Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Allah Ta’ala berfirman:
لا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja. Maka, kafaratnya (denda akibat melanggar sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang (biasa) kamu berikan kepada keluargamu, memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Siapa yang tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasa tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah (dan kamu melanggarnya). Jagalah sumpah-sumpahmu! Demikianlah Allah menjelaskan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).”. (QS. Al Maidah: 89)
Mengapa perintahnya dengan kalimat “dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu,” bukan dengan kalimat “dari makanan yang biasa dimakan oleh keluargamu?”, karena saya tidak memberi makan keluarga saya, akan tetapi merekalah yang memberikan makan kepada saya, maka apakah kewajiban memberi makan ini gugur dari saya, dan cukup dengan memberikan pakaian atau memerdekakan budak, atau apa? Apakah artinya hanya sebatas kepada orang yang memberi makan?
Alhamdulillah.
Pertama:
Kafarat sumpah sesuai dengan urutan yang telah disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla di dalam surat Al Maidah:
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آَيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
سورة المائدة: 89
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja. Maka, kafaratnya (denda akibat melanggar sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang (biasa) kamu berikan kepada keluargamu, memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Siapa yang tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasa tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah (dan kamu melanggarnya). Jagalah sumpah-sumpahmu! Demikianlah Allah menjelaskan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).”. (QS. Al Maidah: 89)
Maka orang yang membayar kafarat ini memilih satu dari tiga kreteria di bawah ini kemudian melaksanakannya:
Dan barang siapa yang mengerjakan salah satu dari ketiganya maka dia telah terbebas dari tanggungan, dan ia telah dianggap melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya. Jika dia tidak mampu melaksanakan ketiganya, maka dia menggantinya dengan berpuasa tiga hari.
Kadar Yang Diwajibkan Dalam Memberi Makan
Kadar yang diwajibkan dalam memberi makan ini adalah satu sha’ bagi setiap satu orang miskin, yaitu kira-kira 1,5 Kg beras atau yang serupa dengan beras. Jika ia tambahi dengan sedikit lauk-pauk maka itu lebih baik lagi, dan anda juga bisa memberi makan kepada 10 orang miskin, atau pada makan malam mereka, dan dalam memberi pakaian cukup dengan satu baju bagi setiap orang miskin.
Dan tidak boleh menggantinya dengan puasa sementara ia mampu memberi makan atau memberi pakaian atau memerdekakan budak, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
سورة المائدة: 89
“Siapa yang tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasa tiga hari. (QS. Al Maidah: 89)
Ibnul Mundzir –rahimahullah- berkata:
“Mereka telah melakukan ijma’ (konsensus) bahwa pelaku sumpah yang mampu memberi makan, atau memberi pakaian atau memerdekakan budak, tidak boleh berpuasa jika ia melanggar sumpahnya”(Al Ijma: 107).
Lihat juga jawaban soal nomor: 45676
Kedua:
Firman Allah Ta’ala:
Dari makanan yang biasa kalian berikan kepada keluargamu tidaklah menjadi pengikat kepada orang yang membayarkan kafarat bahwa dia haruslah orang yang memberikan makan kepada keluarnya, namun hal itu hanya sebagai penjelas, bahwa memberikan makan tersebut dari yang biasa dimakan oleh orang-orang, atau dari yang biasa dimakah oleh keluarganya.
Karena manusia dialah yang membayarkan kafarat, dikatakan kepadanya: “Kalau anda memberi makan kepada keluarga anda, maka apa yang akan anda berikan ?, jawabannya adalah apa yang biasa ia keluarkan.
Dan bisa juga penggunaan kata “Tuth’imun”, bukan “Ya’kulu”--wallahu A’lam-- maksudnya adalah menjelaskan perbuatan yang bersifat pilihan bagi orang yang memberikan makan sebagai kafarat, karena orang yang memakan dari hasil nafkah orang lain kepadanya, maka dia makan dari apa yang ia dapatkan, dan biasanya ia tidak bisa memilih untuk dirinya sendiri. Maka ini tidak tepat untuk menjadi kriteria dari apa yang dimaksudkan untuk memberi makan.
Adapun memberi nafkah kepada keluarganya -- baik yang memilih dengan standard tinggi atau yang memilih dengan standard lebih rendah-- maka kembalikan makna ayat tersebut dengan ketentuan berikut: Jika ia memilih yang standard tinggi untuk keluarganya, sedang di waktu berikutnya memilih yang rendah, atau memberikan nafkah kepada mereka dengan yang rendah tidak dengan yang tinggi, maka hendaknya memberi makan dengan yang pertengahan dari kedua nafkah tersebut.
Ia tidak diminta untuk memberi makan dengan yang standard tertinggi dari keluarganya saat kondisi lapang, dan saat ia lapang ia tidak diminta untuk memberi makan dengan yang rendah, namun patokannya adalah pertengahan di antara keduanya.
Ibnul ‘Araby –rahimahullah- berkata:
“firman Allah: “Memberi makan” (QS. Al Maidah: 89) memungkinkan makanan mereka untuk sisa usia mereka, dan memungkinkan untuk makan siang dan makan malam.
Ulama telah bersepakat bahwa makanan pertengahan pada kafarat sumpah dan menjadi kenyang pada yang lainnya, hanya saja Abu Hanifah berkata: “diperkirakan kafarat sumpah pada gandum jenis al-burr adalah setengan sha’, sedang pada kurma dan gandum jenis as- syaii’r dengan satu sha’.
Dasar dalam masalah ini adalah bahwa makna “pertengahan” menurut lisan orang Arab itu maksudnya yang tertinggi dan pilihan, dan di antaranya firman Allah Ta’ala:
وكذلك جعلناكم أمة وسطا
سورة البقرة: 143
“Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan”. (QS. Al-Baqarah: 143)
Maksud ‘wasath’ di ayat tersebut adalah adil dan pilihan.
Dapat juga bermakna sebagai kedudukan di antara dua kedudukan, dan pertengahan dari dua sisi, dari sisi ada pribahasa: “Sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan”.
Ulama telah bersepakat bahwa makna wasath yang terbaik, namun mereka sepakat bahwa makna yang sudah umum dikenal adalah kedudukan dari dua kutub dan ada juga yang mengukurnya seperti Abu Hanifah.
Ada sekelompok para ulama yang keliru, dan berkata: “Bahwa jika ia makan gandum jenis as-sya’iir dan masyarakat makan gandum jenis al-burr, maka ia membayar dengan apa yang dimakan oleh masyarakat.
Ini adalah kelalaian yang nyata; pembayar kafarat jika ia tidak mampu khususnya pada dirinya kecuali gandum jenis as sya’iir, maka ia tidak dibebani untuk memberi kepada orang lain dengan yang lainnya. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda:
صاعا من طعام، صاعا من شعير، صاعا من تمر، في موضع كان فيه الشعير والتمر أكثر من البر، والبر أكثر من الشعير والتمر، فإنما فصل ذكرهما، ليخرج كل أحد فرضه مما يأكل منها، وهذا مما لا خفاء به
“Satu sha’ makanan, satu sha’ gandum jenis as sya’iir, satu sha’ kurma, di tempat di mana gandum jenis as sya’iir dan kurma lebih banyak dari pada gandum jenis al-burr, dan al-burr lebih banyak dari pada as sya’iir dan kurma, hanya saja dipisah penyebutannya, agar masing-masing membayarkan kewajiban dari apa yang ia makan, dan hal ini termasuk bukan hal asing.”
Kami berkata: “Beliau menginginkan jenis dan kadarnya juga, yaitu; dengan ukuran mudnya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang adil pada kadar tersebut.
Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menjelaskan pada kafarat, perbedaan antara 6 orang miskin, perbedaannya adalah 3 sha’ secara global, sabda beliau: shadaqah. Dan Allah tidak menyebutkan secara global pada kafarat sumpah, bahkan berfirman: “dari makanan yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian” (QS. Al Maidah: 89). Menurut mereka adalah jenis apa yang mereka berikan makan, kadarnya diketahui, kadar pertengahannya adalah satu mud, dan disebutkan secara umum pada kafarat zhihar seraya berfirman:
فإطعام ستين مسكينا
سورة المجادلة: 4
“Maka berikanlah makan kepada 60 orang miskin”. (QS. Al Mujadilah: 4)
Maka dibawa kepada yang kebanyakan.
Inilah jalan yang mudah, yang umum (muthlaq) tidak dikembalikan kepada yang terikat, juga yang umum tidak dibawa kepada yang khusus, juga yang mujmal (global) kepada yang diperinci”. (Ahkamul Qur’an: 2/157-158)
Lalu tidak bisa dipungkiri bahwa redaksi “Tuth’imun” termasuk masalah baik antar redaksi ini, dan dinyatakan dengan bentuk perintah untuk membayar kafarat: “Ith’am (memberi makan); maka masing-masing dari keduanya memilih redaksi “Al-Ith’am” itulah yang dimaksud dari kafarat dan dinisbatkan kepada pemilik sumpah.
Wallahu A’lam.