Alhamdulillah.
Di antara syarat wajibnya haji adalah mampu berdasarkan firman Allah:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً (سورة آل عمران: 97)
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97)
Hal ini mencakup kemampuan badan dan kemampuan finansial. Kemampuan badan, maksudnya adalah badannya sehat dan mampu menahan keletihan safar menuju Baitullah dan dalam melaksanakan amalan haji. Sementara kemampuan finansial, maksudnya adalah memiliki nafkah yang dapat menghantarkan ke baitullah pulang pergi.
Al-Lajnah Ad-Daimah, 11/30 berkata, “Kemampuan terkait dengan haji adalah badannya sehat dan memiliki (dana) transportasi yang mengantarkan ke Baitullah Haram. Baik dengan memakai pesawat, mobil, hewan atau menyewa. Hal itu disesuaikan dengan kondisinya. Diapun harus memiliki bekal yang cukup untuk pulang pergi. Dan bekalnya merupakan kelebihan dari biaya nafkah orang yang harus dia nafkahi sampai kembali dari hajinya. Jika dia wanita, maka harus bersama suami atau mahram untuk menemaninya safar dalam menunaikan haji atau umrah.
Disyaratkan nafkah yang dapat menghantarkan ke Baitul Haram adalah kelebihan dari kebutuhan pokok, nafkah syar’iyah dan biaya melunasi hutang. Maksudnya dengan hutang adalah yang terkait hak-hak Allah seperti membayar kafarat (jika ada) dan hak-hak anak Adam. Barangsiapa yang mempunyai hutang dan hartanya tidak cukup untuk haji dan melunasi hutang, maka didahulukan melunasi hutangnya dan dia tidak diwajibkan haji. Sebagian orang berpendapat, bahwa sebabnya adalah tidak diberi izin oleh orang yang menghutanginya. Kalau dia meminta izin dan diberi izin, maka tidak mengapa (pergi haji).
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam As-Syarh Al-Mumti, 7/30 mengatakan, “Persangkaan semacam ini tidak berdasar, bahkan sebabnya adalah karena dia masih memiliki beban tanggungan."
Kalau orang yang menghutangi telah mengizinkan kepada yang berhutang, maka tanggungan orang yang berhutang masih tetap sebagai hutang. Tanggungannya tidak lepas dengan izin ini. Oleh karena itu, dikatakan kepada yang berhutang: “Lunasi hutang anda dahulu, kemudian kalau masih tersisa. Anda dapat menunaikan haji, kalau tidak cukup, haji belum wajib bagi anda."
Kalau orang berhutang meninggal dunia saat sedang melunasi hutang dan tidak dapat pergi haji, maka dia akan bertemu dengan Allah dalam kondisi keislaman yang sempurna tidak menyia-nyiakan (hak-Nya). Karena haji tidak wajib atasnya. Sebagaimana zakat tidak wajib bagi orang fakir, begitu juga haji.
Kalau dia dahulukan haji sebelum melunasi hutang, lalu dia meninggal dunia sebelum melunasinya, maka dia dalam kondisi bahaya. Karena jika orang yang mati syahid akan diampuni segala sesuatunya kecuali hutang. Bagaimana dengan lainnya?
Yang dimaksud dengan nafkah syar’iyah adalah nafkah yang ditetapkan oleh agama. Seperti nafkah untuk diri dan keluarganya tanpa berlebih-lebihan dan mubazir. Kalau taraf ekonominya menengah, namun dia ingin tampak kaya, kemudian membeli mobil mewah agar berpenampilan kaya, sedangkan dia tidak mempunyai uang untuk haji, maka dia harus menjual mobilnya dan berhaji dengan sisa harga mobil. Kemudian membeli mobil yang sesuai dengan kondisi (kehidupannya). Karena nafkah harga mobil mewah ini, bukan termasuk nafkah syar’iyah. Bahkan termasuk berlebih-lebihan yang dilarang oleh agama.
Yang dianggap dalam nafkah adalah apa yang dimiliki cukup untuk keluarganya sampai dia kembali. Dan sekembalinya (dia dari haji) mempunyai (dana) yang mencukupi untuk dirinya, dan mencukupi orang yang dinafkahinya seperti sewa rumah, gajian atau perniagaan dan semisal itu. Oleh karena itu, tidak diharuskan berhaji dari modal pokok perdagangannya yang keuntungannya untuk nafkah diri dan keluarganya. Jika hal itu berdampak berkurangnya modal utama serta berkurangnya keuntungan sehingga tidak mencukupi dirinya dan keluarganya.
Al-Lajnah Ad-Daimah, 11/36 ditanya tentang seseorang mempunyai uang di Bank Islami. Gaji dan keuntungan uangnya mencukupi secara seimbang. Apakah dia diwajibkan berhaji dari modal pokok. Perlu diketahui, bahwa hal itu berdampak atas pemasukan bulannya dan kesulitan secara finansial.
Maka dijawab, “Kalau kondisinya seperti yang anda sebutkan, maka anda belum dibebani menunaikan haji. Karena tidak mampu secara syar’i. Allah Ta’ala berfirman:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً |(سورة آل عمران: 97)
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran: 97)
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”
Maksud dari kebutuhan pokok adalah apa yang sering dibutuhkan orang dalam kehidupannya dan berat tanpanya. Seperti buku-buku ilmu bagi pencari ilmu. Maka kita tidak mengatakan, “Juallah buku anda dan uangnya digunakan untuk berhaji. Karena ia termasuk kebutuhan pokoknya. Begitu juga mobil yang dia butuhkan, kita tidak mengatakan kepadanya, “Juallah dan uangnya gunakan untuk haji. Akan tetapi kalau dia mempunyai dua mobil sementara dia hanya membutuhkan satu. Maka dia harus menjual salah satunya dan digunakan untuk berhaji. Begitu juga dengan pengrajin, dia tidak diharuskan menjual peralatan yang dibutuhkannya. Begitu juga mobil yang digunakan untuk bekerja dan menafkahi diri dan keluarganya dari persewaannya, tidak diharuskan menjualnya untuk berhaji.
Di antara keperluan pokok adalah keperluan nikah. Kalau dia mempunyai uang akan tetapi butuh menikah dan dia akan menikah dengan wanita. Maka dia dahulukan menikah. Silahkan merujuk soal no. 27120.
Sementara maksud dengan kemampuan finansial adalah kelebihan dari kebutuhannya untuk haji dan setelah melunasi hutang, nafkah syar’iyah dan kebutuhan primernya.