Alhamdulillah.
Tidak dibenarkan berdalil dengan wanita yang menyingkap (penutup) wajahnya dalam shalat menunjukkan bahwa wajah itu bukan aurat.
Penjelasan (hal) itu adalah: Bahwa tidak ada dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabawiyah yang memerintahkan orang yang shalat untuk menutup aurat dan membukanya di luar shalat. Maka tidak benar jika dikatakan bawah apa yang diperintahkan untuk ditutup bagi orang yang shalat adalah aurat dan apa yang boleh dibuka maka itu bukan aurat. Perintah dalam Al-Qur’an yang ada dalam masalah ini adalah (anjuran) untuk berhias dan memperbagus penampilan dalam shalat.
Allah berfirman:
( يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ ) الأعراف/31
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid” (QS.Al-A’raf: 31)
Maka berhias berbeda dengan menutup aurat, oleh karena itu orang yang shalat diperintahkan untuk menutup yang bukan aurat. Nabi sallallahu’alaihi wasallam melarang laki-laki (yang menunaikan) shalat dalam keadaan dipundaknya tidak ada sedikitpun (penutup) baju, padahal pundak bagi laki-laki bukan aurat menurut kesepakaatan para ulama. Kepala dan rambut wanita bukan aurat bagi suami dan para mahramnya seperti bapak dan saudara laki-laki. Meskipun begitu, dia tidak dibolehkan shalat di depan suami dan para mahramnya dengan kepala terbuka, bahkan tidak dibolehkan baginya kepala terbuka meskipun dia shalat seorang diri, tidak ada yang melihatnya.
Dapat diketahui dari sini bahwa shalatnya wanita yang terbuka wajahnya sebagai dalil yang menunjukkan bahwa wajah bukan aurat adalah tidak benar. Karena dalam shalat ada hukum khusus, berlainan dengan hukum menutup aurat di luar shalat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menjelaskan hal itu dengan mengatakan: “Wanita kalau shalat sendiri maka disuruh dengan (memakai) khimar (penutup kepala), dan selain shalat dibolehkan baginya membuka kepalanya di rumah. Menggunakan perhiasan dalam shalat adalah hak Allah, maka tidak dibolehkan seorang pun melakukan thawaf di Baitullah (dalam kondisi) telanjang meskipun sendirian waktu malam. Begitu juga tidak boleh shalat dalam kondisi telanjang meskipun sendirian. Dari sini dapat diketahui bahwa memakai perhiasan dalam shalat bukan untuk menutupi dari orang-orang. Ketentuan masing-masing berbeda. Orang yang shalat boleh jadi diperintahkan menutup apa yang boleh diperlihatkan di luar shalat, atau boleh diperlihatkan dalam shalat apa yang seharusnya disembunyikan dari laki-laki. Yang pertama seperti kedua pundak, sesungguhnya Nabi sallallahu’alaihi wasallam melarang seseorang memakai satu pakaian yang tidak menutup pundaknya sedikitpun. Ini dalam shalat, (padahal) dibolehkan membukan kedua pundaknya bagi laki-laki di luar shalat. Begitu juga wanita merdeka, diperintahkan memakai khimar (penutup kepala) dalam shalat. Sebagaimana sabda Nabi sallallahu’alaihi wasallam “Allah tidak menerima shalat wanita yang telah haid (balig) kecuali jika dia memakai khimar (penutup kepala)”, padahal dia tidak diperintahkan memakai khimar (di depan) suaminya, dan juga di depan para mahramnya. Dibolehkan bagi mereka menampakkan perhiasan dalam bagi mereka namun tidak dibolehkan membuka kepalanya dalam shalat, baik di hadapan mereka ataupun yang lainnya.
Kebalikan dari itu, wajah, kedua tangan dan kedua telapak kaki. Tidak diboleh ditampakkan kepada orang lain menurut pendapat yang kuat di antara dua pendapat (ulama). Sementara tidak wajib menurut kesepakatan ulama untuk menutupnya, bahkan dibolehkan menampakkannya (wajah dan kedua telapak tangan) dalam shalat menurut mayoritas ulama seperti Abu Hanifah, Syafi’i dan selain dari keduanya, juga salah satu riwayat dari Ahmad. Begitu juga (dibolehkan menampakkan) telapak kaki menurut Abu Hanifah.
Secara umum, telah ada ketetapan menutut nash, ijma (konsesus ulama) bahwa tidak harus memakai jilbab yang menutup dirinya dalam shalat kalau dia di dalam rumah. Akan tetapi kalau keluar (memakai jilbab). Maka dia dapat shalat di rumahnya meskipun nampak wajah, kedua tangan dan kedua kakinya. Sebagaimana halnya saat dahulu mereka keluar sebelum diperintahkan memakai jilbab. Maka (hukum) aurat dalam shalat tidak terkait dengan (hukum) aurat dalam pandangan.
Perkataan para ahli fiqih tentang shalat dalam “Bab Menutup Aurat”, tidak ada petunjuk, baik dari Rasulullah sallallahu’alaih wasallam, tidak juga dari Kitab dan Sunnah, bahwa apa yang ditutup bagi orang yang shalat adalah aurat. Justeru yang ada adalah firman Allah, “Pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid”, Nabi sallallahu’alaihi wasallam melarang thawaf di Ka’bah dalam kondisi telanjang, maka shalat lebih utama. Beliau sallallahu’alaihi wasallam ditanya tentang shalat dengan memakai satu baju, maka beliau menjawab: “Atau masing-masing kamu (mempunyai) dua baju?”, dan beliau bersabda berkaitan dengan memakai satu baju: “Kalau sekiranya luas, hendaklah dibungkus (badan) dengannya. Kalau sempit, maka jadikan sarung dengannya”. Dan beliau juga melarang (menunaikan shalat) dengan memakai satu baju yang pundaknya tidak tertutupi sedikitpun. Hal ini (adalah) dalil bahwa dalam shalat diperintahkan menutup aurat seperti paha dan lainnya. Meskipun kita (laki-laki) diperbolehkan melihatnya, Jika kita mengambil salah satu pendapat –yaitu pendapat salah satu riyawat dari Ahmad- bahwa aurat laki-laki (hanya) kemaluan, karenanya paha bukan aurat, ini yang memperbolehkan laki-laki melihat paha dalam kondisi bukan dalam shalat, thwaf. Adapun dalam shalat tidak dibolehkan bagi laki-laki terbuka pahanya, baik yang mengatakan ia adalah aurat atau bukan. Kemudian tidak dibolehkan thawaf dalam keadaan telanjang. Jadi dia harus memakai satu pakaian dalam shalat, jika sempit dibuat sarung, kalau luas dilipatkaan(ke tubuhnya). Sebagaimana kalau dia shalat sendirian di rumah, dia tetap harus menutup (pahanya) menurut kesepakatan para ulama. Kalau seseorang shalat dalam keadaan pahanya terbuka sementara dia mampu menutupinya dengan sarung, maka hal ini tidak dibolehkan. Dan selayaknya tidak ada perbedaan lagi (dalam masalah ini).
Siapa yang (mengamalkan) dengan dua riwayat dalam masalah aurat –sebagaimana yang dilakukan sebagian kelompok- maka mereka telah keliru. Imam Ahmad tidak pernah mengataknnya, begitu juga (ulama) lainnya, bahwa seseorang boleh melakukan shalat (menunaikan) shalat dalam kondisi seperti ini (terbuka pahanya). Jika Imam Ahmad memerintahkan menutup kedua pundak, bagaimana mungkin beliau membolehkan pahanya terbuka?
Memang ada perbedaan dalam (masalah) kewajiban menutup aurat bagi laki-laki yang shalat seorang diri. Akan tetapi, tidak ada perbedaan kalau dalam shalat harus mengenakan pakaian. Tidak dibolehkan shalat dalam keadaan telanjang, padahal dia mampu memakai pakaian menurut kesepakatan para ulama. (Majmu Al-Fatawa, (22/113-117)
Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata: “Aurat itu ada dua (macam), aurat pandangan dan aurat dalam shalat. Orang merdeka dibolehkan shalat (dalam keadaan) wajah dan kedua telapak tangan terbuka, (akan tetapi) tidak dibolehkan keluar ke pasar dan di tempat-tempat perkumpulan orang”. (I’lamul-Muwaqi’in, 2/80)
Wallalhu’alam .