Selasa 4 Jumadil Ula 1446 - 5 November 2024
Indonesian

Seorang Ibu Muslimah Telah Melahirkan Anak Perempuan dari Suami Nasrani, Dia Menanyakan Hubungannya Dengan Ayahnya dan Dengan Saudari-saudarinya Yang Non Muslim

220426

Tanggal Tayang : 14-02-2017

Penampilan-penampilan : 21809

Pertanyaan

Saya seorang remaja muslimah yang tinggal di barat, sayangnya ibu saya telah menikah dengan laki-laki Nasrani (bapak saya) di mahkamah sipil, beliau tinggal bersamanya selama 20 tahun, beliau dari suami tersebut dikaruniai 7 anak, saya termasuk salah satu dari mereka, akan tetapi mereka berdua bercerai setelah dalam kurun waktu tersebut, saya bersyukur akan hal itu. Keluargaku telah memberikan pilihan agama kepada kita setelah nanti dewasa, segala puji bagi Alloh beberapa saudari saya masuk Islam, ada dua saudari saya yang memeluk agama nasrani. Mereka telah dibabtis setelah mereka baligh, mereka juga bersuamikan orang nasrani, saya tidak menghadiri resepsi pernikahan mereka berdua dan juga tidak pernah menghubungi mereka; karena saya tahu bahwa jika seorang ibu itu seorang muslimah maka secara otomatis anak-anaknya menjadi seorang muslim, atas dasar itulah maka jika mereka berdua telah dibabtis setelah usia baligh maka hal itu saya anggap murtad dari Islam, akan tetapi ibu dan saudari-saudari saya yang lainnya tetap berinteraksi dengan mereka berdua dengan lembut, mereka juga meminta bantuan kepada mereka kedua seakan-akan mereka berdua masih sebagai muslimah.
Oleh karenanya, saya mohon penjelasan dari hal-hal berikut ini:
Bagaimana seharusnya intersaksi saya dengan saudari-saudari non muslim saya yang sesuai dengan al Qur’an dan Sunnah ?
Apa saja kewajiban saya terhadap bapak saya yang non muslim ?
Apakah boleh meminta bantuan kepada saudari-saudari saya yang non muslim ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Pernikahan seorang muslimah dengan laki-laki kafir hukumnya adalah haram sesuai dengan kesepakatan para ulama, dan termasuk dosa besar yang menyebabkan kemurkaan Yang Maha Mengetahui Keghaiban, Alloh –Ta’ala- berfirman:

( وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ( البقرة/ 221

“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu”. (QS. Al Baqarah: 221)

Firman Alloh yang lain:

( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ ) الممتحنة/ 10 .

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka”. (QS. Al Mumtahanah: 10)

Jika akad tersebut tetap terjadi maka dianggap batil dan barang siapa yang mengetahui akan keharamannya lalu menghalalkannya maka dia telah menjadi kafir tanpa ada perbedaan di antara para ulama.

Silahkan dalam masalah ini merujuk pada fatwa nomor: 170862.

Kedua:

Para ulama fikih menyatakan bahwa seorang anak itu mengikuti yang paling baik agamanya dari kedua orang tuanya, hal ini bisa tergambar pada beberapa kondisi di antaranya adalah:

Jika seorang muslim menikahi wanita ahli kitab maka anaknya menjadi muslim, termasuk apa yang telah disebutkan oleh seorang ulama Ibnu Zainal Abidin Al Hanafi: “Seorang anak itu mengikuti agama salah satu dari orang tuanya yang paling baik, hal ini tergambar jika kedua belah pihak baru saja masuk Islam dan sebelumnya mereka berdua kafir lalu suaminya masuk Islam atau istrinya lalu dia mempunyai anak sebelum keislamannya diketahui yang lainnya”. (Ad Durrul Mukhtar wa Hasyiyatu Ibni Abidin: 3/196)

Disebutkan dalam Al Bahrul Ra’iq Syarh Kanzid Daqa’iq (2/205):

“Salah satu dari kedua orang tuanya masuk Islam, maka anaknya ikut menjadi seorang muslim, baik anak tersebut termasuk yang cerdas atau tidak ; karena seorang anak itu mengikuti orang tuanya yang paling baik agamanya”.

Jikalau telah terjadi –seorang muslimah menikah dengan laki-laki kafir- maka meskipun pernikahan tersebut batil namun anak-anaknya mengikuti agama ibunya, disebutkan dalam Bada’I’ Shanai’ fii Tartiibis Syara’I (7/139):

“Jika laki-laki murtad menikahi wanita muslimah, lalu dia mempunyai anak atau laki-laki tersebut berhubungan intim dengan budak wanita sampai mempunyai anak, maka anak tersebut sebagai seorang muslim karena mengikuti agama ibunya dan tetap mendapatkan warisan dari bapaknya karena nasabnya jelas. Namun jika ibunya kafir maka anaknya tidak dianggap sebagai seorang muslim; karena salah  satu dari kedua orang tuanya tidak ada yang muslim”.

Ketiga:

Jika telah terjadi bahwa seorang wanita muslimah menikah dengan laki-laki kafir, jika keduanya meyakini akan sahnya pernikahan mereka, tidak tahu kalau hal itu diharamkan menurut syari’at Alloh, maka nasabnya tetap dianggap sah; karena akad yang mengandung syubhat dan diyakini kebenarannya oleh keduanya. Namun jika keduanya mengetahui bahwa pernikahan mereka sebenarnya haram hukumnya, maka nasab (anak) nya tidak dianggap sah.

Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata:

“Jika ada laki-laki menikahi wanita yang masih berada dalam masa iddahnya, keduanya mengetahui hal itu dan mengetahui kalau diharamkan namun tetap mensetubuhinya, maka keduanya dianggap telah berbuat zina, maka harus ditegakkan sangsi zina bagi keduanya, wanita tersebut tidak berhak mendapatkan mahar dan nasabnya juga tidak sah. Namun jika keduanya tidak tahu masa iddahnya atau tidak tahu kalau diharamkan, maka nasabnya tetap sah, had (dera) tidak bisa ditegakkan, maharpun wajib dibayarkan. Tetapi kalau suaminya yang tahu hukumnya, maka wajib ditegakkan had kepadanya, dan membayar mas kawin, namun nasab tidak disandarkan kepadanya. Jika istrinya yang tahu hukum di atas, maka wajib ditegakkan had kepadanya, dan tidak berhak mendapatkan mas kawin, nasabnya diikutkan kepada suaminya, kenapa demikian !?; karena pernikahan seperti ini telah disepakati kebatilannya karena serupa dengan menikahi maharim (wanita yang haram dinikahi)”. (Al Mughni: 8/127)

Baca juga: Kasyful Qana’ (13/44), cetakan al wizarah, Mathalib Ulin Nuha (5/579).

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- pernah ditanya:

“Bagi seseorang yang telah mentalak istrinya tiga kali (sekaligus), lalu diberi fatwa oleh seorang mufti bahwa hal itu tidak jatuh talak, kemudian suami tersebut mengikutinya dengan tetap berjima’ dengan istrinya setelah kejadian itu, dan sampai lahir seorang anak, sebagian orang mengatakan anak tersebut adalah anak zina ?

Beliau menjawab:

“Barang siapa yang mengatakan demikian maka merupakan bentuk kebodohan, menyesatkan dan menentang Alloh dan Rasul-Nya. Sungguh umat Islam telah bersepakat bahwa setiap akad nikah yang diyakini oleh seorang suami sebagai pernikahan sah, maka jika dia berjima’ dengan istrinya maka anak yang dihasilkan nantinya  nasabnya tetap dinisbatkan kepadanya, keduanya pun saling mewarisi sesuai dengan kesepakatan kaum muslimin; meskipun pernikahan tersebut pada saat yang sama batil juga menurut pendapat kaum muslimin, baik suami tersebut sebagai kafir atau seorang muslim. Seorang Yahudi jika menikahi anak perempuan dari saudaranya, maka nasab anaknya tetap dinisbatkan kepadanya, mewarisinya sesuai dengan kesepakatan umat Islam, meskipun pernikahan tersebut batil sesuai dengan kesepakatan umat Islam juga…”. (Fatwa lengkapnya bisa dibaca di: Majmu’ Fatawa: 34/13 dan seterusnya.

Abu Hanifah berpendapat bahwa nasab itu diberlakukan secara umum, meskipun kedua suami istri keduanya mengetahui akan haramnya pernikahan tersebut, karena ada proses akad, hal ini berbeda dengan pendapat kedua sahabatnya.

Baca juga: (Al Mabsuth karangan As Sarkhosi: 17/133, Ahkamudz Dzimmiyyin wal Musta’minin fii Daaril Islam karangan DR. Abdul Karim Zaidan: 291-292)

Keempat:

Dari penjelasan sebelumnya diketahui bahwa kedua saudarimu yang telah memilih agama Nasrani dan telah dibabtis maka sudah menjadi murtad dari Islam, orang yang murtad tidak boleh disayangi dan tidak boleh loyal kepadanya, bahkan harus dibenci dan membebaskan diri dari semua amalannya, berdasarkan firman Alloh –Ta’ala-:

( لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمْ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ ) المجادلة/22

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya”. (QS. Al Mujadilah: 22)

Alloh –Ta’ala- juga berfirman tentang Nuh dan anaknya yang kafir:

( وَنَادَى نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ )هود / 45 ، 46

“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku, termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya. Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat) nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan." (QS. Huud: 45-46)

Alloh –Ta’ala- juga berfirman tentang Ibrohim –‘alaihis salam-:

( وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ ) التوبة/114.

“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun”. (QS. At Taubah: 114)

Namun dibolehkan bagi anda untuk berbuat baik kepada keduanya dengan tujuan untuk melembutkan hatinya agar kembali kepada Islam, dengan syarat anda merasa aman dari fitnah sehingga cenderung kepada mereka atau kepada kebatilan mereka.

Telah disebutkan dalam Fatawa Lajnah Daimah (2/67):

“Tidak boleh mengasihi orang-orang kafir, juga tidak berbaur dengan mereka jika justru akan menimbulkan fitnah, adapun makan bersama mereka, berbaur, berbuat baik kepada mereka untuk mendekatkan mereka kepada Islam maka tidak apa-apa jika aman dari fitnah dan tidak ada rasa cinta kepada mereka”.

Kelima:

Adapun berkaitan dengan bapak anda secara khusus maka menjadi kewajiban anda untuk menemaninya dengan baik, Alloh –Tabaraka wa Ta’ala- berfirman:

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ . وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ) لقمان/ 14 ، 15 .

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Luqman: 14-15)

Ibnu Katsir –rhimahullah- berkata:

“Maksudnya adalah jika keduanya berusaha keras agar anda mengikuti agamanya mereka, maka janganlah anda menerimanya, namun hal itu tidak menghalangi anda untuk menemani keduanya di dunia dengan baik, yaitu; berbuat baik kepada keduanya,

( وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ )

Yaitu; mereka orang-orang yang beriman”. (Tafsir Ibnu Katsir: 6/337)

Hal ini menunjukkan bahwa masih boleh menjalin hubungan dengan orang tua yang kafir, seperti yang diriwayatkan dari Asma’ binti Abu Bakar –radhiyallahu ‘anhuma- berkata:

“Pada saat ibu saya mengunjungi saya dalam keadaan musyrik pada masa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka saya menanyakannya kepada beliau: “Sungguh ibu saya telah mendatangi saya karena suatu keperluan, maka apakah saya tetap menjalin hubungan dengannya ?”, beliau menjawab: “Ya, sambunglah silaturrahim dengannya”. (HR. Bukhori: 2477 dan Muslim: 1003)

Anda juga hendaknya berusaha untuk mendakwahinya kepada Islam dan melembutkan hatinya untuk menerima Islam.

Keenam:

Meminta bantuan kepada orang kafir baik dia sebagai kerabat atau bukan, maka perlu perincian:

Jika tidak dihawatirkan ada kecenderungan dan rasa sayang kepadanya; karena kebaikannya maka tidak masalah untuk meminta bantuannya dan menerimanya, adapun jika dihawatirkan adanya kecenderungan atau menimbulkan fitnah karena kebatilannya, maka di sini tidak boleh menerima bantuan mereka tidak juga memintanya, sebaiknya meminta bantuan kepada saudara-saudaranya dari kalangan umat Islam, Syeikh Abdul Aziz bin Baaz –rahimahullah- pernah ditanya:

“Bagaimanakah hukumnya meminta bantuan dari orang-orang kafir dan menerimanya ?”

Beliau menjawab:

“Dalam masalah ini harus dirinci, jika meminta bantuan kepada mereka dan menerimanya tidak dihawatirkan akan membahayakan agama yang meminta dan menerima bantuan mereka, maka tidak masalah.

Namun jika akan menimbulkan bahaya, maka tidak boleh meminta dan menerima bantuan mereka, sebagai bentuk pengamalan dari dalil-dali syari’at yang menunjukkan adanya kewajiban waspada dari apa yang diharamkan oleh Alloh dan menjauhi kemurkaan Alloh.

Telah diriwayatkan dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau telah menerima beberapa hadiah dari orang-orang musyrik, dan tidak menerima dari yang lainnya, hikmah dari hal itu adalah sebagaimana yang telah kami sebutkan, seperti halnya yang telah disebutkan oleh para ulama.

Dan Alloh Maha Pemberi taufik

Semoga Alloh tetap bershalawat kepada Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Diambil dari websitenya Syiekh –rahimahullah- pada link berikut ini

Wallahu A’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam