Jum'ah 19 Ramadhan 1445 - 29 Maret 2024
Indonesian

Bagaimanakah Caranya Orang Tuna Wicara Melakukan Talbiyah Haji ?

287201

Tanggal Tayang : 13-07-2019

Penampilan-penampilan : 8528

Pertanyaan

Saya berniat untuk melaksanakan umrah pada Ramadhan yang akan datang in sya Allah, ditemani oleh saudara saya yang tidak bisa mendengar dan tidak bisa berbicara, ia juga belum pernah belajar bahasa isyarat, tidak bisa mengucapkan kalimat; “Labbaika umrah” (Aku penuhi panggilan-Mu berumrah). Apakah saya boleh mewakilinya untuk mengucapkannya dengan cara saya melafadzkannya untuk diri saya sendiri lalu saya ucapkan: “Labbaika umratan ‘an akhi” (Aku penuhi panggilan-Mu berumrah untuk saudara saya), apakah boleh saya berdoa menggantikannya juga, dia bisa melaksanakan thawaf, sa’i, shalat berjama’ah ?, jazakumullah khairan.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Haji itu hukumnya wajib bagi setiap orang yang baligh, berakal dari kaum muslimin, Allah –Ta’ala- berfirman:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

 آل عمران: 97 .

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”. (QS. Ali Imran: 97)

Orang yang tuli, bisu maka hukumnya sama dengan umat Islam lainnya jika dia baligh dan berakal, wajib hukumnya pergi haji sebagaimana diwajibkan kepada selainnya; karena haji adalah salah satu rukun Islam.

Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

الإِسْلامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَتُقِيمَ الصَّلاةَ ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ ، وَتَصُومَ رَمَضَان ،َ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنْ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلا 

أخرجه مسلم  8 

“Islam itu adalah anda bersyahadat bahwa tiada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa Ramadhan, pergi haji ke Baitullah jika anda mampu melakukan perjalanan ke sana”. (HR. Muslim: 8)

Baca juga jawaban soal nomor: 213606.

Kedua:

Barang siapa yang tidak mampu melaksanakan salah satu kewajiban maka gugur baginya, diwajibkan baginya untuk melaksanakan apa yang mampu ia kerjakan; berdasarkan firman Allah –Ta’ala-:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ 

التغابن/16

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu”. (QS. At Taghabun: 16)

Dan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ 

 متفق عليه

“Dan jika aku perintahkan kepada kalian maka kerjakanlah sesuai dengan kesanggupan kalian”. (Muttafaqun ‘alaih)

Sebagaimana sudah diketahui bahwa memulai manasik dan talbiyah itu dilakukan dengan jahr (terang-terangan) dari apa yang ada di dalam hati dengan berniat memasuki manasik dan ia bukanlah niat.

Maka jika orang yang tuli tersebut bisa berniat dengan baik, maka ia wajib melaksanakannya, dan cukup dengan niat di dalam hatinya. Dan disyari’atkan orang yang menemaninya untuk mengucapkan talbiyah baginya, jika ia tidak mampu mengucapkannya atau mengajarkannya.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata di dalam Al ‘Uddah fi Syarhi Al Umdah (1/608):

“Disebutkan dalam –salah satu riwayat Ibnu Hanbal- bahwa orang non Arab baik laki-laki maupun perempuan, jika keduanya belum faham, maka diajari sesuai dengan kemampuan mereka, ikut mengerjakan manasik, ikut hadir bersama kaum muslimin lainnya dalam manasik, dan Allah Yang Maha Mengetahui niatnya dan saya berharap ibadah keduanya tetap sah”. 

Dan tidak boleh mengucapkan talbiyah dengan selain bahasa Arab, selama dia mampu mengucapkan talbiyah dengan bahasa Arab atau mampu untuk mempelajarinya, karena merupakan dzikir yang disyari’atkan, maka tidak boleh kecuali dengan bahasa Arab, seperti; adzan, takbir, dan lain sebagainya dari dzikir-dzikir yang lainnya. Apalagi talbiyah ini adalah dzikir yang terbatas pada waktu tertentu, ia seperti adzan juga mirip dengan khutbah dan yang serupa dengannya.

Jika tidak mampu mengucapkannya dengan bahasa Arab, Abu Muhammad berkata: “Boleh mengucapkan talbiyah dengan bahasanya sendiri”.

Ada sisi lain, tidak boleh; karena ia telah dilarang untuk berdoa di dalam shalat dengan selain bahasa Arab.

Jika ia tidak mampu mengucapkan talbiyah dan tidak bisa mengucapkannya sama sekali, atau dia adalah orang yang bisu, atau karena sakit sehingga tidak mampu berbicara atau karena ia masih bayi, maka Ahmad –pada riwayat Abu Thalib- berkata:

“Orang yang bisu, yang sakit, dan bayi maka diwakili pengucapan talbiyahnya”.

Hukum yang nampak adalah jika ia tidak mampu mengucapkannya dengan jahr maka talbiyahnya diucapkan oleh orang lain.

Hal ini karena Jabir telah menyebutkan bahwa mereka telah mengucapkan talbiyah untuk para balita, hal itu tidaklah dilakukan kecuali karena mereka tidak mampu mengucapkan talbiyah dan yang serupa dengan para balita adalah semua mereka yang tidak mampu.

Dan karena urusan haji ini semuanya termasuk yang bisa digantikan jika tidak mampu melaksanakannya, seperti melempar jumrah dan yang lainnya.

Jika ia tidak mampu mengucapkan talbiyah sendiri, maka orang lain yang mengucapkan talbiyah untuknya, maka sama dengan talbiyahnya seseorang untuk orang yang sudah meninggal atau orang sulit mendengar, jika ia disebutkan di dalam tabiyah maka lebih baik, dan jika hanya dengan niat saja maka sudah cukup.

Sahabat-sahabat kami berkata, Al Qadhi dan mereka yang datang setelahnya:

“Bacaan talbiyah itu sunnah, tidak masalah meninggalkannnya; karena menjadi dzikir yang disyari’atkan di dalam haji, maka hukumnya sunnah seperti banyak dzikirnya yang berupa doa di Arafah, Muzdalifah dan Mina dan lain sebagainya”. (Syarhu al ‘Umdah: 4/310) –‘Alam al Fawaid-.

Yang menjadi dasar dari disyari’atkannya haji bagi para balita dan yang menyerupai mereka, seperti orang yang tidak mampu berbicara, atau bagi yang belajar niat, dan lain sebagainya adalah hadits Ibnu Abbas:

  عن النبي صلى الله عليه وسلم لقي ركبا بالروحاء، فقال: (من القوم؟) قالوا: المسلمون، فقالوا: من أنت؟ قال: (رسول الله)، فرفعت إليه امرأة صبيا، فقالت: ألهذا حج؟ قال: (نعم، ولك أجر) 

صحيح مسلم  1336 

“Dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah bertemu dengan rombongan orang dalam perjalanan di Rauha’ seraya bersabda: “Siapakah gerangan ?”, mereka menjawab: “Umat Islam”. Mereka bertanya: “Siapa anda ?”, beliau bersabda: “Utusan Allah”, lalu ada seorang wanita yang mengangkat bayinya dan berkata: “Apakah bagi anak ini (syari’at) haji ?”, beliau bersabda: “Iya, dan anda akan mendapatkan pahala”. (HR. Shahih Muslim: 1336)

Hadits juga telah menunjukkan tentang disyari’atkannya perwakilan baginya dan bagi yang tidak mampu melaksanakannya.

Telah disebutkan di dalam ‘Aunu al Ma’bud (5/110):

Al Khatthabi berkata:

“Bahwa (balita) itu berhak melaksanakan haji dari sisi keutamaan, tidak terhitung dari sisi kewajibannya kalau dia masih hidup sampai baligh dan tumbuh dewasa.

Hal ini seperti shalat; ia diperintahkan jika dia mampu melaksanakannya, ia tidak wajib baginya sebagai kewajiban fardhu, akan tetapi tetap tercatat pahalanya, sebagai bentuk karunia dari Allah –subhanahu wa ta’ala-, tetap tercatat pahala bagi orang yang menyuruh dan mengarahkan untuk melaksanakannya.

Jika seorang balita juga berhaji, maka sebagaimana telah diketahui dan menjadi sunnah-sunnahnya untuk dibawa pada beberapa pemberhentian, dibawa melaksanakan thawaf di Baitullah jika ia belum bisa berjalan.

Demikian juga ibadah sa’i di antara Shafa dan Marwah dan lain sebagainya dari semua amalan haji.

Dan yang serupa dengannya adalah orang gila jika sudah sulit untuk bisa sadar.

Wallahu A’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam