Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
Pertama:
Asal dalam ibadah, seorang muslim tidak boleh mengambil gaji sebagai pengganti apa yang dia lakukan. Siapa yang berkeinginan ketaatannya untuk (mendapatkan) dunia. Maka dia tidak mendapatkan pahala di sisi Allah sebagaimana Firman Ta’ala:
( مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ) هود/ 15 ، 16
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” QS. Hud: 15-16.
Kedua:
Kalau ibadah itu manfaatnya untuk orang lain dimana orang selain pelakukanya dapat mengambil manfaat seperti ruqyah dengan Qur’an atau mengajarkannya. Atau mengajarkan hadits, maka dia diperbolehkan mengambil upah atasnya menurut jumhur ulama. Berbeda dengan ulama dahulu dari Hanafiyah. Sebagai ganti apa yang didapatkan manfaat dari orang lain dengan ruqyah atau pengajaran.
Telah ada dalam sunah nabawi apa yang menguatkan pendapat jumhur.
فعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما أَنَّ نَفَراً مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم مَرُّوا بِمَاءٍ فِيهِمْ لَدِيغٌ ، فَعَرَضَ لَهُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْمَاءِ فَقَالَ : هَلْ فِيكُمْ مِنْ رَاقٍ إنَّ فِي الْمَاءِ رَجُلاً لَدِيغًا ؟ فَانْطَلَقَ رَجُلٌ مِنْهُمْ فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ عَلَى شَاءٍ [أي : مجموعة من الغنم]، فَبَرَأَ ، فَجَاءَ بِالشَّاءِ إِلَى أَصْحَابِهِ ، فَكَرِهُوا ذَلِكَ ، وَقَالُوا : أَخَذْتَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْراً ؟ حَتَّى قَدِمُوا الْمَدِينَةَ فَقَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَخَذَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْراً ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : (إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ) رواه البخاري ( 5405 ) .
“Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma bahwa sekelompok dari para shahabat Nabi sallallahu alaihi wa sallam melewati perkampungan yang terkena sengatan. Maka salah seorang penduduk perkampungan menawarkan seraya mengatakan, “Apa ada diantara kamu semua orang yang meruqyah. Sesungguhnya ada seseorang terkena sengatan di perkampungan? Maka ada salah seorang diantara mereka pergi dan dibacakan Fatihatul Kitab (dengan imbalan) sejumlah kambing dan sembuh. Maka beliau sambil membawa kambing kembali ke teman-temannya. Sementara mereka tidak menyukainya. Seraya mengatakan, “Apakah kamu mengambil upah dari kitabullah? Sampai mereka di Madinah. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, mengambil upah dari Kitabullah. Maka Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya yang paling berhak anda mengambil upah itu dari kitabullah.” HR. Bukhori, (5405).
Dikeluarkan oleh Bukhori, (2156) dan Muslim, (2201) dari hadits Abu Said Al-Khudri. Nawawi rahimahullah membuat bab dalam penjelasan Muslim seraya mengatakan, “Bab Jawaz Akhdil Ujroh Alar Ruqyah Bil Quran Wal Adzkar (Bab diperbolehkan mengambil upah atas Ruqyah dengan Quran dan Zikir).
Nawawi rahimahullah mengatakan dalam menjelaskan hadits, “Ini jelas diperbolehkan mengambil upah atas ruqyah dengan Al-Fatihah dan zikir. Dan itu halal tidak makruh di dalamnya. Bagitu juga upah dalam mengajarkan Qur’an. Dan ini mazhab Syafi’I, Malik, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan ulama salaf lainnya dan ulama setelahnya. (Syarkh Nawawi, (14/188)
Para ulama Lajnah Daimah Lil Ifta’ mengatakan, “Anda diperbolehkan mengambil upah dari pengajaran Qur’an. Karena Nabi sallallahu alaihi wa sallam menikahkan seseorang dengan wanita dengan mengajarkannya kepadanya apa yang dia punya dari Qur’an. Dan hal itu sebagai maharnya. Dan shabat yang mengambil upah atas kesembuhan orang kafir sakit disebabkan ruqyah kepadanya dengan Fatihatul Kitab. Dan Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda akan hal itu, “Sesungguhnya yang paling berhak untuk anda ambil upahnya adalah Kitab Allah.” HR. Bukhori dan Muslim. Sesungguhnya yang dilarang adalah mengambil upah atas bacaan Qur’an itu sendiri dan meminta orang dengan bacaannya.” Selesai
Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Abdurrozaq Afifi, Syekh Abdullah Godyha, Syekh Abdullah Qa’ud.
Fatawa Lajnah Daimah, (15/96). Silahkan melihat fatawa lain di dua jawaban soal berikut. 20100 dan 95781.
Ketiga:
Sementara apa yang dibuat dalil teman anda dari ayat (Qur’an). Tidak dapat diterima karena makna ayat berbeda dengan apa yang dibuat dalil bagi orang yang melarang menerima upah atas pengajaran Qur’an dan Hadits dan ilmu agama lainnya. Kita tidak mengingkari bahwa sebagian ahli ilmu melarang mengambil upah atas pengajaran Qur’an dan ilmu agama berdalil dengan ayat ini dan semisalnya. Akan tetapi kita tidak dapat menerima dalil itu, penjelasannya adalah:
1. Sementara firman Ta’ala:
( وءامنوا بما أنزلتُ مصدقا لما معكم ولا تكونوا أول كافر به ولا تشتروا بآياتي ثمنا قليلا وإياي فاتقون ) البقرة/ 41
“Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Quran) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.” Qs. Al-Baqarah: 41
Harga disini adalah meminta keredoan orang umum, bukan mengambil upah atas pengajarannya. Tohir bin Asyura rahimahullah mengatakan, “Firman-Nya ‘Untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. QS. Al-Baqarah: 79. Itu seperti Firman-Nya, “dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah.” QS. Al-Baqarah: 41. Maksud tsaman (harga) disini adalah meminta keredoan orang awam. Agar mereka merubah hukum-hukum agama agar sesuai dengan hawa nafsunya. Atau mengambil ilmu untuk dirinya padahal mereka tidak tahu. Sehingga mereka membuat kitab picisan dari kisah-kisah, informasi ringan untuk dilontarkan di perkumpulan. Karena ilmu mereka belum sampai kepada ilmu yang benar. Dimana mereka dahulu sudah rakus di depan dan kepemimpinan bohong. Menghiasanya dengan kebohongan. Dan mereka mengumpulan tema-tema dan buain kosong tidak tetap dalam kapasitas ilmu yang benar. Kemudian mereka sebarkan dan disandarkan kepada Allah dan agama-Nnya. Ini kebiasaan orang jahil yang mengharapkan kepemimpinan yang tidak pada kapasitasnya. Agar nampak seperti para ulama menurut pandangan orang awam dan orang yang tidak dapat membedakan antara lemak dan gemuk. Selesai (Tahrir wat Tanwir, (1/577).
Qurtubi rahimahullah mengatakan, “Para ulama berbeda pendapat terkait mengambil upah dalam pengajaran Al-Qur’an dan Ilmu karena ayat ini dan yang semaknanya. Ada yang melarang hal itu, Zuhri, dan ashabur rokyi (Hanafiyah), mereka mengatakan, “Tidak diperbolehkan mengambil upah atas pengajaran Qur’an karena mengajarkannya termasuk salah satu kewajiban yang membutuhkan niatan mendekatkan diri (kepada Allah) dan keikhlasan. Maka jangan mengambil upah darinya seperti shalat dan puasa. Dimana Allah telah berfirman, “Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah.” QS. Al-Baqarah: 41.
Dan yang memperbolehkan mengambil upah atas pengajaran Qur’an adalah Malik, Syafi’I, Ahmad, Abu Tsaur dan kebanyakan para ulama berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abbas hadits ruqyah, “Sesungguhnya yang lebih berhak anda semua ambil upah adalah Kitabullah.” HR. Bukhori. Dan ini nash yang dapat mengangkat perbedaan. Seyogyanya dipakainya.
Sementara apa yang dijadikan dalil orang yang berbeda dengan mengqiyaskan dengan shalat, dan puasa itu salah. Karena berhadapan dengan nash. Kemudian diantara keduanya banyak perbedaan. Yaitu bahwa shalat dan puasa itu ibadah khusus bagi pelaku sementara pengajaran Qur’an itu ibadah bermanfaat untuk selain pengajar. Maka diperbolehkan upah karena berusaha mentranfer seperti pengajaran tulisan Qur’an.
Sementara jawaban dari ayat, maksudnya adalah bahwa Bani Isroil, sementara syareat kaum sebelum kita apakah ia syareat untuk kita? Ada perbedaan di dalamnya. Dan Abu Hanifah rahimahullah tidak berpendapat dengannya.
Jawaban kedua, bahwa ayat bagi orang yang ditunjuk dalam pengajaran, dan tidak mau sampai mengambil upah. Sementara kalau tidak ditunjuk, maka dia diperbolehkan mengambil upah. Dengan dalil sunah akan hal itu. Terkadang telah ditunjuk atasnya Cuma dia tidak mempunyai apa-apa untuk menafkahi diri dan keluarganya, maka tidak wajib baginya pengajaran. Sehingga dia berpaling dengan memproduksi dan keterampilannya. Sehingga Imam diwajibkan menunjuk untuk menunaikan agama dan membantunya. Kalau tidak, maka umat Islam (yang menanggungnya). Karena Siddiq radhiallahu anhu ketika menjadi Kholifah dan ditugasi, beliau tidak mempunyai sesuatu untuk keluarganya, sehingga beliau membawa baju dan keluar ke pasar. Sehingga dikatakan kepadanya akan hal itu, dan beliau menjawab, “Dan dari mana saya dapat menginfaki untuk keluargaku? Sehingga mereka mengembalikan dan mereka rela untuk kebutuhannya.
Sementara hadits (maksudnya melarang akan hal itu) tidak ada sesuatu yang selaras. Dan tidak ada yang sah sedikitpun menurut ahli ilmu dengan naql dan syareat dalam menakdnya.
Dalam bab tidak ada hadits yang mewajibkan diamalkan dari sisi naql.” Selesai dengan ringkasan ‘Tafsir Qurtubi, (1/335, 336).
2. sementara ayat
( اتبعوا من لا يسألكم أجراً وهم مهتدون ) يس/ 21
“Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” QS. Yasin: 21
Dan ayat semisalnya, sebagian ulama telah berdalil dengannya larangan mengambil upah terhadap pengajaran Qur’an dan ilmu agama. Dan ini sifatnya para utusan dan para pengikutnya. Dan perselisihan terjadi dengan berdalil dengannya. Hal itu dengan maksudnya bagi orang yang ditunjuk untuk menyampaikan dakawah dan mengajarkan ilmu bukan kepada orang yang tidak ditunjuk akan hal itu. Kemungkinan maksud ayat dan semisalnya adalah makruh mengambil upah atas pengajaran itu bagi orang yang tidak membutuhkan. Itu yang menjadi pendapat Syekh Muhammad Amin Syinqithi rahimahullah. Beliau mengetengahkan beberapa ayat yang semakna dengan ayat ini kemudian beliau mengatakan, “Agar menyampaikan semaksimal mungkin ilmu yang dimilikinya. Dapat diambil pelajaran dari ayat nan mulia ini, bahwa seharusnya pengikut para rasul dari kalangan para ulama dan lainnya menunaikan semaksimal mungkin ilmu yang dimilikinya secara gratis. Tanpa mengambil upah dari hal itu. Dan selayaknya tidak mengambil upah atas pengajaran Kitabullah juga pengajaran Aqidah, halal dan haram.” Selesai (Adhwaul Bayan, (2/179).
Kemudian beliau mengatakan, “Yang nampak bagiku –wallahu a’lam- bahwa seseorang kalau dia tidak membutuhkan keperluan primer. Yang lebih utama agar tidak mengambil pengganti (upah) atas pengajaran Qur’an, Aqidah serta halal dan haram. Berdasarkan dalil tadi. Kalau ada kebutuhan, maka mengambil upah sesuai dengan kadar kebutuhan pokoknya dari baitul mal muslimin. Karena yang nampak bahwa pengambilan dari baitul mal dari sisi membantu untuk menunaikan taklim bukan dari sisi upah. Yang lebih utama, Allah cukupkan baginya agar menahan diri tidak mengambil apapun pengganti mengajar Qur’an, aqidah serta halal dan haram. Selesai ‘Adhwaul Bayan, (2/182).
Ini pilihan Syekh Syinqity rahimahullah dan sebelumnya juga pilihan syeikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau ditanya tentang seseorang menolak mengajarkan ilmu agama kecuali dengan upah, apakah hal itu diperbolehkan?
Maka beliau menjawab,”Alhamdulillah, kalau pengajaran Qur’an dan ilmu tanpa upah itu amalan yang lebih utama dan paling dicintai oleh Allah. Dan ini yang diketahui secara pasti dalam agama Islam, dan tidak seorangpun yang tersembunyi bagi orang yang menyebarkan Al-Quran, Hadits dan fikih di negara Islam. Baik Para shahabat, para tabiin dan tabiut tabiin dan para ulama terkenal lainnya dalam umat ini. Dimana mereka mengajarkannya tanpa upah. Dan asalnya di kalangan mereka tidak ada yang mengampil upah. Karena para ulama itu pewaris para nabi. Dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Siapa yang mengambilnya, maka sungguh dia telah mendapatkan bagian yang banyak. Para Nabi salawatullah alaihim, sesungguhnya mereka mengajarkan ilmu tanpa upah. Sebagaimana perkataan Nuh alaihis salam:
(وما أسألكم عليه من أجر أن أجرى إلا على رب العالمين)
“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.” QS. As-Syauro’: 109
Begitu juga Hud, Sholeh, Syuaib, Luth dan lainnya. Bagitu juga sabda Penutup para Rasul.
قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنْ الْمُتَكَلِّفِينَ
Dan Firman-Nya:
(قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِلاَّ مَنْ شَاءَ أَنْ يَتَّخِذَ إِلَى رَبِّهِ سَبِيلاً) .
“Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da'wahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.” QS. Shod: 86
Mengajarkan Quran, hadits fikih dan lainnya tanpa upah tidak ada perselisihan para ulama hal itu termasuk amalan sholeh. Bahkan itu termasuk fardhu kifayah sebagaimana sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam dalam hadits shoheh ‘Hendaknya menyampaikan dariku meskipun hanya satu ayat. Dan sabdanya ‘Agar orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.” Yang menjadi perselisihan para ulama adalah diperbolehkannya menyewa untuk mengajarkan Quran, Hadits dan fikih menjadi dua pendapat terkenal. Keduanya ada riwayat dari Ahmad.
Salah satunya adalah mazhab Abu Hanifah dan lainnya tidak diperbolehkan menyewa untuk itu.
Kedua, dan itu pendapat Syafii bahwa hal itu diperbolehkan.
Disana ada pendapat ketiga dalam mazhab Ahmad, diperbolehkan kalau ada kebutuhan bukan yang kaya. Sebagaimana firman Ta’ala terkait wali yatim:
(وَمَنْ كَانَ غَنِيّاً فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيراً فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ) .
“Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.” QS. An-Nisaa’: 6
Diperbolehkan memberikan untuk mereka dari dana umat islam untuk pengajaran sebagaimana diberikan kepada para imam, tukang azan dan para qodi. Hal itu diperbolehkan disertai ada kebutuhan.
Apakah diperbolehkan mencari rizki padahal dia kaya? Ada dua pendapat ulama.
Cara pengambilan (dalil) para ulama tidak diperbolehkan menyewa manfaat ini bahwa amalan ini khusus pelakunya termasuk orang yang dekat dengan pengajaran Quran, hadits, fikih, imam dan azan. Tidak boleh dilakukan oleh orang kafir. Tidak dilakukan kecuali orang islam. Berbeda dengan manfaat yang bisa dilakukan orang islam maupun kafir seperi tukang bangunan, penjahit, penenun dan semisal itu. Kalau melakukan amalan dengan upah, maka tidak menjadi ibadah kepada Allah. Maka tetap berhak mendapatkan pengganti, karena kerjanya. Dan suatu pekerjaan kalau dilakukan dengan pengganti, maka tidak menjadi ibadah seperti perusahaan yang kerja dengan upah. Siapa yang mengatakan tidak diperbolehkan menyewa seperti amalan ini dia berkata bahwa tidak diperbolehkan terjadi pada selain ibadah kepada Allah sebagaimana tidak diperbolehkan pelaksanaan shalat, puasa dan bacaan selain dari sisi ibadah kepada Allah. Dan menyewanya mengeluarkan dari hal itu.
Siapa yang memperbolehkan hal itu mengatakan, “Itu adalah manfaat yang sampai kepada orang yang menyewa diperbolehkan mengambil upah untuknya seperti manfaat lainnya.
Siapa yang membedakan antara orang yang membutuhkan dan lainnya itu yang lebih dekat mengatakan, “Kalau orang yang membutuhkan, kalau dia melakukannya memungkinkan niatan amalannya untuk Allah dan mengambil upah membantu untuk beribadah. Karena bekerja untuk keluarga termasuk wajib juga. Sehingga dia dapat menunaikan kewajibannya dengan ini. Berbeda dengan orang kaya, karena dia tidak membutuhkannya. Kalau tidak ada yang melakukan kecuali dirinya, maka hal itu menjadi kewajiban ain (individu) baginya. Wallahu a’lam. Selesai dengan ringkasan (Majmu Fatawa , (30/204).
Dari sini, mungkin kita katakan bahwa disana tidak ada dalil Kitab dan sunah menegaskan akan pengharaman mengambil upah atas ibadah yang manfaatnya bisa untuk orang lain selain pelakunya. Sementara ayat,sebagaimana yang kita lihat, ia bukan nash (tegas) dalam hukum. Dan pengambilan dalilnya juga ada pertentangan. Sementara hadits, itu lemah dari sisi sanadnya. Memungkinkan untuk memastikan hal itu dengan melihat seperti apa yang kami ketengahkan dari tafsir Qurtubi.
Perlu diperhatikan yang lebih utama bagi orang yang Allah cukupkan untuknya agar membersihkan dari mengambil sedikit dari kesenangan dunia sebagai pengganti apa yang dia usahakan dari nikmat yang Allah berikan dari ilmu agama.