Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
Pertama:
Seharusnya yang dilakukan oleh seorang mukmin adalah tidak berteman kecuali dengan sesama orang yang beriman. Dan tidak menjadikan kholil (teman dekat) kecuali seseorang yang bertauhid. Berdasarkan sabda Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
( لَا تُصَاحِبْ إِلَّا مُؤْمِنًا وَلَا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَّا تَقِيٌّ ) رواه الترمذي (2395) حسنه الألباني في "صحيح الترمذي" .
“Jangan berteman kecuali dengan seorang mukmin, dan janganlah ada yang memakan makananmu kecuali orang yang bertaqwa”. (HR. Tirmidzi 2395, dihasankan oleh al Baani dalam “Shahih Tirmidzi”)
Berteman dengan orang kafir akan menimbulkan dampak negatif bagi seorang mukmin, ada kemungkinan akan terpengaruh dengan kebiasaannya dalam agamanya atau akan melemahkan idealismenya untuk wala’ kepada sesama mukmin dan bara’ (berlepas diri) kepada orang kafir atau akan melemahkan hatinya untuk mengingkari agamanya dan pemeluknya yang lain; karena sering bergaul dengannya, dan mengetahui kebiasaannya.
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- ditanya tentang hukum membaur dan bergaul dengan orang kafir dalam hubungan pertemanan dengan harapan nantinya akan memeluk agama Islam.
Beliau menjawab:
“Tidak diragukan lagi bahwa seorang muslim diwajibkan untuk membenci musuh-musuh Allah, dan berlepas diri dari mereka; karena yang demikian itu merupakan jalan para Rasul dan pengikut mereka, sebagaimana firman Allah –Ta’ala-:
( قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ ) سورة الممتحنة: 4
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. (QS. al Mumtahanah: 4)
Dalam ayat yang lain Allah juga berfirman:
( لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ ) المجادلة: 22
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. (QS. al Mujadilah: 22)
Atas dasar itulah, tidak dihalalkan bagi seorang muslim untuk mencintai dan cenderung kepada musuh-musuh Allah yang pada hakekatnya juga merupakan musuhnya. Allah –Ta’ala- berfirman:
( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ ) .
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu ”. (QS. al Mumtahanah: 1)
Adapun jika seorang muslim bergaul dengan mereka karena pertemanan agar nantinya memeluk agama Islam dan beriman, maka hal itu tidak masalah; karena merupakan upaya mendekatkan mereka kepada Islam. Namun jika ternyata mereka sulit untuk berubah, maka hendaknya bergaul dengan mereka dengan tetap menganggap mereka sebagai musuh. Inilah rincian pendapat para ulama dalam buku-buku mereka, terlebih dalam buku “Ahkam Ahlidz Dzimmah” karangan Ibnul Qayyim –rahimahullah-. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin: 3/31)
Kedua:
Memberikan air zam-zam untuk pengobatan kepada orang kafir yang sedang sakit tidak masalah, demikian juga seorang dokter (muslim) mengobati orang kafir yang sedang sakit, atau membantunya untuk memenuhi kebutuhannya, atau menjenguknya, semua itu tidak apa-apa. Khususnya ketika diharapkan nantinya ia akan memeluk agama Islam, atau sebagai balasan kebaikan kepadanya yang dahulu pernah menolongnya, atau tujuan yang mulia lainnya.
Telah disebutkan dalam Shahih Bukhori (2276) dan Muslim (2201) bahwasanya Abu Sa’id al Khudri –rahimahullah- telah meruqyah kepala suku yang sedang disengat binatang tertentu degan al Fatihah, maka ia (diberikan) kesembuhan, padahal penduduk suku tersebut masih musyrik. Tidak diragukan lagi bahwa keagungan al Qur’an, dan meruqyah orang kafir dengannya lebih agung dari hanya sekedar memberi minum air zam-zam baik dengan tujuan diminum atau untuk dijadikan obat.
Disebutkan dalam “Al Mausu’ah al Fiqhiyah” 13/34: “Tidak ada perbedaan menurut ulama fikih tentang bolehnya seorang muslim meruqyah orang kafir. Mereka berdalil dengan hadits Abu sa’id al Khudri –radhiyallahu ‘anhu- yang telah disebutkan sebelumnya. Adapun latar belakang pengambilan hukum dari hadits tersebut adalah bahwa kampung tempat singgahnya para sahabat, mereka pun ingin menjamu para sahabat Rasulullah tersebut, namun mereka enggan untuk menerima jamuan itu; karena mereka orang-orang kafir. Dan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak mengingkari akan hal itu.
Untuk pembahasan lebih luasnya, silahkan anda membaca jawaban soal nomor: 6714, 12718, 129113.
Wallahu A’lam bis shawab.