Alhamdulillah.
Apa yang disebutkan penanya tersebut tidak ada dalil yang menyatakan hal tersebut baik dari al Qur’an al Karim maupun sunnah Nabi yang shahih, namun riwayat tersebut hanya sampai pada atsar sebagian para sahabat dan tabi’in.
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- bahwa beliau berkata:
أوّل ما خلق الله من شيء القلم ، فجرى بما هو كائن ، ثم رفع بخار الماء ، فخلقت منه السماوات ، ثم خلق " النون " – يعني الحوت - فبسطت الأرض على ظهر النون ، فتحرّكت الأرض فمادت ، فأثبت بالجبال ، فإن الجبال لتفخر على الأرض ، قال : وقرأ : (ن وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ (
“Sesuatu yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah pena, maka ia menulis semua kejadian, kemudian uap air diangkat ke atas, maka darinyalah langit-langit diciptakan, kemudian Dia (Allah) menciptakan Nuun, yaitu; ikan paus, maka dihamparkannya bumi di atas punggung ikan paus tersebut, maka bumi pun bergerak dan berguncang, lalu ditopang oleh gunung-gunung, maka gununglah yang lebih utama dari pada bumi, lalu beliau berkata dan membaca: “Nuun, demi pena dan apa yang mereka tulis”.
(Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam Tafsirnya: 2/307, dan Ibnu Abi Syaibah: 14/101, dan Ibnu Abi Hatim-sebagaimana di dalam Tafsir Ibnu Katsir: 8/210, dan Thabari dalam Jami’ Al Bayan: 23/140, dan Hakim dalam Al Mustadrak: 2/540, dan masih banyak yang lainnya, semua riwayat dari jalur Al A’masy, dari Abi Dzabyan Hushain bin Jundub, dari Ibnu Abbas, yang ini sanadnya shahih. Al Hakim berkata: ini adalah hadits yang shahih sesuai dengan syarat kedua Syeikhan (Bukhori dan Muslim) namun keduanya tidak meriwayatkannya. Adz Dzahabi berkata dalam at Talkhish: Sesuai dengan syarat Bukhori dan Muslim. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Mujahid, Muqatil, Sudi dan al Kalbi. Silahkan anda baca: (Ad Durrul Mantsur: 8/240, dan Tafsir Ibnu Katsir: 8/185 dalam permulaan tafsir surat al Qalam).
Atsar ini –sebagaimana anda ketahui- adalah mauquf (terhenti) sampai pada Ibnu Abbas, bukan dari sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, secara umum Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- mengambil dari Ka’b al Ahbar atau dari buku-buku Bani Isra’il yang mencakup banyak keajaiban, keanehan dan kedustaan. Yang menunjukkan akan hal itu adalah beberapa rincian yang disebutkan oleh sebagian kitab Tafsir dalam masalah ini.
Imam al Baghawi –rahimahullah- berkata:
“Para perawi berkata: Ketika Allah menciptakan bumi dan dipisahkannya dari langit, maka Dia mengutus dari bawah ‘Arsy seorang malaikat. Turunlah malaikat tersebut ke bumi sampai masuk ke dalam bumi yang ke tujuh, dan meletakkannya di atas pundaknya, salah satu tangannya di ufuk timur, dan tangan yang lain di ufuk barat, kedua telapaknya terbentang di atas ketujuh bumi sampai ia menyesuaikannya, namun kedua kakinya tidak ada pijakan yang kokoh. Maka Allah –azza wa jalla- menurunkan dari surga Firdaus sapi jantan yang memiliki 40.000 tanduk, dan 40.000 kaki, dan menjadikan tempat pijakan kedua kaki malaikat tersebut di atas tanduknya, maka kedua kakinya tidak bisa tenang. Maka Allah mengambilkan permata hijau surga Firdaus yang tertinggi, tebalnya selama perjalanan 500 tahun, maka diletakkanlah di atas di antara tanduk sapi jantan tersebut sampai ke telinganya, kedua kaki malaikat tersebut akhirnya bisa berpijak dengan tenang, sedangkan tanduk-tanduk sapi tersebut di luar jangkauan bumi, lubang hidungnya di lautan, setiap hari ia bernafas satu kali, jika sedang bernafas maka air laut menjadi pasang, dan jika menarik nafasnya maka air laut menjadi surut, kaki-kaki sapi jantan tersebut tidak memiliki pijakan yang kuat, maka Allah menciptakan batu besar setebal tujuh langit dan tujuh bumi, maka sapi jantan tersebut dapat berpijak dengan tenang, batu inilah yang disebutkan Luqman kepada anaknya dalam sebuah ayat:
يا بني إنها إن تك مثقال حبة من خردل فتكن في صخرة
“ (Luqman berkata): "Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu…”. (QS. Luqman: 16)
Batu itupun belum bisa berdiam dengan tenang, maka Allah menciptakan Nuun, yaitu; ikan paus yang besar, seraya Allah meletakkan batu tersebut di atas punggung ikan paus tersebut, seluruh badannya terawat, paus tersebut berada di lautan, laut tersebut di atas punggung angin, sedang angin berada pada batas yang telah ditentukan. Sehingga dikatakan: Bahwa dunia dan seisinya adalah dua huruf, yang menjadikan Allah –jalla jalaluhu- berfirman: jadilah maka jadilah ia.
Ka’b al Ahbar berkata: “Sesungguhnya iblis melakukan penetrasi kepada ikan paus yang menyangga bumi tersebut dan menggodanya, dan berkata kepadanya: “Apakah kamu tahu apa yang ada di atas punggungmu wahai Luaits (nama ikan paus) ? dari mulai ummat manusia, binatang, pepohonan, gunung-gunung. Jika engkau bergerak maka niscaya mereka semua akan binasa. Maka pada saat Luaits hampir melakukannya, Allah mengirim seekor binatang yang masuk melewati lubang hidung Luaits sampai ke otaknya, seraya ia berteriak (mengadu) kepada Allah, maka Allah mengizinkan binatang tersebut untuk keluar dari otaknya.
Ka’ab berkata: “Demi Allah yang jiwaku ada di dalam genggaman-Nya, ikan paus menatap binatang tersebut, dan binatang tersebut juga menatap paus tersebut, setiap kali ia ingin bergerak, maka binatang itupun masuk seperti semula”.
(Ma’alim Tanzil: 8/186 dan yang lainnya di dalam tafsir al Qurthubi: 29/442, dan pendapat Ka’ab al Ahbar diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’: 6/8, Peneliti tafsir al Qurtubi: 1/385, yaitu; DR. Abdullah bin Muhsin At Turki, Muhammad Ridhwan ‘Arqasusi tentang atsar ini menjelaskan: “Adalah cerita israiliyat tidak ada dasarnya, maka sebaiknya bagi seorang pengarang buku hendaknya membersihkan bukunya dari hal-hal seperti ini”.
Lihatlah bagaimana kisah di atas para rawinya menambah kisahnya dan merincinya, kemudian setelah itu mengerucut kepada Ka’ab al Ahbar yang menjadi sumber dari banyak keanehan-keanehan yang dinisbahkan kepada agama ini.
Oleh karenanya, al Hafidz Ibnu Katsir dalam al Bidayah wan Nihayah: 1/15, setelah beliau menyebutkan beberapa keanehan, yang di antaranya adalah hadits ini, bahwa semua riwayat tersebut termasuk israiliyyat, dan berkata: “Sanad ini as Sudi menyebutkan banyak sekali hal-hal yang aneh, yang seakan memang diambil dari cerita israiliyyat”.
Ada sebagian hadits-hadits yang marfu’ (kepada Rasulullah) namun mungkar dalam masalah ini, di antaranya adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
الأرض على الماء ، و الماء على صخرة ، و الصخرة على ظهر حوت يلتقي حرفاه بالعرش ، والحوت على كاهل ملك قدماه في الهواء (وهو حديث موضوع، انظر: "السلسلة الضعيفة" (رقم/294()
“Letak bumi di atas air, dan air tersebut di atas batu, batu tersebut di atas punggung ikan paus yang kedua sisinya di ‘Arsy, ikan paus tersebut di atas bahu seorang malaikat yang kedua kakinya di udara”. (Hadits palsu), baca: “As Silsilah adh Dha’ifah: 294.
Jika ternyata demikian, maka tidak sah menjadi rujukan di dalam syari’at yang ma’shum, tidak juga ditinjau dari al Qur’an maupun sunnah Rasul-Nya –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, namun riwayat tersebut hanya berujung sampai sebagian para ulama salaf, nampaknya juga ujung-ujungnya adalah berita-berita yang bersumber dari israiliyyat. Maka menjadi suatu kewajiban untuk menahan dan tidak memastikan akan kebenaran riwayat tersebut dan menyerahkan sepenuhnya kepada Dzat Yang Maha Mengetahui keghaiban. Sebagaimana yang Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ajarkan kepada kita semua:
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Dahulu ahli kitab membaca Taurat dengan bahasa ibrani, dan mentafsirinya dengan bahasa Arab bagi umat Islam, maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
لَا تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ وَقُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا الْآيَةَ (رواه البخاري، رقم (4485
“Janganlah kalian membenarkan ahli kitab dan janganlah mendustakan mereka, akan tetapi katakana: “Kami beriman kepada Allah dan ayat yang diturunkan kepada kami”. (HR. Bukhori: 4485)
Dan dalam riwayat yang lain yang senada dengan itu adalah penjelasan tentang sebabnya tawaqquf; yaitu: tidak membenarkan atau mendustakan:
فَإِنْ كَانَ بَاطِلًا لَمْ تُصَدِّقُوهُ وَإِنْ كَانَ حَقًّا لَمْ تُكَذِّبُوهُ ) رواه أبو داود، رقم 3644 وأحمد، رقم 16774 ، وصححه الألباني في الصحيحة، رقم 2800(
“Maka jika (pendapat ahli kitab tersebut) bathil maka janganlah dibenarkan, dan jika benar janganlah kalian mendustakannya”. (HR. Abu Daud: 3644, dan Ahmad: 16774, dan dishahihkan oleh al Baani dalam “as Shahihah” 2800)
Wallahu a’lam.