Senin 22 Jumadits Tsani 1446 - 23 Desember 2024
Indonesian

Menolak Jadi Hakim

95366

Tanggal Tayang : 23-11-2014

Penampilan-penampilan : 13394

Pertanyaan

Mengapa banyak ulama yang menolak menjadi hakim padahal mereka memiliki kapasitas untuk itu. Apakah ada nash atau atsar dalam masalah ini?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Kedudukan sebagai hakim adalah kedudukan mulia. Di dalamnya terdapat keutamaan yang agung bagi siapa yang kuat menunaikannya. Tugas ini telah ditunaikan para Nabi alaihimussalam, para shahabat utama radhiallahu anhum, para pemuka tabiin dan orang-orang sesudahnya. Dalam peradilan yang adil terdapat perintah pada yang ma’ruf, mencegah yang munkar dan menolong orang yang dizalimi. 

Muhammad  Al-Khadami rahimahullah berkata, “Ilmu tentang peradilan dari sisi ilmu merupkan ilmu yang paling tinggi kedudukannya dan paling mulia. Tempatnya agung, tugas para nabi. Dengannya darah dapat terlindungi dan ditumpahkan (dengan haq), kehormatan dapat diharamkan atau dinikahi, harta dapat diserahkan ke pemiliknya atau dirampas (dari yang tidak berhak), muamalah dapat diketahui mana yang boleh, yang diharamkan, dimakruhkan dan disunahkan. Dalil tentang ilmu peradilan tidak seperti yang lainnya,

وداود وسليمان إذ يحكمان في الحرث

“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman,.” SQ. Al-Anbiya’: 78

Karenanya para rasul diutus, langit dan bumi diciptakan dan masalah ini dijadikan sebagai nikmat yang boleh kita iri terhadapnya,

لا حسد إلا في اثنتين رجل آتاه الله مالا فسلطه على هلكته في الحق ، ورجل آتاه الله الحكمة فهو يقضي بها ويعمل بها

“Tidak boleh hasad kecuali terhadap dua golongan; seseorang yang Allah berikan harta, lalu dia habiskan hartanya di jalan yang benar. Dan seseorang yang Allah berikan hikmah lalu dengan itu dia memutuskan dan mengamalkannya.”

Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu ia berkata,

لأن أقضي يوماً أحب إليَّ من عبادة سبعين سنة

“Aku mengadili sehari lebih aku cintai daripada beribadah selama 70 tahun.”

Karena itu, menegakkan keadilan di antara manusia merupakan amal kebaikan paling utama dan peningkat derajat di akhirat, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وإن حكمت فاحكم بينهم بالقسط إن الله يحب المقسطين

“Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” SQ . Al-Maidah: 42

Apakah yang lebih mulia selain dari kecintaan Allah Ta’ala?”

(Bariqah Mahmudiah Fi Syarhi Thariqah Muhammadiyah Wa Syariah Nabawiah, 4/2-3)

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Padanya terdapat keutamaan yang besar bagi siapa yang kuat menunaikan tugas, melaksanakan kebenaran. Karena itu Allah berikan pahala baginya walau terjadi kekeliruan dan Allah maafkan hukum yang salah. Karena di dalamnya terdapat amar ma’ruf, membela yang dizalimi, menunaikan amanah kepada yang berhak, menggetarkan orang zalim dari kezalimannya, mendamaikan di antara orang, menyelesaikan urusan satu sama lain. Itu semua merupakan pintu-pintu kebaikan. Karena itu tugas ini diemban Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para nabi sebelumnya, mereka menetapkan hukum terhadap umat mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengutus Ali sebagai hakim ke Yaman juga mengutus Muaz sebagai hakim.

Telah diriwayatkan dari Ibnu Masud, sesungguhnya dia berkata, “Saya duduk sebagai qadhi di hadapan dua orang, lebih saya cintai dari beribadah selama 70 tahun.” (Al-Mughni, 11/376)

Karena tingginya kedudukan dan keutamaannya, Allah memberikan pahala walau dia keliru dan Allah ampuni keputusan hukumnya yang keliru. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران وإذا حكم فاجتهد فأخطأ فله أجر  – متفق عليه –

“Kalau seorang hakim memutuskan, dan berijtihad kemudian benar, maka dia mendapatkan dua pahala. Kalau memutuskan, dan berijtihad kemudian salah, maka dia mendapatkan satu pahala.” HR. Muttafaq’alaihi

Sesungguhnya dia diberikan pahala karena kesungguhannya dan upayanya mengerahkan segala kemampuan, bukan diberikan pahala atas kekeliruannya.

Kedua: Menduduki jabatan hakim bisa menjadi wajib, dapat juga menjadi mubah, dapat juga diharamkan. Diharamkan bagi orang yang tidak mengetahui hukum syariah untuk menerima kedudukan ini, dibolehkan bagi mereka yang pandai dalam masalah peradilan dan masih ada orang lain yang mampu melaksanakannya. Dan wajib bagi orang yang memiliki kemampuan dan tidak ada oragn lain yang mengemban tugas mengadili dan menetapkan hukum bagi manusia.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Manusia dalam masalah pengadilan ada tiga kelompok;

Pertama:

Ada yang tidak boleh memegang jabatan hakim orang yang tidak memiliki ilmu tentangnya dan tidak terpenuhi  padanya syarat-syarat.

Diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Hakim itu ada tiga.” Lalu disebutkan di antaranya, “Orang yang menetapkan hukum di antara manusia tanpa ilmu, maka dia di neraka.” Karena orang yang tidak memiliki ilmunya, dia tidak dapat berlaku adil, boleh jadi dia mengambil seseorang dan diberikan kepada orang lain.

Kedua:

Di antara mereka ada yang boleh mengembang tugas hakim, namun tidak diwajibkan. Yaitu apabila mereka dikenal memiliki sifat takwa dan kemampuan berijtihad, sementara ada orang lain yang memiliki kapasitas sama dengan dia. Maka dia boleh menduduki jabatan hakim karena kondisi dan kemampuannya, namun tidak wajib baginya, karena tuntutannya tidak berlaku bagi pribadinya sendiri. Zahir dari ucapan Ahmad bahwa dia tidak dianjurkan masuk ke dalamnya, karena di dalamnya mengandung bahaya dan tipudaya, meninggalkannya lebih selamat, karena di dalamnya terdapat ancaman dan celaan dan karena kebiasaan kaum salaf adalah menghindar darinya.

Utsman radhiallahu anhu pernah hendak mengangkat Ibnu Umar sebagai qadhi, namun dia menolaknya. Abu Abdillah bin Hamid berkata, ‘Jika seseorang enggan dan tidak menjadi rujukan dalam hukum serta tidak dikenal, maka lebih baik baginya mengambil jabatan ini agar menjadi rujukan dalam hukum dan menunaikan yang haq serta kaum muslimin mengambil manfaat darinya. Jika orang tersebut terkenal memiliki ilmu dan menjadi rujukan dalam menebarkan ilmu dan fatwa, maka lebih baik baginya menyibukkan dirinya dalam hal tersebut. Karena hal itulah yang bermanfaat baginya dan terhindar dari keterpedayaan.

Hal senada juga dinyatakan oleh para ulama dari kalangan mazhab Syafii, mereka juga berkata, “Jika dia memiliki kebutuhan mencari pendapatan dari jabatan hakim, maka lebih utama baginya menjabatnya. Karena pendapatan tersebut lebih utama dari pendapatan lainnya, sebab di dalamnya terdapat ibadah dan ketaatan.

Ketiga:

Yang diwajibkan baginya. Yaitu siapa yang mampu menjabat sebagai hakim dan tidak ada orang lain lagi selainnya. Maka hal ini menjadi wajib baginya. Karena jabatan ini bersifat fardhu kifayah, jika tidak orang lain yang mampu melaksanakannya, maka menjadi wajib baginya. Sebagaimana halnya memandikan dan mengkafani jenazah.

Terdapat riwayat yang dikutip dari Imam Ahmad yang menunjukkan bahwa hal itu tidak diwajibkan baginya. Karena dia ditanya, ‘Apakah seorang hakim (yang menolak jabatan hakim) jika tidak ada orang lagi selainnya?” Beliau menjawab, “Tidak berdosa.

Ungkapannya ini mengandung pemahamanan bahwa beliau memahami nash secara zahir bahwa hal tersebut tidak diwajibkan. Karena di dalamnya mengandung bahaya bagi jiwa, sehingga tidak diwajibkan seseorang terhadap sesuatu yang berbahaya bagi dirinya hanya untuk memberikan manfaat bagi orang lain. Karena itu, Abu Qulabah, tidak bersedia menerima jabatan tersebut, padahal sudah dikatakan kepadanya tidak ada orang lain selain dia. Juga dapat dipahami kemungkinan lain, yaitu tidak wajib bagi mereka yang tidak dapat menunaikan kewajibannya karena kezaliman penguasa atau selainnya. Sesungguhnya Ahmad berkata, ‘Harus ada hakim di tengah masyarakat, akankah dibiarkan hak-hak masyarakat terbengkalai.” (Al-Mughni, 11/376)

Sebagian ulama menetapkan hukum yang lima dalam masalah jabatan hakim, yaitu haram, wajib, sunah, makruh dan mubah (boleh).

Lihat ‘Mu’inul Hukkam Fiima Yataraddaduhu Minal Ahkam’ Syekh Alaa’uddin Ath-Tharablisy, rahimahullah, hal. 10. 

Ada ungkapan sebagian ulama tentang peringatan menduduki jabatan hakim dan besarnya bahaya kedudukan ini. Di antaranya;

1.Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu dia berkata, “Seandainya orang-orang mengetahui apa yang terdapat dalam peradilan, maka mereka tidak akan berani memutuskan walau (dalam kasus) seperdelapan kotoran hewan! Akan tetapi manusia harus berurusan dengan peradilan dan kepemimpinan, apakah mereka baik atau durhaka.” (Akhbarul Qudhaat, Abu Bakar Adh-Dhaby yang dijuluki dengan ‘Waki’, hal. 21)

2. Dari Ma’la bin Raubah dia berkata, “Berkata kepadaku Raja bin Haiwah, ‘Hari ini penguasa mengangkat Abdullah bin Mauhib sebagai hakim. Seandainya aku boleh memilih apakah aku memasukkannya ke lobang atau mengangkat Ibnu Mauhib (sebagai hakim), niscaya akan memilih memasukkannya ke dalam lobang.’ Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Orang-orang mengatakan bahwa engkau menunjuknya.’ Dia berkata, ‘Kalian benar, karena aku memperhatikan kebutuhan orang banyak, bukan cuma dia saja.” (Akhbarul Qudhat, hal. 23, 24)

3.Dari Makhul dia berkata, “Aku maju ke medan perang dan leherku ditebas lebih aku sukai daripada aku menduduki jabatan hakim.

4.Dari Rafi, sesungguhnya Umar bin Hubairah memanggilnya untuk menyerahkan jabatan hakim. Maka dia berkata, ‘Aku tidak suka diberi jabatan hakim. Pagar masjid kalian bagiku adalah emas.”

5. Fudhail bin Iyadh berkata, “Jika seseorang menjabat sebagai hakim, maka jadikan satu hari untuk pengadilan, satu hari untuk menangis.”

6.Dari Ibnu Syubrummah, dia berkata, “Jangan engkau berani menjabat hakim sebelum berani terhadap pedang.” (Akhbarul Qudhat, hal. 24)

Keempat:

Banyak para imam yang enggan menerima tawaran jabatan hakim, bahkan sebagian mereka harus dipukul dan dipenjara agar bersedia menerimanya, sebagian lainnya lari dari negerinya agar tidak diserahkan jabatan hakim.

Keengganan mereka dapat disebabkan dengan kesimpulan sebab-sebab berikut;

1.Dia menganggap dirinya tidak layak menjabat sebagai hakim. Sebagaimana diketahui bahwa jabatan kehakiman menuntut pandangan luas, kecerdasan. Maka sang ulama tersebut memandang bahwa dirinya tidak memenuhi syarat tersebut.

Syekh Alaudin Ath-Tharablusi rahimahullah berkata, “Sebagian imam berkata, “Slogan orang-orang bertakwa adalah ‘lari dan menjauh dari hal ini (hakim)’ Sejumlah ulama panutan menghindari hal ini dan bersabar disakiti (karena tidak bersedia menerima jabatan tersebut).” 

Perhatikan kasus Abu Hanifa rahimahullah ta’ala yang menolak dan bersabar menghadapi cobaan agar dia selamat dari jabatan tersebut. Demikian pula para imam lainnya.

Ibnu Qulabah lari dari Mesir saat dia diminta untuk menduduki jabatan hakim. Maka Abu Ayub menemuinya agar dia suka menerimanya. Maka dia berkata, ‘Jika engkau teguh, maka engkau akan mendapatkan pahala yang besar.’ Maka Abu Qulabah berkata kepadanya, ‘Orang yang tenggelam di laut, kapan dia akan berenang?!’

Ucapan Abu Qulabah ini dan ucapan-ucapan senada sebelumnya yang bernada ancaman atau ketakutan berlaku bagi mereka yang merasa dirinya lemah dan tidak dapat bebas dalam melaksanakan tugasnya, demikian juga berlaku bagi mereka yang merasa mampu melaksanakn tugas kehakiman namun orang-orang tidak melihatnya memiliki kemampuan. 

Sebagian ulama berkata, “Tidak ada kebaikan bagi orang yang merasa mampu dalam suatu tugas, namun orang-orang berpendapat bahwa dia tidak layak.” Yang dimaksud ‘orang-orang’ di sini adalah para ulama. Maka menghindarnya orang-orang yang memiliki sifat ini dari tugas kehakiman merupakan kewajiban dan upayanya menuntut keselamatan dirinya merupakan perkara wajib. (Mu’in Al-Hukkam Fiimaa Yataraddadu Bainal Khashmaini Minal Ahkam, hal. 9)

2.Dia berpendapat bahwa dirinya tidak memiliki kewajiban, juga disunahkan. Bahkan salah satu pendapat Imam Ahmad mengandung makna bahwa dia tetaplah tidak diwajibkan menerima tugas kehakiman itu walaupun hanya dia andalannya dan tidak ada orang selainnya.

3. Karena di dalamnya terdapat bahaya menjatuhkan hukum tidak benar. Maka sang ulama takut akan dirinya dengan menolak tawaran jabatan hakim karena itu.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Dunia peradilan sangat bahaya, dosanya besar bagi siapa yang tidak menunaikan kebenaran di dalamnya. Karena itu, para ulama salaf sangat menghindari jabatan tersebut.” (Al-Mughni, 11/376)

Disebutkan dalam Al-Mausuah Al-Fiqhiyah, 33/289-290);

“Banyak kalangan salafushaleh menghindari jabatan kehakiman, bahkan saking menghindarnya mereka mendapatkan perlakun buruk. Hal tersebut karena takutnya mereka, sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh hadits yang banya yang didalamnya terdapat ancaman bagi orang yang menduduki jabatan kehakiman namun tidak menunaikannya dengan haq.

Seperti hadits,

إن الله مع القاضي ما لم يجر ، فإذا جار تخلى عنه ولزمه الشيطان [ رواه الترمذي وابن ماجه ، وحسنه الألباني ] ـ ،

“Sesungguhnya Allah bersama seorang hakim selama dia tidak zalim. Jika dia zalim, maka Allah tinggalkan dan dia didekati setan.” (HR. Tirmizi, Ibnu Majah, dinyatakan hasan oleh Al-Albany)

Juga hadits

من ولي القضاء أو جعل قاضياً فقد ذبح بغير سكّين [ رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه ، وصححه الألباني ]

Siapa yang menduduki jabatan hakim, sungguh dia telah disembelih tanpa pisau.” (HR. Abu Daud, Tirmizi,Ibnu Majah, dinyatakan shahih oleh Al-Albany)

Para hakim itu ada tiga; Dua di neraka dan satu di surga. Hakim yang menetapkan hukum tidak benar dan dia tahu itu, maka dia di neraka. Hakim yang tidak memiliki ilmu sehingga menghilangkan hak-hak manusia, maka dia di neraka. Hakim yang memutuskan dengan hak, maka dia di surge.” (HR. Tirmizi, 3/604, Hakim, no. 904 dari hadits Buraidah. Redaksi berasal dari Tirmizi dan dinyatakan shahih oleh Al-Hakim serta di setujui oleh Az-Zahabi) 

4.Tidak mampu menanggung beban ujian peradilan.

Syekh Abul Hasan An-Nabhani rahimahullah berkata, “Setelah jelas beratnya ujian peradilan, banyak orang-orang mulia yang lari darinya menghindar dan meninggalkannya. Bahkan ada yang dipenjara karena sebab ini, karena orang lain menolaknya (sedangkan dia yang berkompeten menolaknya). Di antara mereka adalah Abu Hanifah, yaitu Nu’man bin Tsabit, dipanggil oleh Umar bin Hubairah untuk menduduki jabatan hakim. Namun beliau menolaknya, maka beliau dipenjara dan dicambuk selama beberapa kali, setiap hari sepuluh cambukan. Namun beliau tetap menolaknya dan akhirnya mereka meninggalkan menghukumnya.” (Tarikh Qudhat Al-Andalus, hal. 7)

1. Kesibukan mereka dengan perkara yang lebih penting, seperti kesibukan melakukan perjalanan untuk mencari ilmu atau mengajarkannya.

Kesimpulannya; Jika para imam mazhab yang empat menolaknya, namun para nabi alaihimussalam dan Khulafaurrasyidin menerimanya. Bab wara’ itu luas bagi orang yang ingin wara.”

Dalam Al-Mausuah Al-Fiqhiyah, 33/290) dikatakan, “Setelah Al-Mushtafa (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam), para Khulafaurrasyidin mengemban jabatan qadhi (hakim), lalu para pemuka Islam sesudahnya juga demikian dan mereka menetapkan hukum dengan haq. Masuknya mereka dalam dunia peradilan menunjukkan kemampuan mereka dan besarnya pahala mereka. Karena orang-orang yang datang sesudah mereka adalah mengikuti langkah merka. Begitu seterusnya para tokoh tabiin dan tabiittabiin mengemban jabatan tersebut. Adapun para ulama yang menolak jabatan tersebut, padahal mereka meiliki kemuliaan, kelayakan dan sifat wara, disimpulkan bahwa hal tersebut karena mereka sangat memelihara keselamatan jiwa dan sebagai cara untuk mencari jalan keselamatan. Juga dapat disimpulkan bahwa mereka khawatir jabatan tersebut akan mempersempit upaya mereka untuk menuntut ilmu.”

Wallahua a’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam