Jum'ah 21 Jumadil Ula 1446 - 22 November 2024
Indonesian

Beberapa Hukum Tentang Wakaf

Pertanyaan

Bagaimanakah hukum Islam dalam masalah wakaf ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Wakaf adalah penahanan aset dan memberikan jalan pemanfaatan, maksud dari aset tersebut adalah apa saja yang memungkinkan untuk bisa dimanfaatkan namun barangnya masih tetap ada, seperti; rumah, toko, kebun dan lain sebagainya. Adapun manfaat yang dimaksud adalah hasil dari aset tersebut, seperti; buah, upah, penempatan rumah, dan lain sebagainya.

Hukum wakaf adalah termasuk ibadah sunnah di dalam Islam, yang mendasari hal ini adalah sunnah yang shahih, di dalam kitab Shahihain bahwa Umar –radhiyallahu ‘anhu- berkata:

يا رسول الله ! إني أصبت مالاً بخيبر لم أصب قط مالاً أنفس عندي منه ؛ فما تأمرني فيه ؟ قال : ( إن شئت حبست أصلها وتصدقت بها , غير أنه لا يباع أصلها ولا يوهب ولا يورث ) , فتصدق بها عمر في الفقراء وذوي القربى والرقاب وفي سبيل الله وابن السبيل والضيف .

“Wahai Rasulullah, saya mendapatkan bagian harta dari Khaibar yang belum pernah saya mendapatkan harta sebanyak itu sebelumnya, maka apa anjuran anda untuk harta tersebut ?, beliau bersabda: “Jika kamu mau, ambil pokoknya dan sedekahkanlah, hanya saja pokoknya tersebut tidak bisa dijual, dihibahkan dan diwariskan”. Maka Umar mensedekahkannya kepada para fakir miskin, kerabat, para budak, mereka yang berada di jalan Allah, dalam perjalanan dan para tamu.

Dan Muslim telah meriwayatkan di dalam kitab Shahihnya dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda:

( إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث : صدقة جارية أو علم ينتفع به من بعده , أو ولد صالح يدعو له ) . وقال جابر : ( لم يكن أحد من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم ذو مقدرة إلا وقف(

“Jika anak cucu Adam telah meninggal dunia maka terputus amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat baginya dan bagi orang setelahnya, atau anak sholeh yang mendoakannya”. Jabir berkata: “Tidaklah satupun dari para sahabat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mempunyai kemampuan kecuali wakaf”.

Al Qurthubi –rahimahullah- berkata:

“Tidak ada perbedaan di antara para imam untuk menahan (dijadikan wakaf) banyak jembatan, dan masjid secara khusus, namun mereka berbeda pendapat dalam hal yang lainnya”.

Dan disyaratkan bagi pemberi wakaf adalah orang yang boleh menyalurkan harta, seperti; baligh, merdeka, memahami situasi, jadi tidak sah jika wakaf itu berasal dari anak kecil, orang bodoh dan para budak”.

Wakaf itu bisa terlaksana dengan dua hal:

  1. Ucapan yang menunjukkan untuk berwakaf, seperti ucapan: “Saya telah mewakafkan tempat ini atau saya menjadikannya sebuah masjid”. 
  2. Perbuatan yang menunjukkan kepada wakaf menurut kebiasaan banyak orang, seperti seseorang yang menjadikan rumahnya sebagai masjid, dan mengizinkan masyarakat secara umum untuk shalat di situ, atau menjadikan tanahnya sebagai pemakaman dan mengizinkan masyarakat untuk menguburkan jenazah mereka di sana.

Redaksi ikrar wakaf dibagi menjadi dua:

Pertama:

Dengan ucapan yang jelas, seperti ucapan: “Saya wakafkan, saya tahan, saya tetapkan untuk di jalan Allah, saya namakan…”. Beberapa redaksi tersebut adalah jelas; karena tidak mengandung makna selain wakaf, maka kapan saja seseorang mengucapkan dengan salah satu dari redaksi tersebut, maka sudah menjadi wakaf tanpa ada tambahan lainnya.

Kedua:

Dengan ucapan kinayah (bahasa kiasan), seperti; “Saya sedekahkan, saya haramkan, saya kekalkan…”, dinamakan dengan bahasa kiasan karena masih mengandung makna wakaf dan makna lainnya. Maka barang siapa yang mengucapkan salah satu dari kalimat tersebut, dengan syarat diikuti dengan niat berwakaf, atau diikuti dengan salah satu kalimat yang jelas di atas, atau dengan kalimat lain yang mengandung makna kiasan, atau diikuti salah satu dari kalimat yang jelas, seperti halnya ucapan: “Saya sedekahkan sekian sebagai sedekah wakaf, ditahan,  diperuntukkan di jalan Allah, diharamkan, atau (digunakan) selamanya, pengikutsertaan kalimat kinayah dihukumi sebagai wakaf, seperti; “Saya sedekahkan sekian dan tidak untuk dijual atau diwariskan”.

Adapun syarat sahnya wakaf adalah sebagai berikut:

  1. Orang yang mewakafkan adalah orang yang boleh menggunakan hartanya, seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
  2. Hendaknya yang diwakafkan termasuk hal yang bisa dimanfaatkan secara terus-menerus dan tetap keberadaannya, tidak ada wakaf pada hal-hal yang tidak tetap (cepat musnah) setelah dimanfaatkan, seperti makanan.
  3. Hendaknya yang diwakafkan berupa hal tertentu, wakaf tidak sah jika tidak tertentu, seperti; “Saya wakafkan salah seorang dari para hamba sahayaku, atau salah satu dari rumah saya”.
  4. Hendaknya wakaf untuk suatu kebaikan; karena tujuannya adalah untuk bertaqarrub kepada Allah –Ta’ala-, seperti; masjid, jembatan, orang miskin, penyaluran air, buku pengetahuan, dan kepada para kerabat. Wakaf tidak sah untuk selain jalan kebaikan, seperti wakaf untuk tempat ibadahnya orang-orang kafir, buku-buku zindiq, wakaf untuk kuburan untuk menerangi dan pembakaran bakhur (kemenyan), juru kunci makam; karena hal itu termasuk membantu kemaksiatan, kesyirikan dan kekufuran.
  5. Syarat sahnya wakaf jika pada hal tertentu agar dimiliki sepenuhnya; karena wakaf itu kepemilikan, maka tidak sah bagi orang yang bukan menjadi hak miliknya, seperti; jenazah dan hewan.
  6. Syarat sahnya wakaf juga hendaknya yang bisa dieksekusi, tidak sah wakaf yang bersifat sementara, atau masih terkait dengan hal lainnya, kecuali jika dikaitkan dengan kematian (pemiliknya), maka tetap sah, seperti ucapan: “Jika nanti saya meninggal dunia, maka rumah ini menjadi wakaf bagi orang fakir”, berdasarkan riwayat Abu Daud:

( أوصى عمر إن حدث به حدث ، فإن سمغاً - أرض له - صدقة )

            “Umar telah berwasiat jika terjadi suatu kejadian maka samagon –tanah miliknya- menjadi sedekah”.

Hal ini sudah terkenal dan tidak ada pengingkaran, maka menjadi sebuah konsensus (ijma’) bahwa wakaf yang dikaitkan dengan kematian diambilkan dari 1/3 harta; karena hukumnya sama dengan wasiat.

Dan di antara hukum wakaf adalah wajib hukumnya untuk melaksanakan syarat dari pemberi wakaf jika tidak bertentangan dengan syari’at, berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

( المسلمون على شروطهم , إلا شرطاً أحل حراماً أو حرم حلالاً )

“Umat Islam itu sesuai dengan syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal”.

Dan karena Umar –radhiyallahu ‘anhu- telah berwakaf dengan syarat tertentu, dan kalau tidak diwajibkan untuk mengikuti syaratnya maka menjadi tidak ada manfaatnya, dan jika ia telah memberi syarat dengan kadar tertentu atau dengan syarat yang didahulukan bagi sebagian mereka yang berhak dari sebagian lainnya atau semuanya, atau mensyaratkan sifat tertentu bagi penerimanya, atau dengan syarat ketiadaannya, atau syarat harus melihat wakafnya dan lain sebagainya, maka wajib mengamalkan syaratnya, selama tidak bertentangan dengan dengan Al Qur’an dan Sunnah.

Jika dia tidak memberikan syarat apapun, maka baik orang kaya, miskin, laki-laki, wanita, sama-sama berhak menerima dari pemberi wakaf.

Jika dia tidak menunjuk seorang nadzir wakaf, atau ia telah menunjuk seseorang tapi ia telah meninggal dunia, lalu ia menjadi nadzirnya maka barang tersebut dimiliki oleh yang diberi wakaf jika sudah tertentu, dan jika wakaf tersebut tertuju kepada instansi tertentu, seperti; masjid, atau mereka yang tidak bisa dibatasi, seperti; orang-orang miskin, maka nadzir wakaf tersebut hendaknya di handle langsung oleh hakim, atau mewakilkan kepada yang ditunjuk olehnya.

Diwajibkan oleh mereka yang melihat agar bertakwa kepada Allah dan berlaku baik terhadap wakaf; karena hal itu merupakan amanah yang diamanahkan kepadanya.

Dan jika dia telah berwakaf kepada anak-anaknya, maka baik yang laki-laki maupun yang perempuan mempunyai hak yang sama, begitu juga dengan sesuatu yang disetujui untuk mereka, maka yang disetujui itu menjadi sama bagi mereka. Dan sesuatu yang diwakafkan untuk mereka, kemudian diperuntukkan untuk anak cucunya, maka wakaf tersebut berpindah kepada cucu-cucunya tanpa cucu laki-laki dari anak perempuannya; karena berasal dari laki-laki lain yang mereka sandarkan kepada bapak mereka; karena mereka tidak termasuk pada firman Allah:

 يوصيكم الله في أولادكم 

“Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu”. (QS. An Nisa’: 11)

Dan sebagian ulama berpendapat bahwa mereka (cucu laki-laki dari anak perempuannya) termasuk pada kata “Al Awlad” (anak-anak)nya; karena anak-anak perempuannya termasuk anak-anaknya, maka anak-anak mereka adalah cucu-cucunya yang sebenarnya juga, wallahu a’lam.

Kalau ia berkata: “Wakaf untuk “Abna’” (anak-anak lelaki)ku atau untuk bani fulan, maka wakaf tersebut khusus bagi yang laki-laki saja; karena kata “al Banin” (anak laki-laki) memang diperuntukkan untuk itu, Allah berfirman:

أم له البنات ولكم البنون

“Ataukah untuk Allah anak-anak perempuan dan untuk kamu anak-anak laki-laki?”. (QS. At Thur: 39)

Kecuali kalau yang diberi wakaf adalah kabilah, seperti; bani Hasyim, bani Tamim, maka termasuk di dalamnya para wanita; karena nama kabilah itu mencakup laki-laki dan perempuannya.

Akan tetapi jika berwakaf kepada jama’ah yang memungkinkan untuk dihitung, maka wajib berlaku umum bagi mereka dan menyama-ratakan kepada mereka. Dan jika tidak bisa dihitung dan dikenali mereka semua, seperti bani Hasyim dan bani Tamim, maka tidak wajib diberlakukan umum; karena hal itu tidak mungkin dan boleh hanya berlaku bagi sebagian mereka, dan mengutamakan sebagian mereka dari sebagian lainnya.

Wakaf ini termasuk akad yang wajib hanya dengan ucapan, maka tidak boleh dibatalkan, berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

  لا يباع أصلها ولا يوهب ولا يورث  

“Pokonya tidak boleh dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan”.

Tirmidzi berkata:

  العمل على هذا الحديث عند أهل العلم  

“Ahli ilmu (para Ulama) mengamalkan hadits ini”.

Maka tidak boleh dibatalkan; karena hal itu berlaku selamanya, tidak dijual belikan, dan tidak dipindahtangankan, kecuali manfaatnya berhenti seluruhnya, seperti; rumah yang hancur dan tidak memungkinkan untuk membangunnya kembali dari sisa wakaf atau tanah persawahan yang rusak dan kembali menjadi tanah mati dan tidak mungkin lagi dibangun dengan sisa wakaf, maka wakaf yang kondisinya demikian dijual dan uangnya dibelikan yang serupa dengannya; karena hal itu lebih dekat dengan tujuan orang yang berwakaf, dan jika tidak memungkinkan sama persis, maka diganti dengan setengah yang serupa dengannya, dan penggantinya tersebut statusnya sebagai wakaf sesaat setelah dibelinya.

Jika wakaf tersebut berupa masjid, lalu tempat itu menjadi tidak berpenghuni, seperti masyarakatnya keluar, maka masjid itu dijual dan uangnya dipakai untuk masjid yang lain, dan jika ada masjid yang sisa wakafnya melebihi kebutuhannya, maka boleh menyalurkan yang lebih itu kepada masjid yang lain; karena hal itu pemanfaatan pada jenis wakaf yang sama, boleh juga kelebihan wakaf tersebut disedekahkan kepada orang-orang miskin.

Jika seseorang telah berwakaf pada hal tertentu, seperti jika ia berkata: “Ini untuk Zaid, setiap tahunnya diberikan kepadanya 100, sementara nilai wakafnya lebih dari itu, maka sisanya bisa disimpan, syeikh Taqiyyuddin –rahimahullah- berkata:

“Jika diketahui bahwa wakaf itu selalu lebih (dari yang dibutuhkan), maka wajib disalurkan karena diamnya bentuk kerusakannya”.

Jika seseorang telah berwakaf kepada masjid, lalu rusak, dan tidak mampu (pembiayaan perbaikan) dari wakaf, maka dibiayai seperti masjid-masjid yang serupa dengannya.

Wallahu A’lam

Refrensi: Sumber: dari kitab Al Mulakhos Al Fiqhi karya Syeikh Sholeh Alu Fauzan: 158.