman:

"Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke Neraka (kepada mereka dikatakan): "Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan kamu telah fasik"..." (Al-Ahqaaf : 20)

Wal hasil, bahwa dunia ini adalah milik orang-orang kafir. Di dunia ini mereka di "emong" dengan kenikmatan. Dan ketika mereka berpindah ke negeri Akhirat dari kehidupan dunia di mana mereka mendapatkan berbagai kenikmatan tersebut, mereka akan mendapatkan siksa. Siksa itu menjadi lebih berat buat mereka karena mereka mendapatkannya sebagai balasan dan ganjaran. Karena dengan hilangnya kenikmatan dan kesejahteraan yang selama ini mereka senangi di dunia. Ada hikmah ketika yang bisa kita tambahkan di sini berkaitan dengan gangguan dan penyakit yang diderita seorang mukmin. Ketika seorang mukmin berpindahan dari negeri tempat ia melakukan kebajikan di dunia ini, berarti ia berpindah dari segala hal yang menyakiti dan mengganggu dirinya menuju segala kemudahan dan kegembiraan. Sehingga kegembiraan tersebut yang sebelumnya sudah didahului oleh berbagai kenikmatan dunia, menjadi berlipatganda. Karena ia berhasil memperoleh kenikmatan setelah segala musibah dan rasa sakit yang dialaminya hilang.

Refrensi: Dari fatwa Syaikh Muhammad Al-Utsaimin -Rahimahullah-- dalam kitab Fatawa Al-Islamiyyah I : 83