Alhamdulillah.
Jika seorang laki-laki melakukan akad nikah syar’i dengan seorang wanita yang mengandung ijab dan qabul antara suami dan wali wanita dan dihadiri dua orang saksi, maka pernikahannya telah sempurna. Maka masing-masing suami isteri itu boleh bercumbu selain jimak. Hendaknya hal ini ditunda hingga resepsi malam pengantin. Hal tersebut karena beberapa alasan;
Pertama:
Karena yang telah dikenal secara tradisi, bagaikan sesuatu yang telah menjadi syarat. Berdasarkan urf (kebiasaan umum) yang berlaku, jimak tidak dapat dilakukan kecuali setelah resepsi perkawinan. Hal ini seakan merupakan syarat antara wali isteri dengan sang suami, maka harus ditepati. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَحَقُّ الشُّرُوطِ أَنْ تُوفُوا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ
رواه البخاري، رقم 2721، ومسلم، رقم . 1418
“Syarat yang paling berhak dipenuhi adalah syarat yang terkait dengan pernikahan.” (HR. Bukhari, no. 2721 dan Muslim, no. 18)
Kedua;
Terjadinya jimak sebelum resepsi perkawinan dapat mengundang sejumlah kerusakan. Misalnya sang wanita hamil dari jimak tersebut dan melahirkan sebelum diadakan resepsi yang telah ditetapkan. Sehingga sang wanita menjadi tertuduh kehormatannya. Atau boleh jadi terjadi perceraian atau kematian, sehingga sang wanita dikira gadis, padahal dia telah janda. Karena itu, suami harus bersabar hingga diadakan resepsi, dan sang wanita hendaknya menolak keinginannya berjimak.
Syaikh Abdulaziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Apa yang dibolehkan bagi suami terhadap isterinya setelah akad pernikahan sebelum dilangsungkan resepsi pernikahan?” Beliau menjawab, “Dibolehkan baginya apa yang dibolehkan bagi suami terhadap isterinya. Akan tetapi, hendaknya dia bersabar sehingga dia dapat melakukan resepsi pernikahan. Jika dia butuh untuk menemuinya atau berkomunikasi dengannya, dengan izin walinya untuk keperluan yang jelas, maka tidak mengapa. Jika keduanya hendak bertemu dan berdua-duaan dengan seizing keluarganya, juga tidak mengapa. Adapun jika dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa diketahui, maka di dalamnya terdapat bahaya. Boleh jadi sang isteri akan hamil, kemudian orang-orang akan menyangka buruk atau mengingkari hubungannya dengan isterinya, sehingga terjadi fitnah dan keburukan yang besar. Seharusnya dia menahan diri dan bersabar sehingga diadakan resepsi perkawinan. Jika memang dibutuhkan untuk menemuinya atau berkomunikasi dengannya, hendaknya didampingi bapak atau ibunya, atau saudaranya. Sehingga tidak terjadi sesuautu yang berakibat buruk di kemudian hari.” (Majmu Fatawa Ibn Baz, 21/208, 209)
Syekh Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Jika seorang pria telah melakukan akad nikah dengan seorang wanita, maka dia resmi menjadi suaminya, dia boleh berbicara dengannya melalui telepon, dapat juga mengirim surat, tidak mengapa berinteraksi dengannya selain jimak. Karena dia isterinya, maka apabila dia berinteraksi dengannya, duduk berduaan dengannya dan menciumnya, tidak mengapa, akan tetapi untuk perbuatan jimak hendaknya dihindari, karena padanya terdapat keburukan (saat itu) sebab dapat mendatangkan buruk sangka, boleh jadi sang wanita akan hamil akibat jimak dan melahirkan sebelum diadakan resepsi pernikhan yang telah ditetapkan, maka sang wanita dapat dituduh macam-macam.” (Liqa’at Bab Al-Maftuh, 175/no. 12)
Akan tetapi, (dalam kasus ini), karena sang suami telah menjimak isterinya, maka hal tersebut berarti sudah resmi mereka berhubungan, maka tanpa diperselisihkan sang anak dinisbatkan kepadanya. Dalil dalam hal ini adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
الولد للفراش وللعاهر الحجر
رواه البخاري، رقم 2053 ومسلم، رقم 1457
“Sang anak dinisbatkan kepada ayah yang sah sebagi suami ibunya, sedangkan pelaku zina dijauhi.” (HR. Bukhari, 2053, Muslim, no. 1457)
Seorang wanita dikatakan sebagai isteri yang sah sekedar dengan pelaksanaan akad disertai kemungkinan melakukan hubungan intim. Al-Qarafi berkata, ‘Pendapat pertama, seorang budak menjadi seorang isteri resmi, maksudnya adalah wanita tersebut anaknya akan diikutkan kepada anda (sebagai suami). Untuk hal tersebut ada dua sebab; Akad saat telah merdeka, disertai kemungkinan melakukan hubungan intim.” (Az-Zakhirah, 11/323)
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun seorang wanita dikatakan sebgai isteri yang sah, minimal jika sudah berlangsung akad nikah. Mereka mengatakan telah terjadi ijmak dalam masalah ini seraya menetapkan syarat adanya kemungkinan untuk berhubungan intim sesudah sah menjadi isteri.” (Syarah Nawawi terhadap kitab Shahih Muslim, 10/38)
Adapun konsekwensi hukum yang lain secara global adalah sebagai berikut;
1- Isterinya tersebut mewarisi dari suaminya, berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
سورة النساء: 12
“Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.” SQ. AN-Nisaa’: 12
2. Sang isteri berhak mendapatkan maharnya secara penuh. Karena mahar secara penuh berhak didapati isteri jika terjadi hubungan intim, atau sudah berduaan yang memungkin baginya berhubungan intim menurut adat kebiasaan atau telah bercumbu atau dengan kematian.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, ‘Mahar berhak dimiliki isteri secara utuh dengan ketentuan sebagai berikut;
Pertama: Kematian (suami).
Kedua: Sudah berjimak.
Ketiga: Hal baginya apa yang hanya dihalalkan bagi suami, seperti mencium, menyentuh, melihat kemaluan dan semacamnya.
Keempat: Berduaan di tempat sepi.. (Asy-Syarhul Mumti, 12/309)
3. Wajib bagi isteri untuk mengambil masa idah jika suaminya wafat, hingga melahirkan jika dia dalam keadaan hamil. Berdasarkan firman Allah Taala,
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
سورة الطلاق: 4
Perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. SQ. At-Thalaq: 4
Adapun sikap keluarga laki yang menolak hal itu, maka perkara ini diselesaikan di pengadilan di Negara anda. Kami berpendapat hendaknya melibatkan orang-orang baik yang dapat menasehati, dan agar mereka mengenal hukum syariat dalam kasus seperti ini.
Wallahu a’lam.