Selasa 9 Ramadhan 1445 - 19 Maret 2024
Indonesian

Melakukan maksiat dengan dalih; iman itu di dalam hati

Pertanyaan

Sebagian orang melanggar larangan Allah, seperti: menyukur jenggot, merokok dan yang semisal itu. Apabila ia ditegur untuk meninggalkan perbuatan tersebut, dengan ringan ia menjawab, "Iman itu letaknya di dalam hati. Iman bukan mendidik kita untuk memelihara jenggot dan meninggalkan rokok. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa tubuhmu, tetapi Dia melihat hatimu."
Bagaimana cara kita membantah pernyataan ini?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Ucapan seperti ini sering dilontarkan oleh sebagian orang yang tidak memahami agama dan orang yang melampaui batas. Yaitu perkataan yang benar, namun dimaksudkan untuk tujuan yang bathil. Sebab orang yang mengucapkannya bertujuan dengan pernyataan tersebut untuk mengesahkan perbuatan maksiat yang biasa diperbuatnya. 

Ia mengira bahwa iman cukup amalan hati, dan tidak ada korelasinya dengan amal shalih dan meninggalkan suatu larangan. Dan anggapan ini merupakan kesalahan yang berat. Sesungguhnya iman bukan sekedar amalan hati saja. Namun seperti didefinisikan oleh ulama ahlus sunnah wal jama'ah, bahwa iman mencakup ucapan lisan, keyakinan di dalam hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan (anggota tubuh).

Hasan Basri rahimahullah berkata, iman itu bukanlah khayalan dan angan-angan. Tapi iman adalah sesuatu yang diyakini dalam hati dan dibenarkan dengan amal perbuatan. 

Melakukan dosa dan mengabaikan perintah Allah, merupakan bukti ketiadaan iman di dalam hati. Atau berkurangnya iman di dalam hati. 

Allah Ta'ala berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta riba." (QS. Ali Imran: 130). 

Dan juga firman-Nya,  

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (35)

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan." (QS. Al Maidah: 35). 

"Siapa saja yang beriman kepada Allah, hari akhir dan beramal shalih." (QS. Al Maidah: 69). 

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan melakukan amal shalih." (QS. Al Baqarah: 277). 

"Siapa saja yang beriman kepada Allah, hari akhir dan beramal shalih." (QS. Al Baqarah: 62). 

Iman tidak sempurna (utuh), sehingga diiringi dengan amal shalih dan menjauhi maksiat.

Allah berfirman,  

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)

"Demi masa.  Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan yang mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran." (QS. Al Ashr: 1-3). 

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu." (QS. An Nisa': 59).  

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu." (QS. Al Anfal: 24). 

Dan sebaliknya iman tidak cukup dengan amalan-amalan zahir, tanpa didasari dengan keyakinan (yang benar) di dalam hati. Sebab, ini merupakan karakter orang munafik, yang akan menjadi keraknya neraka dan ia kekal di dalamnya. 

Demikian pula, iman bukan sekedar keyakinan di dalam hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan tanpa pengikraran lisan. Karena ini model imannya mazhab murji'ah dari kelompok jahmiyah dan yang lainnya. Dan ini merupakan mazhab yang bathil dalam masalah iman. 

Iman yang benar adalah iman yang sinkron antara keyakinan hati, ucapan lisan dan amalan anggota tubuh.

Melakukan maksiat merupakan indikasi lemah dan kurangnya bobot iman di dalam hati. Karena sesungguhnya iman itu bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang dengan ukiran maksiat dan dosa.

(Al muntaqa minfatawa syekh Shalih Fauzan, 1/ 19). 

Sedangkan hadits yang mereka jadikan dalil bahwa iman itu terbatas pada amalan hati, terdapat dalam shahih Muslim, yang teks lengkapnya sebagai berikut: 

)إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ (

"Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan hartamu. Tapi Dia melihat pada hati dan amal perbuatanmu." (HR. Muslim, no: 2564). 

Hadits di atas merupakan nash yang verbal dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa perbaikan hati dan kelurusan amal perbuatan merupakan tuntutan iman, yang diperintahkan kepada seorang muslim. Tidak boleh ia mengabaikan amalan zahir atau melanggar suatu larangan, lalu dengan ringan ia mengucapkan, "Sesungguhnya dasar penilaian Allah adalah hati." Padahal yang benar adalah Allah menilai hati dan amal perbuatan serta menghitung (dengan teliti) apa yang ada di dalam hati dari iman dan seberapa besar ia buktikan dengan amal perbuatan.

allahu a'lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam