Ahad 21 Jumadits Tsani 1446 - 22 Desember 2024
Indonesian

HUKUM MENULIS ARTI KATA ASING AL-QUR’AN DI MUSHAF SYARIF

147968

Tanggal Tayang : 10-05-2013

Penampilan-penampilan : 14348

Pertanyaan

Hukum menulis atau menjelaskan arti kata-kata di halaman mushaf.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Ahli ilmu berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat,

Pendapat pertama, diperbolehkan menulis arti (kata-kata) Al-Qur’an dan penafsirannya di sisi mushaf syarif. Abu Al-Walid Al-Baji rahimahullah mengatakan, “Aisyah radhiallahu’anha ingin menetapkan kata ‘shalat asar’ di mushaf dari firman Allah Ta’ala “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'. SQ. Al-Baqarah: 238. Karena beliau meyakini menulis selain AL-Qur’an di Al-Qur’an. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’b dan para shahabat lainnya, bahwa mereka memperbolehkan penetapan qunut dan sebagian tafsir di dalam mushaf meskipun mereka meyakini hal itu bukan qur’an.” Selesai dengan ringkasan dan sedikit editan. ‘Al-Muntaqa Syarkh Al-Muwato’, 1/246.

Diriwayatkan Asyhab dari Imam Malik dalam perkataannya, “Tidak diperbolehkan ditambah (kata-kata) dalam mushaf, sementara mushaf kecil dan tempat menulis (Al-Qur’an) dimana anak-anak belajar (Al-Qur’an) tidak mengapa (menuliskan kata-kata itu.” Al-Muntaqa Syarkh Al-Muwato’, 1/344.

Pemilik kitab ‘Al-Kafi’ dari buku Hanafiyah dikatakan, “Kalau menulis Al-Qur’an dan penafsiran pada setiap huruf dan terjemahannya itu diperbolehkan.” Selesai. Dinukilkan di ‘Fathul Qodir, 1/286 disebutkan juga di kitab ‘Raddul Mukhtar, 1/486. Dinukilkan juga pendapat lain yang akan kita nukilkan di pendapat kedua.

Para ulama’ fiqih dari Syafiiyyah dan lainnya, mereka menjelaskan hukum orang hadats memegang ‘Mushaf Al-Muhasya’ yakni dengan penafsirannya. Tanpa ada pengingkaran satupun dikalangan mereka terhadap prilaku ini. Silahkan melihat ‘Hasyiyah Al-Baijuri, 1/49.

Pendapat kedua, tidak selayaknya menulis sesuatu dari penafsiran (Qur’an) di dalam mushaf syarif. Telah ada atsar dari ulama’ salaf yang menunjukkan  secara dhohir memakruhkan menulis sesuatu di mushaf.

Dari ‘Atho; rahimahullah, “Beliau memakruhkan menulis bundaran di mushaf, dengan menulis sesuatu selain Al-Qur’an.” Kata ‘Ta’syir’ adalah menaruh bundaran di mushaf pada setiap selesai sepuluh ayat.

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, “Beliau melihat coretan di mushaf, maka beliau menghapusnya dan mengatakan, “Jangan dicampurkan (AL-Qur’an) ini dengan lainnya.”
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu mengatakan, “Bersihkan AL-Qur’an dan jangan dicampur dengan lainnya.”

Dari Ibrohim An-Nakho’I rahimahullah, dahulu beliau berpendapat untuk membersihkan (mengkhususkan tulisan) Al-Qur’an saja. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di Mushonnaf dengan sanadnya, 2/328.

Telah ada di Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah juga, 7/180: “Kami diberitahu oleh Waki’ dari Isroil dari Jabir dari ‘Amir berkata, “Seseorang menulis mushaf, dan pada setiap ayat ditulis tafsirnya. Kemudian Umar memanggilnya dan dipotong menjadi dua bagian.” Akan tetapi atsar ini lemah. Karena ada Jabir bin Yazid Al-Ja’fi dia lemah. Di dalamnya juga ada keterputusan (sanad) Karena ‘Amir bin Syarahbil tidak mendengar dari Umar bin Khottob radhiallahu’anhu.

Telah ada perkataan sebagian dari kalangan ahli ilmu mutaakhir, “Abu Abdullah Al-hulaimy dari ahli fiqih Syafiiyyah rahimahullah mengatakan di kitab ‘Wujuh Ta’dhim Al-QUr’an, “Diantaranya, Jangan dicampurkan dalam mushaf yang bukan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Seperti bilangan ayat, sujud, sepuluhan, wukuf (tempat berhenti), perbedaan bacaan dan arti ayat (Al-Qur’an).” Selesai. Dinukilkan oleh AL-Baihaqi di kitab ‘Syu’abul Iman, 3/330.

Al-Jarjani rahimahullah dari ulama’ Syafiiyyah mengatakan, “Sesuatu yang tercela menulis tafsir kata-kata AL-Qur’an diantara garis-garisnya.” Selesai.  Dinukilan dari kitab ‘AL-Itqon Fi Ulumil Qur’an, 2/455.

Dalam kitab ‘Ad-Dur Al-mukhtar, 1/486 dari kitab Hanafiyah, “Dimakruhkan menulis tafsir (Al-Qur’an) dibawahnya.” Selesai. Ibnu Abidin rahimahullah mengomentari dengan mengatakan, “Berbeda dengan apa yang kami nukilkan dari ‘Al-Fath’  barusan, akan tetapi saya telah melihat tulisan penjelasan di sisi kitab ‘Al-Khozain’ tentang larangan di kitab ‘Al-Mujtaba’ : “Dan dimakruhkan menulis tafsir dengan bahasa Persia di Mushaf seperti kebiasan sebagian orang. Sementara Al-Handawani memperbolehkannya. Yang Nampak, bahwa tidak terikat (khusus dengan) bahasa Persia (saja).” Selesai ‘Radul Mukhtar, 1/486.

Para Ulama Al-Lajnah Ad-Daimah mengatakan, “Asalnya dan yang telah dilakukan oleh umat yaitu membersihkan Kitabullah Ta’ala dari tambahan apapun. Dan mushaf telah tersebar dengan tulisannya yang beredar dikalangan umat Islam tanpa ada tambahan atau pengurangan. Oleh karena itu kami nasehatkan kepada anda untuk meninggalkan apa yang disebutkan dengan adanya catatan kaki (foot note) di mushaf. Dimungkinkan anda dapat menulis apa yang anda butuhkan di kertas khusus dengan memberi tanda pada nama surat dan nomor ayat. Sehingga anda dapat menggabungkan antara menjaga kitabullah Ta’ala dengan menulis apa yang bermanfaat dan membantu anda dalam memahaminya.

Syekh Abdul Azizi bin Baz, Syekh Abdul Aziz Ali Syekh, Syekh Abdullah Gudyan, Syekh Sholeh Al-Fauzan, Syekh BAkar Abu Zaid

Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, Majmu’ah Kedua, 3/53, 54.

Yang Nampak dalam hal itu insyaallah pendapat yang memperbolehkannya, hal itu karena berikut ini:

Tidak ada dalil shoheh yang melarang menulis sesuatu dari arti Al-Qur’an Al-Karim di mushaf syarif.

Perbuatan para shahabat dan dikenal luas dikalangan mereka dengan menulis tafsir di mushaf mereka.

Yang Nampak sebab pelarangan bagi yang melarang hal itu adalah kekhawatiran rancau antara kalamullah Ta’ala dengan perkataan lainnya. Kemungkinan terjadi kesalahan dengan penambahan atau pengurangan terkadang terjadi di mushaf. Ketika orang-orang telah menghafal Al-Qur’an dan mushaf bertebaran di kalangan umat Islam, maka tidak ada dalil lagi untuk melarangnya.

Yahya bin Abu Katsir mengatakan, “Dahulu Al-Qur’an disendirikan dalam mushaf, kemudian apa pembaharuan dengan menaruh titik di huruf ba’, ta’ dan tsa’. Mereka mengatakan tidak apa-apa, hal itu menjadi cahaya baginya. Kemudian ada tambahan titik pada setiap akhir ayat. Kemudian ada tambahan pembukaan dan akhiran (setiap surat).” Selesai. Silahkan melihat kitab ‘Nuqot Al-Mashohif, karangan Abu Umar Ad-Dani, 1/2, ‘Al-Itqon Fi Ulumil Qur’an, 2/454.

Dalam hasyiyah Ibnu Abidin, 6/386, “Apa yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ‘Bersihkan Al-Qur’an’ itu terjadi pada masa beliau. Berapa banyak sesuatu telah berubah dengan adanya perubahan waktu dan tempat. Sebagaimana yang telah dijabarkan oleh A-Zaila’I dan lainya.” Selesai.

Para ulama’ telah sepakat memperbolehkan memberi titik dan harokat (kasroh, dhommah, fathah dan lainnya) pada mushaf, menulis nama-nama surat, bilangan ayat dan tanda berhenti dan semisal itu. Dimana hal itu dapat membantu untuk memahami Al-Qur’an. Dan tidak bercampur dengan kalamullah Ta’ala. Begitu juga terkait dengan hukum menulis tafsir dan arti (ayat) di sisi mushaf pada waktu sekarang ini. Karena percetakan mushaf syarif telah maju dan lebih bagus lagi. Dimana sangat jauh kalau terjadi kerancuan antara kalamullah dengan perkataan orang lain.

Sebagaimana disana telah ada mushaf diterbitkan dengan tafsir dimana disampingnya ada hadits yang jelas, dan hal itu telah mendapatkan faedah yang banyak. Dan memudahkan ilmu tafsir pada kebanyakan orang. Terutama mushaf yang diterjemahkan arti ayat-ayatnya ke berbagai bahasa. Yang menguatkan hukum diperbolehkan dan tidak dimakruhkan pada kondisi adanya kebutuhan untuk belajar. Kalau pencari ilmu mendapatkan faedah dengan ditaruhnya arti kata-kata dan sebagian qiroat di sisi mushaf, maka hal itu tidak mengapa insyaallah.

Wallahu’alam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam