Alhamdulillah.
Tingkatan Cabang-cabang Iman.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ – أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ – شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ رواه البخاري (9) ومسلم (35) واللفظ له.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Iman itu ada tujuh puluh tiga sampai tujuh puluh sembilan, atau enam puluh tiga sampai enam puluh sembilan cabang. Yang paling utama adalah perkataan La Ilaha Illallah (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah). Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu adalah sebagian dari iman.” (HR. Al-Bukhari, no. 9 dan Muslim, no. 35, redaksi hadits adalah redaksinya).
Hadits ini menjelaskan bahwasanya iman memiliki cabang dan bagian yang banyak, akan tetapi tidak menjelaskan hukum tiap cabangnya, namun mengisyaratkan bahwa iman memiliki tingkatan-tingkatan.
Apakah Tingkatan Iman Semuanya Wajib ?
Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan, “Dalam riwayat Muslim ada tambahan redaksi A’laha La Ilaha Illallah, wa Adnaha Imathatul Adza ‘Anit Thariq (Yang paling tinggi adalah perkataan La Ilaha Illallah (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah). Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dalam hal ini terdapat isyarat bahwasanya tingkatannya berbeda-beda.” (Fath Al-Bari, 1/53).
Fakta bahwa cabang-cabang itu terhitung dalam iman tidak berarti bahwa semuanya wajib, karena kata iman bila digunakan mencakup semua amal shalih dan kebaikan yang hukumnya wajib dan sunah.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah mengatakan, “Apabila kata iman digunakan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, maka yang dimaksud sama dengan yang dimaksud oleh kata kebenaran, kata takwa, dan kata agama, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa: Iman itu ada tujuh puluh tiga sampai tujuh puluh sembilan, atau enam puluh tiga sampai enam puluh sembilan cabang. Yang paling utama adalah perkataan La Ilaha Illallah (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah). Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Maka segala sesuatu yang dicintai Allah termasuk ke dalam nama iman.” (Majmu’ Al-Fatawa, 7/179).
Allah Ta’ala menyebutkan bahwa shalat termasuk iman. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
البقرة/143.
“Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah : 143).
عن زُهَيْر، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ، عَنِ البَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أَوَّلَ مَا قَدِمَ المَدِينَةَ نَزَلَ عَلَى أَجْدَادِهِ، أَوْ قَالَ أَخْوَالِهِ مِنَ الأَنْصَارِ، وَأَنَّهُ صَلَّى قِبَلَ بَيْتِ المَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا، أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، وَكَانَ يُعْجِبُهُ أَنْ تَكُونَ قِبْلَتُهُ قِبَلَ البَيْتِ، وَأَنَّهُ صَلَّى أَوَّلَ صَلاَةٍ صَلَّاهَا صَلاَةَ العَصْرِ، وَصَلَّى مَعَهُ قَوْمٌ، فَخَرَجَ رَجُلٌ مِمَّنْ صَلَّى مَعَهُ، فَمَرَّ عَلَى أَهْلِ مَسْجِدٍ وَهُمْ رَاكِعُونَ، فَقَالَ: أَشْهَدُ بِاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ مَكَّةَ، فَدَارُوا كَمَا هُمْ قِبَلَ البَيْتِ، وَكَانَتِ اليَهُودُ قَدْ أَعْجَبَهُمْ إِذْ كَانَ يُصَلِّي قِبَلَ بَيْتِ المَقْدِسِ، وَأَهْلُ الكِتَابِ، فَلَمَّا وَلَّى وَجْهَهُ قِبَلَ البَيْتِ، أَنْكَرُوا ذَلِكَ.
قَالَ زُهَيْرٌ: حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ، عَنِ البَرَاءِ فِي حَدِيثِهِ هَذَا: أَنَّهُ مَاتَ عَلَى القِبْلَةِ قَبْلَ أَنْ تُحَوَّلَ رِجَالٌ وَقُتِلُوا، فَلَمْ نَدْرِ مَا نَقُولُ فِيهِمْ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ البقرة/143 رواه البخاري (40).
Diriwayatkan dari Zuhair, ia berkata, “Telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq dari Al-Barra’ bin ‘Azib, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat pertama kali datang di Madinah, singgah pada kakek-kakeknya (‘Azib) atau paman-pamannya dari Kaum Anshar, dan saat itu beliau shalat menghadap Baitul Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh belas bulan, dan beliau sangat senang sekali kalau shalat menghadap Baitullah (Ka’bah). Shalat yang dilakukan beliau pertama kali (menghadap Ka’bah) itu adalah shalat Ashar dan orang-orang juga ikut shalat bersama beliau. Pada suatu hari sahabat yang ikut shalat bersama Nabi pergi melewati orang-orang di masjid lain saat mereka sedang ruku’, maka dia berkata, ‘Aku bersaksi kepada Allah bahwa aku ikut shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menghadap Mekah, maka orang-orang yang sedang (ruku’) tersebut berputar menghadap Baitullah dan orang-orang Yahudi dan Ahlul Kitab menjadi heran, sebab sebelumnya Nabi shalat menghadap Baitul Maqdis. Ketika melihat Nabi menghadapkan wajahnya ke Baitullah mereka mengingkari hal ini.”
Zuhair berkata, “Telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq dari Al-Barra’, dalam haditsnya ini menerangkan tentang (hukum) seseorang yang meninggal dunia pada saat arah kiblat belum dialihkan dan juga banyak orang-orang yang terbunuh pada masa itu. Kami tidak tahu apa yang harus kami sikapi tentang mereka hingga akhirnya Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya, ‘Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.’ (QS. Al-Baqarah : 143). (HR. Al-Bukhari, no. 40).
Ibnu Rajab Rahimahullah mengatakan, “Ubaidillah bin Musa berkata, ‘Hadits ini memberitahukan kepadamu bahwasanya shalat termasuk iman. Inilah bab yang dibuat oleh Al-Bukhari dan beliau mencantumkan hadits Al-Barra’ di dalamnya.
Begitu pula Ibnu Uyainah dan ulama lain berdalil bahwa shalat termasuk iman. Diriwayatkan bahwa di antara yang menafsirkan ayat ini dengan shalat menghadap ke Baitul Maqdis adalah Ibnu Abbas dari riwayat Al-Aufi, Said bin Al-Musayyib, Ibnu Zaid, As-Suddi dan lain sebagainya.
Qatadah dan Ar-Rabi’ bin Anas mengatakan, ‘Ayat ini turun ketika sekelompok kaum Muslimin mengatakan, ‘Bagaimana dengan amal perbuatan kita yang kita lakukan saat masih berkiblat pada kiblat yang pertama ?’ Hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksud amal perbuatan tersebut juga shalat, karena amal perbuatan -jika dibanding amal perbuatan lain- tersebut terkait khusus dengan kiblat.
Kebanyakan ahli tafsir tidak menyebutkan adanya perbedaan pendapat dalam hal ini. Yang dimaksud dengan iman di sini adalah shalat, karena sesungguhnya shalat adalah tanda keimanan dan kebiasaan badan yang paling agung.” (Fath Al-Bari, 1/190).
Shalat ada yang fardhu dan sunah.
Oleh karena itulah, ulama yang berijtihad dalam menyebutkan cabang-cabang iman, maka ia akan menyebutkan di antaranya adalah shalat yang fardhu dan sunah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah mengatakan, “Iman itu terdiri dari landasan yang mana iman tidak dapat sempurna tanpa landasan itu, dan berasal dari suatu kewajiban yang jika dilalaikan menjadi berkurang dan kekurangan itu patut mendapat siksa, serta berasal dari kesunahan yang jika terlalaikan akan membuat hilangnya derajat yang tinggi. Dalam hal ini, manusia ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan, dan ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan.” (Majmu’ Al-Fatawa, 7/637).
Kemudian wahyu tidak menyebutkan nama-nama semua cabang tersebut. Dalam hal ini terdapat anjuran untuk tekun dalam ketaatan secara umum, dengan mentaati kewajiban, serta tekun dan berlomba-lomba dalam mengerjakan apa yang mustahab (dianjurkan).
Abu Al-Abbas Al-Qurtubi Rahimahullah mengatakan, “Maksud hadis ini adalah amal perbuatan yang syar’i dinamakan keimanan, sesuai dengan apa yang kami sebutkan tadi, dan terbatas pada jumlah itu. Namun syariat itu tidak menentukan jumlah itu pada kita, juga tidak memerincinya.
Beberapa ulama muta’akhirin kemudian bersusah payah menyebutkan hal itu. Kemudian mereka meneliti sifat-sifat dari syariat dan menyebutkannya satu per satu, hingga menyimpulkan -dalam klaimnya- pada angka tersebut, namun hal itu tidak boleh baginya, karena bisa saja ia menambah apa yang telah disebutkan, dan ida dapat mengurangi apa yang telah disebutkan dengan penjelasan yang tumpang-tindih.
Yang benar adalah pendapat Abu Sulaiman Al-Khathabi dan yang lainnya bahwa itu terbatas pada pengetahuan Allah Ta’ala dan ilmu Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ditemukan dalam syariat secara rinci, namun syariat tidak memberitahu kita pada satu per satu babnya, dan tidak juga menentukan jumlahnya pada kita, atau cara pembagiannya. Hal itu tidak merugikan kita dalam pengetahuan kita tentang rincian dari apa yang kita tidak ditugaskan oleh syariat kita atau oleh amal perbuatan kita. Karena semua itu telah dirinci dan dijelaskan secara keseluruhan dalam syariat. Maka apa yang diperintahkan kepada kita, kita lakukan, dan apa yang dilarang pada kita, kita hentikan, meskipun kita tidak mengetahui batas jumlahnya. Wallahu A’lam.” (Al-Mufhim, 1/217).
Apakah Cabang-cabang Iman Terbatas pada Jumlah yang Disebutkan dalam Hadits Saja ?
Di sini ada yang bermasalah, yaitu rincian amal kebaikan, baik yang wajib maupun yang sunah, melebihi jumlah yang disebutkan dalam hadits. Para ulama telah menjawab permasalahan ini dengan beberapa jawaban yang disebutkan oleh Ibnu Rajab Rahimahullah. Beliau mengatakan, “Bagi ahli hadis dan sunnah, setiap ketaatan termasuk dalam keimanan, baik dari perbuatan anggota badan, dari hati atau dari perkataan, baik dari yang wajib maupun sunah. Inilah pendapat jumhur (mayoritas) terbesar dari mereka dan pada saat itu. Jumlahnya tidak terbatas pada tujuh puluh sekian saja, namun justru bertambah lebih dari itu, bahkan tidak terbatas.
Dikatakan, “Hal ini dapat dijawab dengan jawaban berikut.
Pertama, jumlah sifat-sifat keimanan menurut sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dibatasi pada jumlah ini, kemudian setelah itu bertambah lagi, hingga sifat-sifat keimanan itu sempurna pada akhir kehidupan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dalam hal ini terdapat catatan.
Kedua, bahwa seluruh sifat-sifat keimanan itu terbatas pada tujuh puluh sekian jenis, padahal masing-masing jenis itu berjumlah sangat banyak, dan mungkin beberapa di antaranya tidak terbatas. Inilah pendapat yang agak benar. Sekalipun untuk mengetahuinya sangatlah sulit atau tidak mungkin.
Ketiga, penyebutan tujuh puluh itu untuk memperbesar jumlahnya, bukan semata-mata untuk membatasi, seperti disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ
[التوبة: 80]
“Walaupun engkau memohonkan ampunan bagi mereka tujuh puluh kali, Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka.” (QS. At-Taubah : 80).
Maksudnya adalah memperbanyak jumlah tanpa adanya pembatasan pada jumlah tersebut. Penyebutan tujuh puluh sekian mengisyaratkan seolah-olah beliau mengatakan, ‘Jumlahnya lebih dari tujuh puluh, untuk memperbanyak dan melipatgandakan bilangan tersebut.’ Hal ini telah disebutkan oleh para ulama hadis dari kalangan pendahulu. Di dalamnya pun terdapat catatan.
Keempat, tujuh puluh sekian ini adalah sifat-sifat keimanan yang paling mulia dan paling tinggi, dan itulah yang diperlukan. Hal ini dikatakan oleh Ibnu Hamid, salah satu sahabat kami.” (Fath Al-Bari, 30/1-31).
Wallahu A’lam.