Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Apakah kita bisa menyebut orang-orang yang melakukan perbuatan syirik dan bid’ah sebagai muslim ?
Alhamdulillah.
Pada pertanyaan ini ada dua pokok pembahasan :
Dalam pembahasan ini ada 3 topik :
Syekh Muhammad bin `Utsaimin rahimahullah berkata:
“Dalam Syari`ah, pengertian Bid`ah adalah beribadah kepada Allah dengan cara yang tidak ditetapkan oleh Allah. atau anda bisa juga memaknai sebagai beribadah kepada Allah dengan cara yang tidak ada tuntunannya dari amalan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maupun dari para khalifahnya ar-rasyidun..'”
Pengertian bid’ah yang pertama merujuk pada firman Allah ta’ala:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
الشورى: 21
{ Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang menetapkan bagi mereka aturan agama yang tidak diizinkan (diridai) oleh Allah?}, As-Syura /21.
Adapun pengertian bid’ah yang kedua merujuk dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ وإياكم ومحدثات الأمور
{Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap ajaranku dan ajaran Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah dengan kuat) dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari perkara yang diada-adakan,}.
Maka siapapun yang beribadah kepada Allah dengan cara yang tidak ditentukan oleh Allah, atau dengan cara yang tidak ada tuntunannya dari amalan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maupun dari para khalifahnya ar-rasyidun, maka ia telah melakukan amalan bid’ah, baik itu amalan ibadah yang berkaitan dengan nama dan sifat-sifat Allah, atau berkaitan dengan peraturan dan hukum-Nya.
Adapun perkara-perkara yang menjadi adat kebiasaan maka tidak termasuk bid’ah untuk urusan agama, meskipun bisa juga disebut sebagai bid’ah dalam bahasa, tetapi bukan bid’ah dalam agama, dan yang seperti itu bukan merupakan sesuatu yang masuk dalam peringatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
“Dan didalam agama, tidak ada sama sekali istilah bid’ah hasanah” (Majmu` Fatawa Ibnu `Utsaimin, vol. 2, hal. 291).
Dan jika ada bertanya: “apa itu bid’ah yang termasuk kekafiran dan apa itu bid’ah yang tidak termasuk kekafiran ?”
Syekh Hafith Al-Hakami rahimahullah berkata:
“Bid`ah yang termasuk kekafiran adalah ketika seseorang mengingkari suatu perkarayang telah menjadi konsensus (ijma’) para ulama, yang diketahui secara luas, dan tidak ada alasan bagi seorang Muslim untuk tidak mengetahuinya, seperti mengingkari sesuatu yang wajib, mewajibkan sesuatu yang tidak wajib, atau menghalalkan sesuatu yang haram, atau mengharamkan sesuatu yang halal; atau mengimani suatu yang membatalkan keimanan kepada Allah, Rasul-Nya, dan Kitab-Nya, baik dalam arti mengingkari atau mengafirmasi – karena itu berarti menolak kebenaran Al-Qur’an dan risalah Allah yang mengutus Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Contohnya adalah Bid`ah kaum Jahmiyyah yang mengingkari sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla, atau anggapan bahwa Al-Quran adalah makhluk (bukan kalamullah), demikian juga sifat dari sifat-sifat Allah; atau Bid`ah kaum Qadariyyah yang mengingkari ilmu dan amalan Allah; atau Bid`ah para Mujassimah yang menyamakan Allah dengan ciptaan-Nya… dan sebagainya.
Yang dimaksud dengan bid’ah yang tidak termasuk kekafiran adalah: amalan bid’ah yang tidak mengingkari atau bertentangan dengan kebenaran Kitab, ataudengan sesuatu yang diajarkan oleh para utusan Allah dengan risalahnya.
Contohnya adalah bid’ah kaum marwaniyah (yang ditentang oleh para tokoh dari sahabat, dan mereka tidak menyetujuinya, dan tidak mencela mereka sebagai kafir karena hal itu, dan tidak jugamenolak memberikan baiat karena hal itu); seperti menunda sebagian waktu shalat hingga di akhir-akhir waktunya; mereka mendahulukan khutbah sebelum pelaksanaan shalat ‘ied,duduk dalam khutbah yang sama pada hari Jumat, dan sebagainya, (Ma`arij Al-Qubul, 2/503-504).
Ada beberapa uraian untuk jawaban atas pertanyaan ini:
Jika perbuatan bid’ah yang dilakukan termasuk kekafiran, maka pelakunya tidak terlepas dari dua hal:
Jika ditanyakan kepada anda: Bagaimana cara bermuamalah dengan orang-orang yang melakukan bid’ah ?
Maka jawabanya adalah :
Syekh Muhammad bin `Utsaimin rahimahullah berkata:
“Dalam kedua kasus tersebut, kita harus menyeru orang-orang yang mengaku sebagai Muslim namun melakukan amalan Bid`ah yang mungkin termasuk kekafiran atau mungkin kurang dari itu kepada kebenaran, dengan menjelaskan kebenaran tanpa memusuhi atau mengutuk apa yang mereka lakukan. Sampai kita tahu bahwa mereka terlalu sombong untuk menerima kebenaran, karena Allah berfirman :
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
[الأنعام: 108]
(Janganlah kamu memaki (sesembahan) yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa (dasar) pengetahuan. [Al-An`am 6:108])
jika kita mendapati mereka keras kepala dan sombong, maka hendaknya kita tunjukkan kebatilan mereka, karena menunjukkan kebatilan mereka itu adalah kewajiban bagi kita.
Adapun meninggalkan dan mendiamkan mereka, itu tergantung pada perbuatan Bid`ahnya. Jika bid`ah itu termasuk kekafiran, maka wajib meninggalkan dan mendiamkan orang-orang yang melakukannya. Jika tingkatnya lebih rendah dari itu, maka perlu melihat situasinya. Jika ada maslahat dengan meninggalkan dan mendiamkan orang-orang tersebut, maka kita melakukannya; dan jika tidak ada kemaslahatan, atau hanya akan membuatnya semakin tidak patuh dan sombong, maka kita harus menghindari melakukan hal itu, karena apa pun yang tidak ada maslahatnya, meninggalkanya adalah kemasalahatan. Dan prinsip dasarnya tidak boleh mendiamkan seorang mukmin, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
لا يحل لرجلٍ أن يهجر أخاه فوق ثلاث
Tidak boleh seseorang meninggalkan [tidak berbicara] kepada saudaranya lebih dari tiga [hari. ].'” (Dikutip dari “Majmu` Fatawa Ibnu `Uthaymin”, vol. 2, hal. 293).
Menurut Syeikh Muhammad bin `Utsaimin, Ada dua macam syirik : syirik besar yang membuat pelakunya keluar dari batasan agama; dan syirik yang dibawah itu (syirik kecil)
Contoh syirik besar: amalan salah satu jenis ibadah kepada Allah, tetapi dilakukan untuk selain Allah, seperti mendirikan ibadah shalat kepada selain Allah, atau berpuasa bukan untuk Allah, atau berkurban kepada selain Allah, dan termasuk dalam kategori syirik besar adalah berdo’a kepada selain Allah, seperti berdo’a kepada kubur, atau berdoa kepada sesuatu yang ghaib agar membantunya untuk urusan yang tidak bisa dilakukan siapa pun kecuali Allah.
Contoh syirik kecil: bersumpah dengan selain Allah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah maka ia telah kafir atau berbuat syirik."
Barang siapa yang bersumpah demi selain Allah, tetapi tidak meyakini bahwa selain Allah memiliki keagungan yang sama dengan Allah, maka ia termasuk orang musyrik yang telah berbuat syirik kecil, Apapun kedudukan orang yang bersumpah, apakah ia adalah orang yang dihormati manusia ataupun tidak. Untuk itu tidak boleh bersumpah demi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, begitu juga demi presiden, demi ka’bah, dan demi jibril karena ini adalah perbuatan syirik, akan tetapi ini trmasuk syirik kecil yang tidak menjadikan pelakunya keluar dari batasan agama.
Riya’ adalah bagian dari jenis syirik kecil. Dan yang dimaksud dengan riya’: seseorang yang melakukan suatu perbuatan agar dilihat oleh orang lain, dan bukan semata-mata karena Allah.
Riya’ dilihat dari pengaruhnya terhadap pembatalan ibadah ada dua kategori:
قال الله تعالى : أنا أغنى الشركاء عن الشرك من عمل عملاً أشرك معي فيه غيري تركته وشركه رواه مسلم كتاب الزهد رقم (2985).
“Allah ta’ala berfirman: 'Aku adalah dzat yang tidak membutuhkan sekutu, maka barangsiapa mengerjakan suatu amalan dengan menyertakan sekutu selain diri-Ku, maka Aku berlepas diri darinya, dan ia milik sekutu yang disertakannya itu." HR. Muslim, Kitab az-zuhud, (2985).
Contoh: seseorang yang sedang shalat dan sudah menyelesaikan rakaat pertama, kemudian datang beberapa orang pada rakaat kedua, lalu mulai timbul dihatinya suatu pikiran untuk memperlama ruku’, sujud, atau menangis dan sejenisnya, jika ia segera menghilangkan hal itu maka tidak merugikannya, karena ia telah berjuang melawannya,
Kami menyatakan bahwa dalam hal ini, tidak lepas dari dua kasus:
Pertama: apabila akhir ibadah merupakan bagian yang tidak terpisah dari awal ibadah, maka jika akhir ibadahnya batal maka batal pula seluruh rangkaian ibadahnya (dari awal hingga akhir).
Kedua: apabila awal ibadah terpisah dari bagian akhir ibadah, dimana bisa dikatakan ibadah awalnya sah namun bagian akhirnya tidak sah, maka ibadah yang dilakukan sebelum timbul riya’ adalah sah, dan apa yang dilakukan setelah timbul riya’ adalah tidak sah (batal).