Alhamdulillah.
Pertama:
Standar hukum yang berlaku bagi seorang wanita bahwa dia mengalami haid adalah keluarnya darah. Ciri-cirinya seperti ciri-ciri darah haid, yaitu hitam, kental dan berbau. Maka ketika itu seorang wanita dihukumi sedang haid.
Adapun jika wanita sekedar merasakan tanda-tanda pembukaan haid saja, seperti nyeri, pening namun darahnya belum keluar, maka dia tidak dianggap haid. Ketika itu dia tetap wajib shalat dan puasa.
Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, "Saya seorang gadis berusia dua puluh tahun. Saya mengalami nyeri tanda-tanda haid di bulan Ramadan sebelum shalat Zuhur sampai pada kondisi saya tidak dapat berdiri untuk shalat. Bahkan duduk pun saya tidak mampu untuk shalat. Akan tetapi, haid itu baru datang lima menit sebelum azan Maghrib. Ketika itu saya masih tetap puasa sepanjang siang hari itu. Apakah boleh saya mengqadha puasa hari itu atau saya menganggapnya sebagai puasa?"
Beliau menjawab:
"Jika haid telah keluar, yaitu keluarnya darah sebelum waktu Maghrib, maka anda harus menganggap batal puasa dan anda harus mengqadha puasa hari itu. Adapun rasa sakit sebelum itu, tidaklah membatalkan puasa. Rasa nyeri sebelum keluarnya darah tidak membatalkan puasa. Jika rasa nyeri itu terus anda rasakan akan tetapi tidak ada sesuatupun yang keluar hingga matahari terbenam, maka puasa anda sah dan tidak mengqadha puasa hari itu. Adapun jika darahnya keluar sebelum matahari terbenam, walau lima menit sebelumnya, maka puasa hari itu dianggap batal dan anda wajib mengqadhanya. Inilah hukum syar’i yang kami ketahui." (Fatawa Nurun Alad-Darb, http://www.binbaz.org.sa/mat/16927
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, "Seorang wanita mengalami haid sesaat saja setelah matahari terbenam, apakah puasanya sah?"
Beliau menjawab:
"Puasa wanita tersebut dianggap sah, walaupun dia merasakan tanda-tanda haid sebelum matahari terbenam, baik nyeri atau pusing. Akan tetapi, jika dia tidak melihat ada darah yang keluar kecuali setelah matahari terbenam, maka puasanya sah. Karena yang dianggap membatalkan puasa adalah keluarnya darah haid sebelum matahari terbenam, baukan merasakan tanda-tandanya saja, akan tetapi keluarnya darah secara langsung. Wallahua'lam." (Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, 19/270)
Kedua:
Tindakan seorang wanita yang menempelkan kapas di tempat keluarnya darah, sebelum keluarnya darah, sebagaimana disebutkan dalam soal, hal itu tidak disyariatkan. Karena tidak terdapat riwayat dari para wanita shahabat radhiallahu anhunna, dan karena hal itu termasuk sikap berlebih-lebihan yang tercela. Adapun jika hal itu (menenpelkan kapas) dilakukan di akhir haid yang tujuannya untuk memastikan sudah cuci atau terhentinya darah, maka hal itu tidak mengapa. Dahulu kaum wanita ada yang mengirim kapas yang berwarna kekuningan di sebuah wadah kepada Aisyah radhiallahu anha, lalu dia berkata, "Jangan tergesa-gesa (menganggap suci) sebelum kalian melihat cairan putih." (HR. Bukhari, bab Datang dan Berhentinya Haid)
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Para ulama sepakat bahwa datangnya haid dikenal dengan keluarnya darah di waktu kemungkinan terjadinya haid. Mereka berbeda pendapat tentang ketentuan selesainya haid. Ada yang mengatakan diketahui dengan keringnya tempat keluar haid, yaitu dengan menempelkan kapas dan masih tampak kering, ada juga yang berpendapat dengan keluarnya cairan putih, dan pengarang lebih condong kepada pendapat ini sebagaimana akan kami jelaskan." (Fathul Bari, 1/420, penomoran Maktabah Syamilah)
Wallahua'lam.