Alhamdulillah.
Pertama:
Serangan yang terjadi di berbagai negeri Muslim dan menjadikan orang-orang asing sebagai target, bukanlah termasuk jihad, tapi dia merupakan tindak kejahatan dan menimbulkan kerusakan juga merusak nama baik. Hal tersebut menunjukkan kebodohan pelakunya. Karena orang-orang asing itu telah mendapatkan hak keamanan dari negeri muslim, mereka datang dengan izin, maka tidak boleh mereka disakiti, baik dengan pukulan, dirampas, apalagi dibunuh. Darah dan harta mereka terlindungi dan orang yang mengganggunya sungguh dia telah berada dalam bahaya besar. Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, no. 3166
Dari Abdulalh bin Amr radhiallahu anhuma dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam beliau bersabda,
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Siapa yang membunuh (kafir) mu’ahad (terikat perjanjian damai) maka dia tidak akan dapat mencium wangi surge. Padahal harumnya dapat tercium dari jarak pejalanan empat puluh tahun.”
Hadits ini mencakup kafir zimmi, mu’ahad dan musta’man.
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam kitab Fathul Bari, “
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari, “Yang dimaksud adalah siapa yang memiliki perjanjian bersama kaum muslimin baik dengan akad membayar jizyah atau perjanjian lewat pemerintah atau kaum muslimin yang memberikan keamanan.”
Dalam ucapan beliau rahimahullah, “Atau keamanan dari kaum muslim” ada isyarat tentang perkara yang telah dikenal di kalangan ahli fiqih yaitu bahwa jaminan keamanan tidak disyaratkan harus dari penguasa, tapi boleh juga berasal dari seseorang di kalangan kaum muslimin. Orang-orang asing yang dimaksud tersebut memasuki negeri-negeri muslim dengan jaminan keamanan dari Negara muslim atau dari salah seorang kaum muslimin. Maka mereka tidak boleh disakiti, walaupun seandainya mereka asalnya adalah lawan perang.
Imam Bukhari, no. 3171 dan Muslim, no. 336 telah meriwayatkan dari Ummu Hani binti Abu Thalib radhiallahu anha, dia berkata, “Aku mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada tahun peristiwa Fathu Mekah. Aku dapati beliau sedang mandi sedangkan puterinya Fatimah menutupinya. Maka aku memberi salam kepadanya. Lalu beliau berkata, “Siapakah dia?” Maka aku berkata, “Aku adalah Ummu Hani binti Abu Thalib.” Maka dia berkata, “Marhaban wahai Ummu Hani.” Maka setelah selesai mandi, beliau shalat delapan rakaat dengan diselimuti satu baju. Lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, anak dari Ummu Ali mengaku bahwa dia membunuh seseorang yang telah aku berikan perlindungan, fulan bin Hubairah.” Maka berkatalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أُمَّ هَانِئٍ
“Kami berikan perlindungan orang yang engkau berikan perlindungan wahai Ummu Hani.”
Ummu Hani berkata bahwa saat itu adalah waktu Dhuha.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Siapa yang di antara kita memberikan jaminan keamanan kepada mereka, baik laki-laki, perempuan, atau budak, maka jaminan keamanannya dibolehkan.”
Kesimpulannya, jika keamanan telah diberikan kepada lawan perang, maka dilarang membunuhnya atau merampas hartanya atau menyakitinya. Hal ini boleh dilakukan oleh setiap muslim baligh, berakal dan sukarela, laki-laki ataupun perempun, merdeka atau budak. Inilah pendapat yang dinyatakan oleh Ats-Tsauri, Al-Auzai, Asy-Syafii, Ishaq, Ibnu Qasim dan mayoritas ulama.” (Al-Mughni, 9/195)
Kedua:
Jika orang kafir yang telah diberi kemanan atau mereka yang terikat perjanjian membatalkan janjinya, maka tidak dibolehkan bagi setiap kaum muslimin membunuhnya. Karena perbuatannya tersebut menimbulkan berbagai kerusakan. Namun Nabi shallallahu alaihi wa sallam membiarkan tidak membunuh Abdullah bin Ubay bin Salul, tokoh munafik karena khawatir akan ada opini bahwa Nabi Muhammad membunuh para shahabatnya. Demikianlah, tidak setiap orang boleh membunuh orang yang telah dianggap murtad atau telah hilang jaminan keamanannya berdasarkan makna yang telah kami jelaskan. Betapa banyak tindakan seperti ini menimbulkan kekacauan dan dampak yang berat bagi kaum muslimin. Juga sering mengakibatkan tersumbatnya atau sempitnya peluang-peluang dakwah Islam dan bagi para da’I sendiri. Juga hal ini akan dimanfaatkan para musuh Islam untuk memberikan cita buruk bagi kebenaran dan para pengusungnya.
Ketiga: Adapun menjadi sebab terbunuhnya kaum muslimin yang tak berdosa, hal itu merupakan kejahatan besar dan dosa yang besar. “Sesungguhnya musnahnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibanding terbunuhnya seorang muslim.” Sebagaiman sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, riwayat Tirmizi, no. 1395, An-Nasai, no. 3987, Ibnu Majah, no. 2619 dari hadits Abdullah bin Amr.
Adapun yang dianggap oleh mereka bahwa hal tersebut sebagai operasi mati syahid dengan alasan bahwa mereka ibarat perisai, sungguh tertolak. Hal tersebut menunjukkan kebodohan dan kezaliman mereka. Karena kami melarang terbunuhnya seorang kafir yang halal darahnya kalau dia seorang diri, karena dampak buruk yang diakibatkannya, apalagi jika ternyata hal tersbeut berdampak terbunuhnya orang lain yang tak berdosa.
Maka jelaslah bahwa apa yang telah mereka lakukan merupakan kegelapan di atas kegelapan. Sumbernya adalah kebodohan, tergesa-gesa dan tidak merujuk kepada para ulama yang kita diperintahkan untuk bertanya kepada mereka dan mengembalikan permasalahan kepada mereka. Sudah sepakat pernyataan para ulama terpercaya yang melarang perbuatan tersebut dan dinyatakn sebagai perbuatan criminal yang diharamkan, baik dari dasarnya atau berdasarkan akibatn kerusakan yang menjadi dampaknya.
Maka, setiap orang agar bertakwa kepada Allah Ta’ala dan berhati-hati dengan sangat jangan sampai menyepelekan jaminan keamanan kaum muslimin serta menumpahkan darah dengan cara yang haram dan mendatangkan keburukan bagi kaum muslimin.
Semoga Allah Ta’ala memberi taufiq kepada semuanya sesuai yang Dia cintai dan ridhai.
Wallahua’lam.