Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Bapak saya pada era tujuh puluhan, telah mengikuti pelatihan guru di negara barat, beliau pada waktu itu tidak mengetahui awal masuknya bulan Ramadhan di negara-negara muslim; karena tidak ada komunikasi yang canggih pada saat itu seperti yang ada pada saat ini, sampai beberapa lama sampai beliau menerima telegram dari keluarga tentang ucapan hari raya idul fitri, pada saat itulah beliau sadar bahwa Ramadhan telah berlalu, perlu untuk diketahui bahwa pabrik di mana beliau ditempatkan sangat terpencil dari perkotaan, dan pekerjaannya menuntut ketangkasan, oleh karenanya beliau tidak berpuasa selama dua tahun.
Saat ini beliau tidak mampu lagi mengganti puasa tersebut, pada saat itu beliau tidak sengaja untuk tidak berpuasa, maka apakah ada jalan keluar ?
Alhamdulillah.
Pertama:
Bagi seseorang yang tidak jelas bilangan bulan dalam satu tahun, tetap tidak menggugurkan kewajiban berpuasa Ramadhan. Diwajibkan baginya untuk berusaha keras dan berijtihad untuk mengetahui datangnya bulan Ramadhan.
Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyah (10/192):
“Barang siapa yang sedang dipenjara atau berada pada pinggiran kota (daerah pedalaman) atau berada pada wilayah perang, dimana tidak memungkinkan baginya mengetahui bilangan bulan, sehingga menjadi tidak jelas baginya akan datangnya bulan Ramadhan, jika masih memungkinkan untuk mengira-ngira dan berijtihad dalam pelaksanaan puasa wajib tersebut, maka wajib ia lakukan sebagaimana ijtihad dalam menentukan arah kiblat dalam shalat”.
Jika dia telah berijtihad dan mengira-ngira waktu yang benar untuk berpuasa, maka ibadahnya dianggap sah dan benar, berdasarkan firman Allah –Ta’ala-:
( لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا ) البقرة/286
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (QS. Al Baqarah: 286)
( لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا مَا آتَاهَا ) الطلاق/7
“Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya”. (QS. Ath Thalaq: 7)
Baca juga jawaban soal nomor: 81421
Maka menjadi kewajiban bapak anda untuk mengira-ngira datangnya bulan Ramadhan, dan berpuasa sesuai dengan ijtihadnya, namun jika memungkinkan untuk bertanya maka wajib bertanya.
Kapan saja dia mengetahui bahwa Ramadhan telah masuk atau sudah berlalu, maka ia wajib berpuasa, jika masih di dalam bulan Ramadhan dianggap sebagi “Adaa’ (melaksanakan tepat waktu), dan kalau Ramadhan sudah lewat dianggap sebagai “Qadha’” (penggantinya).
Adapun selama dua tahun tidak berpuasa dengan alasan tidak mengetahui datangnya bulan Ramadhan, tidak boleh dilakukan.
Kedua:
Bapak anda diwajibkan berpuasa dua bulan sebagai ganti dari dua kali meninggalkan puasa Ramadhan, diiringi dengan bertaubat, istighfar dan memperbanyak amal sholeh yang sunnah, khususnya puasa sunnah.
Bahkan jumhur ulama berpendapat diwajibkan baginya ditengah mengqadha’ puasanya dia juga membayar fidyah (memberi makan satu orang miskin sebanyak hari yang ia tinggalkan).
Syeikh Ibnu Jibrin –rahimahullah- pernah ditanya:
“Barang siapa yang mengakhirkan qadha’ Ramadhan sampai Ramadhan tahun berikutnya, maka apa yang harus ia lakukan ?”
Beliau menjawab:
“Jika karena ada sebab seperti karena sakit selama 11 bulan berada di atas tempat tidur, tidak bisa berpuasa selama waktu tersebut, maka baginya tidak wajib mengqadha’nya, adapun jika meremehkan dan karena teledor, padahal ia mampu melakasanakan, maka ia wajib mengqadha’ dan membayar fidyah (memberi makan orang miskin) selama hari yang ia tinggalkan, sebagai bentuk kaffarat (denda) akan keteledorannya”. (Fatawa Ash Shiyam)
Baca juga jawaban soal nomor: 26865
Kedua:
Barang siapa sudah tidak mampu lagi mengqadha’nya karena sakit atau karena sudah tua, maka diwajibkan baginya untuk bertaubat dan membayar fidyah sebanyak hari yang ia tinggalkan untuk berpuasa. Sesuai dengan qiyas dari pendapat jumhur: “Dia juga wajib membayar fidyah lainnya sebanyak hari yang ia tinggalkan sebagai kaffarat (denda) dari ketedorannya”.
Jalaluddin Al Mahalli –rahimahullah- dalam syarahnya Minhajut Thalibin (22/88) berkata:
“Dan yang lebih shahih adalah jika dia menunda qadha’ puasanya, padahal dia mampu sebelumnya, lalu dia meninggal dunia, maka dikeluarkan dari harta warisannya untuk setiap harinya 2 mud: 1 mud sebagai ganti dari puasanya dan 1 mud lainnya untuk keterlambatannya”. Ini sesuai dengan pendapat yang baru.
Adapun pendapat yang lama, cukup 1 mud saja; sebagai ganti dari puasa qadha’nya, dan 1 mud lainnya dimaafkan.
Namun jika dia mampu memberi makan untuk setiap harinya dua orang miskin; karena keterlambatannya maka lebih baik dan lebih terbebas dari tanggungannya, kalau tidak, maka cukup untuk setiap harinya satu orang miskin, tidak ada tanggungan apapun selain hal tersebut.
Wallahu A’lam.