Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
Pertama: Pasien yang tidak dapat dibawakan air dan berwudhu dengannya atau tidak tidak mampu bergerak, maka kondisinya dilihat; Jika ada orang yang membawakan air pada waktu shalat dan membantunya untuk berwudhu, maka dia wajib berwudhu. Jika tidak ada orang yang membantunya untuk berwudhu, maka ketika itu disyariatkan baginya bertayammum. Berlaku baginya hukum tidak mendapatkan air.
Karena Allah Ta'ala berfirman,
فاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ (سور التغابن: 16)
"Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian." (QS. At-Taghabun: 16)"
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ (رواه البخاري، رقم 7288 ومسلم، 1337)
"Jika aku perintahkan kalian terhadap suatu perkara, maka lakukanlah semampu kalian." (HR. Bukhari, no. 7288, dan Muslim, no. 1337)
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Al-Mughni (1/151), "Siapa yang sakit tidak mampu bergerak, dan tidak mendapatkan orang yang mengantarkan air kepadanya, maka dia bagaikan orang yang tidak mendapatkan air, karena dia tidak mendapatkan jalan untuk mendapatkan air. Maka dia sama dengan orang yang mendapatkan sumur, akan tetapi dia tidak mendapatkan sesuatu yang digunakan untuk mengambil air tersebut. Jika ada orang yang dapat mengantarkan air kepadanya sebelum keluar waktu, maka dia bagaikan orang yang mendapatkannya, karena dia bagaikan orang yang mendapatkan alat untuk mengambil air saat waktunya masih tersedia. Jika dia khawatir waktunya habis sebelum orang itu datang, maka Ibnu Abi Musa berkata, "Dia boleh bertayammum dan tidak perlu diulang. Ini merupakan pendapat Al-Hasan, karena dia bagaikan orang yang tidak mendapatkan air saat masih ada waktu, maka dia bagaikan orang yang tidak mendapatkan air secara mutlak."
Al-Mardawi berkata dalam Al-Inshaf, 1/265,
"Seandainya orang sakit yang tidak dapat bergerak dan tidak mendapatkan orang yang dapat mewudhukannya, maka hukumnya adalah bagaikan orang yang tidak mendapatkan air. Jika dia khawatir waktunya akan habis apabila menunggu orang yang mewudhukannya, hendaknya dia bertayammum dan shalat, dan tidak perlu baginya mengulang shalatnya menurut pendapat yang sahih dalam mazhab ini."
Syaikhul Islam berkata dalam Syarhul Umdah, 1/433-434,
"Jika tidak mungkin baginya (menggunakan air) misalnya dia tidak dapat bergerak untuk mendapatkan air dan tidak ada orang yang mengantarkannya, maka dia bagaikan orang yang tidak memiliki air. Jika dia mendapatkan orang yang mengantarkannya pada waktunya shalat tersebut, maka dia bagaikan orang yang mendapatkan air."
Terdapat dalam Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah, 14/260, "Orang lemah yang tidak dapat menggunakan air dibolehkan bertayammum, tidak harus mengulangnya, seperti orang yang terpaksa, dipenjara, diikat di dekat air, takut dengan hewan atau seseorang dalam safar atau menetap. Karena hukumnya sama dengan orang yang tidak mendapatkan air. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إنّ الصّعيد الطّيّب طهور المسلم وإن لم يجد الماءَ عشرَ سنينَ ، فإذا وجدَ الماءَ فليمسّه بشرتَه ، فإنّ ذلك خير
"Sesungguhnya debu yang suci adalah alat bersuci bagi seorang muslim, meskipun dia tidak mendapatkan air sepuluh tahun. Jika dia mendapatkan air, maka basahi kulitnya, karena hal itu baik."
Lihat soal no. 20935
Kedua:
Jika dia dapat membasuh sebagian anggota wudhu, namun penyakitnya mencegahnya untuk membasuh sebagian anggota lainnya, maka diwajibkan baginya membasuh anggota yang dapat dia basuh saat berwudhu dan bertayammum sebagai ganti anggota yang tidak dia basuh.
Hal ini telah dijelaskan dalam soal no. 67614
Adapun tentang tata cara tayammum, Syekh Ibnu Utsaimin berkata dalam Asy-Syarhul Mumti, 1/488, "Adapun tatacaranya (Tayamum) menurut saya yang sesuai dengan sunah adalah dengan menepukkan tangan ke tanah sekali tepukan tanpa merenggangkan jari jemari, kemudian mengusap muka dengan kedua telapak tangan anda, kemudian mengusap kedua telapak tangan satu sama lain. Dengan demikian, sempurnalah tayammum."
Penjelasan rincinya terdapat dalam soal no. 21074.
Keempat:
Jika orang sakit yang tidak mendapatkan air telah melakukan shalat dengan tayammum, lalu ternyata sesudah shalat dia dapat dengan mudah mendapatkan air, maka dia tidak harus mengulang shalat, karena dia telah menunaikan kewajiban dan melaksanakan apa yang telah diperintahkan.
Syaikhul Islam, Ibnu Taimiah berkata dalam kitab Syarhul Umdah, 1/425)
"Karena Allah Ta'ala menyatakan satu shalat yang dilakukan sesuai kemampuan, adapun syarat yang tidak dipenuhi maka dia gugur karena ketidakmampuan. Sabda Raslullah shallallahu alaihi wa sallam, "Debu yang suci adalah alat bersuci bagi seorang muslim." Juga sabdanya, "Debu telah cukup bagimu." Merupakan dalil bahwa debu (Tayammum) dapat menggantikan air secara mutlak."
Kelima:
Bertayammum dengan menepuk tangan ke dinding rumah, para ulama berbeda pendapat, sesuai perbedaan mereka tentang apa yang dimaksud dengan firman Allah Ta'ala,
فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً (سورة النساء: 43)
"Bertayammumlah dengan tanah yang suci." (QS. An-Nisa: 43)
Pendapat yang shahih tentang makna ayat tersebut bahwa yang dimaksud الصعيد adalah apa yang ada di permukaan bumi, apakah debu, pasir atau batu atau selainnya.
Dengan demikian, jika dindingnya tidak dilapisi sesuatu, maka diboleh bertayammum, apakah ada debunya atau tidak, karena dia termasuk الصعيد . Adapun jika dindingnya dilapisi (dengan kayu atau cat) maka kayu atau cat tersebtu bukan الصعيد maka tidak sah tayammum dengannya, kecuali jika padanya terdapat debu. Karena debu termasuk الصعيد.
Lihat soal no. 36774.
Keenam:
Adapun tentang tatacara shalat orang yang sakit dan tidak mampu bergerak, disebutkan dalam Al-Mausuah Al-Fiqhiyah, 26/208, "Bahwa orang sakit yang menderita lumpuh, hendaknya melakukan rukun-rukun shalat yang dia mampu lakukan menurut jumhur fuqaha. Karena orang yang tak kuasa melakukan suatu perbuatan, maka dia tidak dibebani untuk itu. Jika dia tidak kuasa berdiri, maka dia shalat sambil duduk, lalu dia rukuk dan sujud. Jika dia tidak mampu sujud dan rukuk, maka dia shalat sambil duduk dan memberikan isyarat. Sujudnya hendaknya lebih rendah dari rukuk. Jika tidak mampu duduk, maka dia tidak mampu duduk, maka dia terlentang dan memberikan isyarat. Karena gugurnya rukun karena uzur, dilaksanakan sesuai uzurnya.
Umran bin Hushain radhiallahu anhu meriwayatkan, dia berkata, "Shalatlah sambil berdiri, jika tidak kuasa, shalat sambil duduk, jika tidak mampu, shalat sambil berbaring dan memberikan isyarat."
Syekh Saleh Al-Fauzan ditanya, "Saya memiliki bapak yang sakit dan mengalami lumpuh di tubuh sebelah kiri, tidak dapat bergerak sama sekali. Karena itu, dia tidak dapat berjalan dan bergerak serta buang hajat sendiri di tempat khusus. Hal itu terjadi sejak sepuluh tahun. Akan tetapi sejak 3 hingga 4 bulan lalu, sakitnya semakin berat. Apakah dia boleh meninggalkan shalat karena hal tersebut, karena dia tidak dapat bersuci untuk shalat, atau tidak? Jika dia tidak dapat melakukannya, maka bagaimana dia bersuci dan shalat? Apa yang harus dilakukan dengan shalat-shalat yang ditinggalkan di masa lalu, karena dia berkeyakinan bahwa orang seperti dia telah digugurka kewajiban shalatnya.
Beliau menjawab, "Seorang muslim tidak gugur kewajiban shalatnya selama akalnya masih berfungsi, akan tetapi dia dapat shalat sesuai kondisinya, berdasarkan firman Allah Ta'ala, "Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian." Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada orang yang sakit,
صلِّ قائمًا ، فإن لم تستطع فقاعدًا ، فإن لم تستطع فعلى جنب
"Shalatlah dalam keadaan berdiri, jika tidak mampu, shalatlah dalam keadaan duduk. Jika tidak mampu, shalatlah dengan cara berbaring."
Maka, jika bapak yang menderita lumpuh apabila masih mampu berwudhu sendiri dengan tangannya yang sehat atau diwudukan oleh orang lain yang dapat membantunya, maka wajib baginya berwudhu. Jika dia tidak dapat berwudhu dengan air, maka dia boleh bertayammum.
Jika dia tidak dapat bertayammum sendiri, maka dapat ditayammumkan oleh selainnya, yaitu dengan cara salah seorang kerabatnya atau siapa saja yang ada memukulkan kedua tangannya ke atas tanah, lalu dengan keduanya mengusapkan wajah dan kedua tangannya dan meniatkan untuk bersuci. Kemudian dia shalat sesuai kondisi, apakah duduk atau berbaring. Kemudian dia memberi isyarat dengan kepala untuk rukuk dan sujud sesuai kemampuan. Jika tidak mampu memberikan isyarat dan gerak karena lumpuh, maka di memberikan isyarat dengan mata untuk rukuk dan sujud.
Demikianlah, agama itu mudah, segala puji bagi Allah. Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti dia boleh meninggalkan shalat sama sekali. Akan tetapi dia shalat sesuai kondisinya. Maka wajib baginya mengqadha shalat-shalat yang telah dia tinggalkan sesuai kemampuan."
(Al-Muntaqa Min Fatawa Al-Fauzan, 4/27)
Wallahua'lam.