Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Bagaimanakah hukumnya menggunakan produk yang terbuat dari bahan kulit hewan ?
Alhamdulillah.
Kulit hewan ini banyak yang masuk menjadi produk-produk, seperti dibuat menjadi tas, mantel, sepatu, ikat pinggang, dan yang lainnya.
Dan “Produk kulit” ini baik yang berasal dari hasil produk minyak bumi, atau yang lainnya: adalah mubah dan suci; karena hukum asal pada segala sesuatu adalah mubah.
Dan adapun produk yang terbuat dari kulit hewan, maka hukumnya berbeda sesuai dengan kulit hewan yang dipakainya, dan kulit hewan ini ada beberapa kondisi:
Maka kulit ini suci, sesuai dengan konsensus para ulama; karena telah berubah menjadi baik (thoyyib) dengan disembelih, seperti; kulit onta, sapi, kambing, dzhob (kadal padang pasing), kelinci, dan yang lainnya, baik dengan cara disamak atau tidak disamak.
Ibnu Hazm –rahimahullah-:
“Dan mereka telah bersepakat bahwa kulit binatang yang dimakan dagingnya dengan disembelih adalah suci, boleh digunakan, dan menjualnya”. Selesai. (Maratib Al Ijma’, Hal: 23)
Maka kulit ini menjadi najis; karena menjadi bagian dari hewan yang menjadi bangkai, dan hewan yang menjadi bangkai adalah najis, dan tidak bisa suci kecuali dengan cara disamak, dan jika telah disamak maka berubah menjadi suci.
Ad Dibaagh (disamak) ini adalah kulit diproses dengan pembersih dan pencuci untuk menghilangkan bau busuk, rusak dan basahnya. Dan mereka menggunakan Al Qaradh (daun pohon salam), dan Al ‘Afash (jenis pohon Quercus), dan As Syabb (tumbuhan yang aromanya wangi) dan kulit delima.
Dan di era modern ini mensamak kulit ini dilakukan di pabrik besar dengan menggunakan bahan kimia yang bisa membersihkan kulit dan tujuannya pun sama...., maka mensamak ini bisa dengan cara apa saja yang bisa menghilangkan bau busuk dan kotoran kulit.
Dan semua kulit yang sekarang digunakan untuk tas, pakaian, sepatu dan sebagainya, telah disamak dengan sempurna dan dibersihkan dari cairan dan darah.
Dan yang menunjukkan atas sucinya kulit yang disamak ini adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Muslim (366) dari Abul Khoir bahwa ia telah bertanya kepada Abdullah bin Abbas –radhiyallahu ‘anhu- berkata:
قُلْتُ : إِنَّا نَكُونُ بِالْمَغْرِبِ وَمَعَنَا الْبَرْبَرُ وَالْمَجُوسُ ، نُؤْتَى بِالْكَبْشِ قَدْ ذَبَحُوهُ ، وَنَحْنُ لَا نَأْكُلُ ذَبَائِحَهُمْ ، وَيَأْتُونَا بِالسِّقَاءِ يَجْعَلُونَ فِيهِ الْوَدَكَ [ الشَّحْم
فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما : قَدْ سَأَلْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ ، فَقَالَ : ( دِبَاغُهُ طَهُورُهُ) .
“Saya berkata: “Sungguh kami di Maroko, di sini ada orang Barbar dan Majusi, kami diberi kambing di mana mereka telah menyembelihnya, dan kami tidak makan sembelihan mereka, dan mereka memberi kami minum di mana mereka menjadikannya sebagai mentega (lemak), maka Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- berkata: “Kami telah bertanya kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang hal itu, lalu beliau bersabda: “Pen-samak-annya adalah cara mensucikannya”.
Imam Muslim (363) telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- -juga- bahwa ia berkata: “Pembantu Maimunah telah diberi sedekah kambing, lalu kambing ini mati, lalu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melewatinya dan bersabda:
هَلَّا أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا فَدَبَغْتُمُوهُ ، فَانْتَفَعْتُمْ بِهِ .فَقَالُوا : إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ : ( إِنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا) .
“Tidakkah kalian mengambil kulitnya dengan cara disamak ?, maka kalian bisa memanfaatkannya”. Lalu mereka berkata: “Ini telah menjadi bangkai”. Lalu beliau bersabda: “Sungguh yang dilarang adalah memakannya”.
Hal ini menunjukkan bahwa kulit bangkai hewan yang dagingnya bisa dimakan, dan menjadi suci dengan cara di samak.
Ibnu Batthal –rahimahullah- berkata:
“Dan sesuai pendapat inilah menurut pada ulama dan para imam fatwa. Dan Ibnul Qishar telah menyebutkan bahwa inilah yang menjadi pendapat Malik terakhir, dan juga menjadi pendapat Abu Hanifah dan Syafi’i”. (Syarah Shahih Bukhori: 5/441)
Dan para ulama telah berbeda pendapat, apakah di samak ini akan mensucikan kulit ini atau tidak ?
Baik kita katakan kulit ini akan suci dengan di samak atau tidak, maka tidak boleh menggunakannya pada dua kondisi tersebut; berdasarkan apa yang telah ada riwayat shahihnya dalam larangan untuk menggunakannya.
Dan yang menunjukkan hal ini adalah apa yang tertera riwayatnya dari Abi Maliih dari Ayahnya:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ جُلُودِ السِّبَاعِ أَنْ تُفْتَرَشَ رواه الترمذي (1771) ، وصححه النووي ، والألباني
“Bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melarang kulit binatang buas untuk dijadikan alas”. (HR. Tirmidzi: 1771 dan telah dinyatakan shahih oleh Albani)
Dan dari Al Miqdam bin Ma’dikarib:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ لُبْسِ جُلُودِ السِّبَاعِ وَالرُّكُوبِ عَلَيْهَا رواه أبو داود ( 4131 ) ، وصححه الألباني
“Bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melarang untuk memakai kulit binatang buas dan mengendarainya”. (HR. Abu Daud: 4131 dan telah ditashih oleh Albani)
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa kulit binatang buas tidak boleh dimanfaatkan sama sekali.
Tirmidzi berkata:
“Dan sebagian para ulama dari para sahabat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan yang lainnya, bahwa mereka tidak suka kepada kulit binatang buas, meskipun telah di samak”. (Ini merupakan pendapat Abdullah bin Mubarak, Ahmad, Ishaq, dan mereka telah melarang keras untuk memakainya dan shalat dengannya”. Selesai. (Sunan Tirmidzi: 1771)
Sebagian ulama berkata: “Sungguh larangan tentang kulitnya binatang buas, ini maksudnya adalah menggunakannya sebelum di samak”.
An Nawawi berkata: “Dan hal ini adalah lemah, maka pengkhususkan kepada binatang buas ini, bahwa semua kulit dalam hal itu sama “. (Al Majmu ‘Syarah Al Muhadzab: 1/221 M. )
Alasan pada larangan menggunakan kulit ini: karena di dalam terdapat kesombongan dan kecongkakan, dan karena di dalamnya mirip dengan para otoriter dan karena ia menjadi pakaian orang kaya dan mereka yang boros.
Dan atas dasar inilah maka, tidak boleh menggunakannya, baik kita katakan kulitnya suci atau tidak.
Kulit-kulit ini dan yang serupa dengannya: adalah najis, baik telah disembelih, atau mati atau dibunuh; karena meskipun disembelih tetap tidak halal, dan tidak menjadi baik (thoyyib) dan ia najis pada semua kondisi.
Dan akan tetapi, jika kulit-kulit ini telah disamak, apakah menjadi suci ?, pada masalah ini ada perbedaan di antara para ulama:
Maka dikatakan; sungguh mensamak ini akan mensucikan semua kulit, kecuali kulit anjing dan babi.
Pendapat ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr –rahimahullah- :
“Sesuai dengan jumhur ulama fikih dari para pemikir dan peneliti di Hijaz, Irak dan Syam”. Selesai. (Al Istidzkar: 5/295)
Dan yang menunjukkan madzhab ini adalah sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ رواه مسلم (366)
“Jika kulit itu telah di samak, maka telah suci”. (HR. Muslim: 366)
Dan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ رواه الترمذي (1728) وقد صححه البخاري ، والترمذي
“Kulit apa saja yang telah disamak, maka telah suci”. (HR. Tirmidzi: 1728 dan telah dinyatakan shahih oleh Bukhori dan Tirmidzi)
Dan Al Ihaab ini adalah kulit yang belum disamak, sebagai bentuk umum mencakup semua jenis kulit.
Dan telah dikecualikan dari itu adalah kulit anjing dan babi; karena keduanya najis dalam kondisi hidupnya, maka jika saat hidup –hal ini lebih kuat dari menyamak untuk proses pensucian- tidak bisa mensucikan keduanya, maka pen-samakan akan lebih tidak bisa lagi.
Samak ini akan menghilangkan penyebab najisnya, yaitu; kelembaban dan darah”. Selesai. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah: 20/230)
Ibnu Abdil Barr –rahimahullah- berkata: “Sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
كل إهاب دبغ فقد طهر
“Setiap kulit yang telah disamak, maka telah menjadi suci”.
Telah masuk pada semua kulit, kecuali bahwa jumhur salaf telah melakukan konsensus bahwa kulit babi tidak termasuk di dalamnya”. Selesai. (At Tamhid: 4/178)
Beliau –rahimahullah- juga berkata:
“Adapun sabda beliau: “Kulit apa saja yang telah disamak, maka telah menjadi suci”, yang menuntut pada semua kulit; karena redaksinya dengan redaksi umum, dan tidak dikhususkan pada sesuatu, dan inilah pendapat jumhur ulama, dan para imam fatwa, kecuali kulit babi, maka tidak masuk pada keumuman sabda beliau:
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ
“Kulit apa saja yang telah disamak, maka telah suci”.
Karena dzatnya telah diharamkan dalam kondisi hidup dan matinya, dan kulitnya seperti dagingnya, maka ketika ada (najis) pada daging dan kulitnya tidak disembelih, maka samak pada kulitnya tidak bisa dilakukan”. Selesai. (Al Istidzkar: 5/305)
Pendapat kedua:
Bahwa pen-samak-an ini tidak mensucikan, kecuali kulit hewan yang boleh dimakan dagingnya, dan adapun hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya, maka samak tidak bisa mensucikan kulitnya, hal ini menjadi madzhab Al Auza’i, dan satu riwayat dari Imam Ahmad, dan menjadi pilihan syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- pada salah satu dari dua pendapatnya.
Lihat: Syarah Shahih Muslim karya An Nawawi: 4/54, Al Furu’ karya Ibnu Muflih: 1/102, Majmu’ Fatawa karya Ibnu Taimiyah: 21/95.
Dan pendapat ini juga dipilih oleh: sekelompok para ulama kontemporer, seperti syeikh Muhammad bin Ibrohim, Syeikh Ibnu Baz, Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahumullah-.
Dan mereka telah berdalil dengan hadits Salamah bin Al Muhabbiq bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada perang Tabuk telah berdoa dengan air dari wanita, ia berkata:
مَا عِنْدِي إِلَّا فِي قِرْبَةٍ لِي مَيْتَةٍ ، قَالَ : أَلَيْسَ قَدْ دَبَغْتِهَا ، قَالَتْ : بَلَى .قَالَ : ( فَإِنَّ دِبَاغَهَا : ذَكَاتُهَا ) رواه النسائي (4245) وصححه الدارقطني ، والنووي ، والألباني
“Saya tidak punya kecuali pada kulit kantong air saya dari (kulit) bangkai, ia berkata: “Tidakkah anda telah men-samaknya, ia berkata: “Iya”. Beliau bersabda: “Maka sungguh pen-samak-annya adalah sembelihannya”. (HR. Nasa’i: 4245 dan telah dinyatakan shahih oleh Ad Daruquthni, An Nawawi, dan Albani”.
Maka beliau telah menganalogikan samak dengan sembelihan, dan sembelihan ini sungguh dilakukan pada daging yang dimakan”. Selesai. (Al Mughni karya Ibnu Qudamah: 1/94).
Dan buah perbedaan ini akan nampak pada hukum memanfaatkan sesuatu yang dibuat dari kulit hewan yang dagingnya tidak dimakan. Maka barang siapa yang berpendapat bahwa samak ini akan mensucikannya maka akan membolehkan pemanfaatannya dengan kulit-kulit ini. Dan barang siapa yang berpendapat bahwa samak ini tidak bisa mensucikan kulit hewan yang dagingnya tidak bisa dimakan, maka tidak boleh memanfaatkan kulit-kulit ini, dan juga tidak boleh duduk di atasnya dan tidak boleh memakainya.
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya:
Apa rambu-rambunya dalam memanfaatkan kulit-kulit ini, dan apa yang halal dan yang haram ?
Maka beliau berkata:
“Sebagaimana diketahui bahwa kulit-kulit yang ada di pasar adalah kulit yang disamak, dan kulit yang disamak menurut kebanyakan para ulama adalah suci, meskipun berasal dari hewan yang najis.
Yang benar adalah tidak suci jika berasal dari hewan yang najis; karena yang najis dzatnya tidak bisa suci meskipun dicuci dengan air laut. Adapun jika berasal dari kulit yang dagingnya mubah dimakan, akan tetapi anda tidak tahu, apakah ia kulit hewan yang disembelih atau dari bangkai maka tidak perlu diperhatikan, karena walaupun berasal dari bangkai hewan atau kulit hewan yang disembelih dengan cara yang tidak Islami, maka jika telah disamak maka menjadi suci, seperti sebagian bulu, yang terselip dengan kulit pada kulit anak kambing, maka pendapat kami: Pakailah tidak masalah, sehingga kalaupun termasuk bangkai atau kalaupun disembelih dengan sembelihan yang tidak sesuai syari’at; karena jika telah disamak maka akan menjadi suci”. Selesai. (Liqa’ Al Bab Al Maftuh)
Lihat juga jawaban soal nomor: 1695
Kesimpulan:
Bahwa tidak masalah mamakai sesuatu yang terbuat dari kulit hewan yang dagingnya boleh dimakan, adapun yang terbuat dari kulit binatang buas, maka tidak boleh memakainya sama sekali.
Dan adapun jika dibuat dari kulit hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan, maka lebih utama untuk tidak memakainya, karena kuatnya perbedaan pendapat dalam masalah ini.
Syeikh Bin Baz –rahimahullah- berkata:
“Tidak diragukan lagi bahwa kulit yang telah disamak dari bangkai -yang dihalalkan dengan sembelihan, seperti onta, sapi, kambing, adalah suci. Boleh digunakan pada segala sesuatu, menurut pendapat yang terkuat dari para ulama.
Adapun kulitnya babi dan anjing dan yang serupa dengannya dimana tidak menjadi halal karena disembelih, maka pensuciannya dengan cara disamak terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama; dan untuk lebih hati-hatinya dengan tidak memakainya, berdasarkan sabda Nabi –shallallahu a’laihi wa sallam-:
ومن اتقى الشبهات فقد استبرأ لدينه وعرضه
“Dan barang siapa yang menjaga diri dari syubhat, maka ia telah ia telah terbebas pada agama dan kehormatannya”.
Dan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
دع ما يريبك إلى ما لا يريبك
“Tinggalkan apa yang meragukanmu menuju yang tidak meragukanmu”.
Selesai. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 6/354)
Wallahu A’lam