Rabu 6 Rabi'uts Tsani 1446 - 9 Oktober 2024
Indonesian

Apakah Fitnah Kubur Terus Menerus Selama Tujuh Hari? Apakah Kita Memberi Makan Untuknya Di Hari-hari itu?

172392

Tanggal Tayang : 12-12-2012

Penampilan-penampilan : 29654

Pertanyaan

Seberapa jauh keabsahan atsar ini "Sesungguhnya para mayat di fitnah di dalam kuburannya selama tujuh hari, dan mereka menganjurkan memberi makan untuk mereka di hari-hari itu." Apakah dapat dijadikan dalil dibolehkan memberi makan di rumah orang yang ditimpa musibah? Terima kasih

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama,

Atsar yang ada dalam pertanyaan diriwayatkan oleh Imam Ahmad di kitabnya ‘Az-Zuhdu’ sebagaimana yang ada dalam kitab ‘Al-Mathalibul Aliyah Bizawaidi Al-Masanid Ats-Tsamaniyah, 5/330. Dia berkata, kami diberitahukan oleh Hasyim bin Qosim, kami diberitahukan oleh Al-Asyja’i dari Sofyan berkata, Towus berkata:

إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا, فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام

“Sesungguhnya para mayat difitnah dalam kuburannya selama tujuh hari. Dan mereka menganjurkan memberi makanan untuk mereka pada hari-hari itu.”

Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di kitab ‘Hilyatul Auliya’, 4/11 dari jalan Imam Ahmad.

Dari hasil penelitian dalam kitab Al-Mathalib, sanad perawinya terpercaya. Hanya saja sanad antara Sofyan dan Thowus terputus, maka dia lemah. Selain terputus, riwayat ini juga mursal (tidak disebutkan nama shahabat). Maka, kedua sebab itu membuat hadits ini tidak dapat dijadikah hujjah.

Atsar ini mencakup masalah keyakinan ghaib. Dan (masalah lain) fikih amaliyah. Keduanya tidak ada dalam nash wahyu shahih yang menguatkannya. As-Suyuthi rahimahullah berijtihad dengan menganggap atsar ini shahih lalu menyimpulkan  kandungan isinya dalam dua permasalahan, sampai beliau mengarang buku tersendiri dengan judul ‘Tulu’ At-Tsuroyya Biidhari Ma Kana Khofiyyah’.

Beliau rahimahullah mengatakan, “Hadits ini mencakup dua masalah, salah satunya masalah aqidah, yaitu fitnah orang yang meninggal dunia selama tujuh hari. Yang kedua, hukum cabang agama yaitu anjuran bershodaqah dan memberi makan untuk mereka selama tujuh hari itu sabagaimana dianjurkan meminta ketetapan sesaat setelah penguburan.

Kedua masalah itu berdasar dari sanad  yang mursal, karena tabiin mengucapkan secara umum, dan tidak ada penyebutan shahabat yang sampai pada beliau. Sehingga dapat diterima bagi yang berpendapat menerima (hadits) mursal secara umum. Sedangkan bagi kelompok yang menerima (mursal) dengan syarat, hadits ini dianggap kuat  dengan adanya (riwayat) dari Mujahid dan dari Ubaid bin Umair.’ (Thulu At-Tsuroyyah Biidhari Ma Kana Khafiyya, hal. 124, 125. Tahqiq (telaah) Dr. Jabir Zayid As-Sumairi)

Yang kami putuskan bahwa atsar ini tidak shahih. Dan tidak sah mengatakan permasalah yang mencakup di dalamnya. Sedangkan atsar dari Mujahid dan Ubaid bin Umair tidak dapat menguatkan atsar Towus. Karena atsar Mujahid tidak ada asalnya. Sementara atsar Ubaid bin Umair bukan dalam masalah memberi makanan. Meskipun ia lebih layak dibandingkan dengan atsarnya Thawus. Akan tetapi riwayat tersebut tidak layak untuk menetapkan masalah ghaib, apalagi jika bertentangan dengan syariat, seperti dalam kasus ini yang  akan dijelaskan nanti.

Ini penjelasan terkait dengan dua atsar yang disebutkan oleh As-Suyuthi dari Mujahid dan Ubaid bin Umair.

1. Diriwayatkan oleh Ibnu Juraij dalam Kitab 'Al-Mushannafnya’ sebagaimana di dalam ‘Al-Hawi Lil Fatawa' karangan As-Suyuti, 3/266 dari Harits bin Abi Harits dari Ubaid bin Umair berkata:

يفتن رجلان مؤمن ومنافق, فأما المؤمن فيفتن سبعا, وأما المنافق فيفتن أربعين صباحا

“Dua orang, (dari kalangan) mukmin dan munafik terkena fitnah. Sementara orang mukmin difitnah selama tujuh (hari), dan orang munafik difitnah selama empat puluh (hari)." (Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam Mushannafnya, 3/590).

Akan tetapi ada kesalahan nama padanya dimana nama Ubaid bin Umair menjadi Abdullah bin Umar. Dan telah disebutkan kebanyakan (ulama) (nama) yang benar –ditambahi penukilan Suyuti tadi- diantaranya Ibnu Abdul Bar Al-Maliki dalam ucapannya, “Dahulu Ubaid bin Umair sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Juraij dari Harits bin Abi Harits darinya mengatakan, “Dua orang, (dari kalangan) mukmin dan munafik terkena fitnah. Sementara orang mukmin difitnah selama tujuh (hari), dan orang munafik difitnah selama empat puluh (hari).” (At-Tamjid Lima Fil Muwatto’ Min Ma’ani Wal Asanid, 22/252)

2. Sementara apa yang diriwayatkan dari Mujahid bin Jabr tidak ada ketentuan hari fitnah kubur bagi orang mukmin. Tidak ada juga (memberi) makan atau shadaqah untuknya. Di samping itu, ia tidak ada sanadnya agar dapat dinilai derajatnya. As-Suyuti rahimahullah mengatakan, “Disebutkan Ibnu Rajab dalam kitab Al-Kubur dari Mujahid bahwa, “Ruh-ruh itu dalam kubur selama tujuh hari sejak dikuburkan tidak berpisah dengan jasadnya.” Saya tidak dapatkan sanadnya.” (Ad-Dibaj Ala Muslim, 2/490)

Kesimpulannya,

1.Atsar Thowus tidak shahih bahwa orang mukmin difitnah tujuh hari di kuburannya setelah pemakaman. Karena itu hendaknya memberi makanan untuknya pada hari-hari itu. Sanadnya lemah dan terputus. Masalah ghaib tidak dapat diambil kecuali dari nash-nash syariat. Atau dari para shahabat yang shahih dan memiliki derajat marfu (sampai kepada Nabi sallallahu’alaihi wa sallam).

Disamping itu juga ia berlawanan dengan apa yang terdapat  ketetapan dari nash shahih dimana fitnah orang mukmin hanya sekali setelah di kubur. Maksud dari fitnah kubur adalah pertanyaan dua Malaikat Munkar dan Nakir. Ibnu Abdul Bar rahimahullah berkomentar, “Atsar yang sampai kepada Nabi (Marfu) kesemuanya menunjukkan bahwa fitnah –wallahu’alam- hanya sekali saja.” (At-Tamhid Lima Fi Al-Muwatto’ Minal Ma’ani Wal Asanid, 22/251)

Kemudian membari makanan untuk mayat selama tujuh hari, termasuk sesuatu yang seyogyanya terkenal di kalangan para shahabat yang mulia, dan hal ini yang tidak kita jumpai dalam biografi dan sejarah mereka. Bahkan yang terkenal itu, membuat makanan untuk keluarga mayat. dikarenakan kesibukan mereka dari membuat makanan. Dan itu wasiat Nabi sallallahu alaihi wa sallam.

2.Atsar Mujahid rahimahullah tidak ada dasar asalnya dalam kitab sunnah. Di dalamnya juga tidak ada ketentuan waktu fitnah kubur bagi orang-orang mukmin. Tidak ada memberi makanan dan shadaqoh bagi mayat.

3. Adapun riwayat dari tabiin yang mulia Ubaid bin Umair, nampaknya sanadnya itu shahih. Tapi di dalamnya tidak ada (ajaran memberi) makanan sebagai sadaqah atas nama mayat. Ajaran memberi shodaqah untuk mayat hanya bersumber dari perkataan Ibnu Juraij rahimahullah ketika mengomentari atsar beliau, dia mengatakan, “Saya katakan bahwa ada yang mengatakan, 'Kami tidak lihat orang yang lebih lengah dibanding mereka yang kehilangan seseorang selama tujuh hari tanpa memberikan shadaqoh kepadanya.” Penentuan waktu, masih perlu ditinjau ulang. Karena shadaqoh untuk mayat, mayoritas ulama membolehkannya.

Dalam atsar Ubaid bin Umar, hanya membatasi fitnah kubur berlaku bagi orang mukmin dan munafik. Hal ini menunjukkan bahwa orang kafir tidak difitnah dalam kuburannya. Kesimpulan ini terdapat dalam nash (jelas) riwayat Abdur razzq As-Shan’ani dalam ‘Mushonnafnya’, di dalamnya terdapat pernyataan, “Sesungguhnya yang mendapatkan fitnah adalah dua, orang Mukmin dan Munafik. Orang mukmin mendapatkan fitnah selama tujuh hari, sementara orang munafik mendapatkan fitnah empat puluh hari. Adapun orang kafir tidak ditanya tentang Muhammad, karena dia tidak mengenalnya."

Perkataan itu dijadikan landasan pendapat sebagian imam, yang terkenal diantara mereka adalah Al-Hafidz Ibnu Abdul Bar rahimahullah, beliau mengatakan, “Atsar yang tetap (shahih) dalam bab ini, menunjukkan bahwa fitnah dalam kuburan hanya berlaku bagi orang mukmin dan munafik. (Tentang orang munafik) karena dia di dunia dimasukkan (secara zahir) sebagai ahli kiblat dan muslim,  dimana darahnya terlindungi secara zahir karena persaksiaannya (bersahadat). Sementara orang kafir adalah pembangkang dan membatalkan (syahadah), dia tidak termasuk yang ditanya tentang tuhan, agama dan nabinya. Yang ditanya tentang hal ini adalah orang Islam.” (At-Tahmid Lima Fi Al-Muwattha Minal Ma’ani Wal Asanid, 22/252)

Para ulama yang meneliti masalah ini memberikan bantahan, Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari atsar ‘Umair binUbaid rahimahullah. (atsar) ini mauquf (hanya sampai kepada shahabat). Sementara hadits-hadits secara tegas menunjukkan bahwa orang kafir (juga) ditanya, (adalah) hadits marfu (sampai kepada Nabi) disamping banyaknya jalur periwayatan yang shahih, maka itu lebih utama diterima untuk diterima.”

(Fathul Bari, 3/239)

Ibnu Qayim menukilkan perkataan Ibnu Abdul Bar kemudian beliau mengomentari, “Al-Qur’an dan Sunah menunjukkan berbeda dengan pendapat ini. Bahwa pertanyaan untuk orang kafir dan mukmin. Allah berfirman:

يثبت الله الذين آمنوا بالقول الثابت في الحياة الدنيا وفي الآخرة ويضل الله الظالمين ويفعل الله ما يشاء  (سورة إبراهيم: 27)

"Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki." (QS. Ibrahim: 27)

Terdapat ketetapan dalam (hadits) shahih (ayat) ini turun terkait dengan azab kubur ketika ditanya (siapa tuhanmu, apa agamamu dan siapa nabimu). Dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam beliau bersabda:

إن العبد إذا وضع في قبره وتولى عنه أصحابه إنه ليسمع قرع نعالهم

“Seorang hamba ketika diletakkan di kuburan, maka ketika orang-orang kembali,  dia mendengar (suara) jejak sandalnya.”

Disebutkan kelanjutan haditsnya. Bukhori menambahkan

وأما المنافق والكافر فيقال له: ما كنت تقول في هذا الرجل فيقول: لا أدرى كنت أقول ما يقول الناس فيقال لا دريت ولا تليت ويضرب بمطرقة من حديد يصيح صيحة يسمعها من يليه إلا الثقلين.

“Sementara orang munafik dan kafir dikatakan kepadanya, “Apa yang anda katakan terhadap orang ini, maka dia mengatakan, Saya tidak tahu, dahulu saya mengatakan apa yang dikatakan oleh orang-orang. Dikatakan, “Anda tidak tahu dan tidak membacanya. Lalu dia dipukul dengan palu dari besi sampai berteriak-teriak hingga terdengar siapa yang ada di sekitarnya kecuali dua tsaqalain (manusia dan jin).” Begitu redaksi di Bukhori (Sementara orang munafik dan orang kafir) dengan memakai kata sambung 'dan'.

Perkataan Abu Umar rahimahullah, “Adapun orang kafir pembangkang dan merusak (sahadat) termasuk yang tidak ditanya tentang tuhan dan agamanya." Dikatakan kepadanya, "Tidak demikian, bahkan dia termasuk orang yang ditanya dan lebih utama ditanya dibandingkan yang lainnya. Allah telah memberitahukan bahwa orang kafir akan ditanya pada hari kiamat.

Allah berfirman:

ويوم يناديهم فيقول ماذا أجبتم المرسلين  (سورة القصص: 65)

"Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka, seraya berkata: "Apakah jawabanmu kepada para rasul?" (QS. Al-Qasas: 65)

فوربك لنسألنهم أجمعين عما كانوا. يعملون  (سورة الحجر:  92-93)

"Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (QS. Al-Hijr: 92-93)

Firman Allah lainnya,

“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami),” (QS. Al-A’raf: 6)

Kalau mereka ditanya pada hari kiamat, bagaimana mungkin mereka tidak ditanya di kuburnya. Maka, apa yang disebutkan oleh Abu Umar rahimahullah tidak tepat.”

(Kitab Ar-Ruh, hal. 84-86) 

4. Yang shahih dalam Sunnah nabawiyah dan atsar para shahabat radhiallahu anhum dan generasi setelahnya adalah membuat makanan untuk keluarga mayat, sebagai tindakan mengikuti wasiat Nabi sallallahu alaihi wa sallam akan hal itu. Dikalangan mereka tidak dikenal memberi makanan atau memberi shadaqoh pada waktu tertentu setelah penguburan mereka. Tidak dikenal juga bahwa keluarga mayat membuat makanan untuk mereka. 

Imam Syafii rahimahullah berkata, “Saya menyukai untuk tetangga mayat atau kerabatnya melakukan untuk keluarga mayat di hari kematian dan waktu malamnya untuk membuat makanan agar mengenyangkan mereka. Karena hal itu merupakan sunnah dan ungkapan yang mulia, serta termasuk prilaku orang dermawan sebelum dan sesudah kita. Karena ketika datang orang yang memberi belasungkawa, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Masaklah untuk keluarga Ja’far makanan, karena mereka disibukkan dengan urusannya.”

(HR. Abu Dawud dan TIrmizi, Ibnu Majah dengan sanad hasan.” (Kitab Al-Umm, 1/278)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Sementara keluarga mayat membuat makanan dan mengundang orang-orang, hal ini tidak dianjurkan dan merupakan perbuatan bid’ah."

Bahkan Jarir bin Abdullah mengatakan, “Kami menganggap berkumpul di keluarga mayat serta mereka membuat makanan untuk orang-orang termasuk niyahah (ratapan). Akan tetapi yang dianjurkan, ketika ada seseorang meninggal dunia, agar memasakkan makanan untuk keluarganya sebagaimana sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam ketika ada orang yang memberi belasungkawa kepada Ja’far bin Abu Tholib, “Masaklah makanan untuk keluaga Ja’far, karena telah datang kepada mereka urusan yang menyibukkannya.” (Majmu Fatawa, 24/316).

Wallahu’alam .

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam