Jum'ah 21 Jumadil Ula 1446 - 22 November 2024
Indonesian

Sikap Islam Terhadap Profesi yang Rendah dan Profesi yang Tinggi

Pertanyaan

Apakah di dalam Islam ada pekerjaan dan profesi yang rendah dan pekerajaan dan profesi yang tinggi ? Apakah manusia harus berambisi pada posisi yang tinggi dalam pekerjaan dan tidak rela dengan pekerjaan dan profesi yang ada ? kapankah terjadi pertentangan antara ambisi dan rela terhadap pekerjaan ? Apakah manusia harus bekerja pada pekerjaan yang memiliki posisi terkemuka dalam masyarakat yang bertentangan dengan sikap zuhud di dunia dan tidak menjadikannya sebagai keinginan besarnya, ataukah hal ini adalah perkara lumrah yang tidak dilarang oleh syariat ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama.

Allah menjadikan dunia ini sebagai kendaraan untuk menuju ke akhirat dan sebagai penyebab yang membantu manusia untuk sampai pada perkara akhirat. Oleh sebab itulah Allah menjelaskan dalam kitab suci-Nya bahwasanya Dia menundukkan bumi dan seisinya untuk manusia. Allah Ta’ala berfirman,

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعاً

البقرة/29

“Dialah (Allah) yang menciptakan segala yang ada di bumi untukmu.” (QS. Al-Baqarah : 29).

Allah Ta’ala juga berfirman,

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ ذَلُولاً فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ

الملك/ 15 .

“Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu dalam keadaan mudah dimanfaatkan. Maka, jelajahilah segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Hanya kepada-Nya kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk : 15).

Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan, “Maksudnya, berjalanlah kalian ke mana pun yang kamu kehendaki di berbagai kawasannya, serta lakukanlah perjalanan mengelilingi semua daerah dan kawasannya untuk keperluan mata pencaharian dan perniagaan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 8/179).

Banyak ayat Al-Qur’an dan hadits yang menganjurkan untuk bekerja mencari nafkah dan berjalan di muka bumi. Semua itu untuk mendapatkan harta, bukan hanya untuk dikumpulkan, akan tetapi untuk menjaga kehormatannya, menyambung kasih sayang dan membantunya untuk melakukan ketaatan kepada Tuhannya.

Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah menjelaskan keutamaan dan urgensi harta, “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menamakan harta dengan kebaikan tidak hanya satu tempat di dalam kitab suci-Nya, seperti firman-Nya,

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْراً الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ 

البقرة/ 180

“Diwajibkan kepadamu, apabila seseorang di antara kamu didatangi (tanda-tanda) maut sedang dia meninggalkan kebaikan (harta yang banyak), berwasiat kepada kedua orang tua dan karib kerabat…” ­(QS. Al-Baqarah : 180).

Dan firman Allah Ta’ala,

وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ

العاديات/ 8

“Sesungguhnya cintanya pada harta benar-benar berlebihan.” (QS. Al-‘Adiyat : 8).

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwasanya Dia menjadikan harta sebagai pilar (penyangga) bagi manusia dan memerintahkan untuk menjaganya serta melarang untuk menyerahkannya kepada orang-orang yang kurang akal dari kalangan wanita dan anak-anak dan lain sebagainya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memuji harta dengan sabdanya,

نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ – رواه أحمد بإسناد صحيح

“Sebaik-baik harta adalah yang dimiliki oleh orang shalih.” (HR. Ahmad dengan Isnad yang shahih).

Sa’id bin Al-Musayyib mengatakan, “Tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak ingin mengumpulkan harta yang halal, yang dengannya ia menjaga kehormatannya, menyambung tali sailaturrahimnya dan memberikan haknya.” Abu Ishaq As-Sabi’i mengatakan, “Dahulu mereka memandang keluasan (kekayaan) dapat membantu agama.” Muhammad bin Al-Munkadir mengatakan, “Pertolongan paling baik untuk bertakwa adalah kekayaan.” Sufyan At-Tsauri mengatakan, “Harta pada zaman kami merupakan senjata bagi seorang Mukmin.” Yusuf bin Sabath mengatakan, “Tidak ada harta pada suatu masa sejak diciptakan dunia yang lebih bermanfaat daripada harta pada masa ini.”

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan harta sebagai penyebab terjaganya badan, terjaganya badan menjadi penyebab terjaganya jiwa yang merupakan tempat makrifat (pengetahuan) terhadap Allah dan iman kepada-Nya, tempat pembenaran terhadap para rasul dan tempat cinta kepada Allah dan kembali kepada-Nya. Harta merupakan penyebab termakmurkannya dunia dan akhirat.

Di antara manfaat harta adalah ia merupakan pilar ibadah dan ketaatan. Dengan harta tegaklah kebaikan pada haji dan jihad. Karena harta tercapailah infak yang wajib dan yang sunah. Lantaran harta terwujudlah pendekatan diri kepada Allah dengan membebaskan budak, wakaf, pembangunan masjid, jembatan dan lain sebagainya. Sebab harta terwujudlah pernikahan yang lebih lebih baik daripada menyendiri untuk melaksanakan ibadah-ibadah sunah. Atas dasar hartalah tegaklah akhlak. Dengan harta muncullah sifat pemurah dan dermawan. Karena harta terjagalah kehormatan. Lantaran harta kita didapatlah saudara dan kawan. Sebab harta kebaikan diwujudkan dalam tingkatan paling tinggi dan manusia dapat membersamai orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah. Harta adalah tangga untuk menaiki kamar-kamar surga yang tinggi, dan tangga untuk menuruni surga menuju tempat yang serendah-rendahnya. Harta yang menegakkan kemuliaan orang yang mulia. Sebagian salaf mengatakan, “Tidak ada kemuliaan kecuali dengan kedermawanan. Tidak ada kedermawanan kecuali dengan harta benda.” Sebagian salaf yang lain mengatakan, “Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu yang tidak cocok kecuali dengan kekayaan.” Harta adalah salah satu penyebab keridhaan Allah kepada hamba, sebagaimana juga salah satu penyebab murka Allah kepadanya. (Uddatus Shabirin, hal. 221-223, secara ringkas).

Untuk mewujudkan tujuan-tujuan harta yang mulia ini, para nabi dan rasul pun bekerja pada suatu pekerjaan dan profesi tertentu. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلاَّ رَعَى الْغَنَمَ) ، فَقَالَ أَصْحَابُهُ : وَأَنْتَ ؟ فَقَالَ : (نَعَمْ ، كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لأَهْلِ مَكَّةَ رواه البخاري (2143)   

“Tidak seorang pun yang diutus oleh Allah sebagai nabi, melainkan ia pernah menggembala kambing.” Para sahabatnya bertanya, “Begitu juga Anda?” Beliau menjawab, “Ya, aku pun pernah menggembala kambing penduduk Mekah dengan upah beberapa Qiraṭ.” (HR. Al-Bukhari, no. 2143). Begitu pula nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bekerja sebagai pedagang bersama dengan pamannya, Abu Thalib, kemudian berdagang untuk harta istrinya, Khadijah Radhiyallahu ‘Anha, sebagaimana sudah masyhur dalam Sirah.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

كَانَ زَكَرِيَّاءُ نَجَّاراً رواه مسلم (2379) .

“Zakaria dulu adalah seorang tukang kayu.” (HR. Muslim, no. 2379).

Allah Ta’ala memberitahukan bahwasanya pekerjaan Nabi Daud ‘Alaihis Salam dengan firman-Nya,

وَسَخَّرْنَا مَعَ دَاوُدَ الْجِبَالَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ وَكُنَّا فَاعِلِينَ وَعَلَّمْنَاهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَكُمْ لِتُحْصِنَكُمْ مِنْ بَأْسِكُمْ فَهَلْ أَنْتُمْ شَاكِرُونَ

الأنبياء /80 .

“Kami mengajarkan pula kepada Daud cara membuat baju besi untukmu guna melindungimu dari serangan musuhmu (dalam peperangan). Maka, apakah kamu bersyukur (kepada Allah)?” (QS. Al-Anbiya’ : 80).

وعَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنِ الْمِقْدَامِ رضي الله عنه عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَاماً قَطُّ خَيْراً مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ رواه البخاري (1966) .

Diriwayatkan dari Khalid bin Ma’dan, dari Al-Miqdam Radhiyallahu ‘Anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Tidak ada seseorang yang memakan satu makanan pun yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya (bekerja) sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah, Daud ‘Alaihis Salam memakan makanan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari, no. 1966).

Daud ‘Alaihis Salam adalah seorang nabi dan raja. Allah menganugerahinya kerajaan yang besar. Namun demikian, ia makan dari hasil usahanya sendiri. Beliau bekerja membuat baju perang dari besi dan menjualnya.

Islam menegaskan prinsip berusaha dan mencari rezeki di bumi ini.

فعن ابْنُ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قال : "كَانَ "ذُو الْمَجَازِ" ، و "عُكَاظٌ" مَتْجَرَ النَّاسِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ ، فَلَمَّا جَاءَ الإِسْلاَمُ كَأَنَّهُمْ كَرِهُوا ذَلِكَ حَتَّى نَزَلَتْ (لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلاً مِنْ رَبِّكُمْ) فِي مَوَاسِمِ الْحَجِّ رواه البخاري (1681) .

“Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, ia berkata, “Dahulunya Dzul Majaz dan Ukazh adalah pasar-pasar di masa jahiliyah. Mereka merasa berdosa berjualan pada musim (haji), maka turunlah ayat, "Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu," di musim-musim haji.” (HR. Al-Bukhari, no. 1681).

Para fuqaha dan ahli hadits menyatakan hal itu. Al-Bukhari mencantumkan bab dalam kitab Shahihnya dalam Kitabul Buyu’ bab Al-Khuruj fit Tijarah wa Qaulillahi Ta’ala, “Fantasyiru fil Ardhi wa Ibtaghu Min Fadhlillah (Berangkat untuk berdagang dan firman Allah, “Bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah,” (QS. Al-Jumu’ah : 10)) kemudian menyebutkan pembicaraan Abu Musa Al-Asy’ari dengan Umar dan juga perkataan Umar, “Aku dilalaikan oleh perdaganganku di pasar.” Maksudnya adalah berangkat untuk berdagang. (HR. Al-Bukhari, no. 1956 dan Muslim, no. 2153).

Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan, “Ibnu Al-Munayyir mengatakan dalam kitab Al-Hasyiyah, ‘Tujuan Al-Bukhari memperbolehkan bergerak utuk berdagang, meskipun ke tempat yang jauh, berbeda dengan orang yang ekstrim dan tidak datang ke pasar.” (Fathul Bari, 4/349).

Al-Bukhari juga mencantumkan bab Bab Tijarah fil Bahri, Bab Ma Qila fis Shawagh, Bab Dzikril Qin wal Haddad, Bab Al-Khayyath, Bab An-Nassaj, Bab An-Najjar dan seterusnya.

Dengan pencantuman bab-bab seperti ini beserta hadits-haditsnya, Al-Bukhari ingin menunjukkan syariat bekerja  dan berprofesi.

Apa yang disangka oleh sebagian orang bahwasanya Islam tidak mendorong untuk mencari nafkah dan bekerja. Tentu ini prasangka yang tidak benar.

Dan apa yang disangka oleh banyak orang bahwa beberapa profesi adalah profesi yang rendah, seperti tukang kayu, tukang besi, penggembala, tidaklah benar. Untuk membantahnya cukup dengan adanya profesi-profesi ini, begitu pula pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh makhluk Allah yang paling muia yaitu para nabi dan rasul Alaihimus Salam.

Kedua.

Islam tidak menentang jika manusia memiliki profesi yang tinggi dan pekerjaan yang baik, akan tetapi memotivasinya, apabila manusia berada dalam tingkatan yang lebih baik dan kondisi yang lebih sempurna, bahkan mencari yang lebih baik dan lebih utama, berusaha untuk meraihnya, dengan syarat hal tersebut tidak mempengaruhi agamanya dan keistikamahannya. Oleh sebab itulah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ ، وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ رواه مسلم (2664)

“Seorang Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada Mukmin yang lemah, tetapi dalam diri kedua mereka ada kebaikan.” (HR. Muslim, no. 2664). Kata-kata Khair disebutkan dalam bentuk Nakirah yang mencakup semua kebaikan di dunia dan akhirat.

Sesungguhnya Islam tidak menyukai praktik beberapa profesi yang rendah (hina) dan memerintahkan seorang Muslim untuk menghindarinya, sebagaimana disebutkan dalam hadits.

عَنِ ابْنِ مُحَيِّصَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ اسْتَأْذَنَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِي إِجَارَةِ الْحَجَّامِ فَنَهَاهُ عَنْهَا فَلَمْ يَزَلْ يَسْأَلُهُ وَيَسْتَأْذِنُهُ حَتَّى قَالَ : اعْلِفْهُ نَاضِحَكَ [البعير] وَأَطْعِمْهُ رَقِيقَكَ رواه أبو داود (3422) والترمذي (1277) وحسَّنه

Diriwayatkan dari Ibnu Muhayyishah, bahwasanya dia meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tentang upah tukang bekam, lalu beliau melarangnya. Maka dia terus menanyakannya dan meminta izin beliau hingga beliau bersabda, “Berikanlah pada budakmu.” (HR. Abu Daud, no. 3422 dan At-Tirmidzi, no. 1277 dan dihasankannya).

Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan, “Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini (pekerjaan sebagai tukang bekam). Jumhur berpendapat bahwasanya profesi tukang bekam adalah halal. Mereka mengatakan, “Profesi tukang bekam itu rendah tetapi tidaklah haram. Mereka menafsirkan larangan Nabi hanya sebatas Tanzih saja. (Fathul Bari, 4/459).

Beliau juga mengatakan, “Tidak semestinya jika bekam itu termasuk pekerjaan yang rendah, kemudian pekerjaan ini tidak disyariatkan. Tukang sapu lebih buruk daripada tukang bekam. Jika seandainya manusia sepakat untuk meninggalkannya, niscaya hal itu akan menyebabkan masalah pada mereka.” (Fathul Bari, 4/324).

Ibnu Qudamah Rahimahullah  mengatakan, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak menyukai pekerjaan itu bagi orang merdeka (Makruh Tanzih) karena pekerjaan ini rendah. Perintah Nabi untuk memberikan makan kepada budaknya dari upah pekerjaan itu menunjukkan boleh (Mubah). Maka dapat ditentukan bahwasanya larangan beliau untuk tidak makan dari upah bekam hukumnya makruh, bukan haram.” (Al-Mughni, 6/133).

Dari sini dapat disimpulkan bahwasanya ada pekerjaan dan profesi yang diistilahkan dengan rendah, seperti bekam, mengumpulkan sampah dan bekerja di saluran air, dan semisalnya.

Akan kami ingatkan beberapa masalah di sini :

  1. Tidak berarti pekerjaan yang rendah itu haram dikerjakan. Keterangan tentang masalah itu sudah dijelaskan sebelumnya.
  2. Bisa jadi profesi-profesi ini sesuai dengan sebagian orang, karena mungkin dia tidak menguasai pekerjaan lainnya misalnya. Mengerjakan profesi seperti itu lebih baik baginya daripada menganggur dan meminta-meminta kepada orang (mengemis).
  3. Tidak ragu lagi bahwa masyarakat muslim membutuhkan profesi dan pekerjaan seperti ini. Ia pekerjaan yang sangat penting. Sampah tidak dikumpulkan untuk beberapa hari saja akan menimbulkan kesulitan bagi masyarakat. Itu artinya akan tersebar penyakit dan wabah. Oleh sebab itulah, negara Islam harus memuliakan orang-orang yang berprofesi seperti ini dengan selalu memberikan motivasi-motivasi, sehingga orang-orang tidak berhenti mengerjakan profesi ini.
  4. Tidak boleh menghina dan merendahkan orang yang mengerjakan profesi ini, yaitu orang-orang yang mendapatkan sedikit kesempatan untuk belajar, atau akalnya lemah, atau ia memiliki keadaan khusus yang memaksanya untuk melakukan pekerjaan ini. Para pekerja dalam bidang ini, tidak ragu lagi, lebih baik daripada orang yang meminta-minta kepada manusia dan menjerumuskan dirinya pada kehinaan.

Ketiga.

Islam mendorong untuk meraih kesempurnaan agama atau dunia yang tidak bertentangan dengan keridhaan terhadap apa yang dibagikan oleh Allah kepada manusia, karena salah satu penyebab untuk memperolehnya adalah dengan melakukan usaha. Mencurahkan usaha yang telah diciptakan Allah dengan hikmah-Nya dan pengaturan-Nya pada umumnya akan menyebabkan kita mendapatkan hasilnya (musabbabnya).

Sedangkan apabila manusia mencarinya dengan jalan yang tidak dihalalkan oleh Allah, seperti mencarinya dengan jalan maksiat, menipu, berdusta atau menyuap, lalu keinginan besarnya adalah mendapatkan manfaat duniawi tanpa harus menginvestasikannya pada ketaatan kepada Allah, maka sungguh ia telah menentang keridhaan terhadap apa yang dibagikan Allah dan terjatuh pada kemaksiatan kepada-Nya.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah membuat perumpamaan besar bagi usaha manusia dalam meraih harta dan jabatan. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ka’ab bin Malik Al-Anshari, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ رواه الترمذي (2376) وصححه الألباني في "سنن الترمذي" .

Dua srigala yang lapar yang dilepaskan ke dalam kawanan kambing tidak lebih menghancurkan daripada ketamakan seseorang pada harta dan kemuliaan agamanya.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2376 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Sunan At-Tirmidzi).  

Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah mengatakan, “Tidak ragu lagi bahwa ketamakan dan hasrat pada kehidupan dunia dan tempat tinggal di dunia yang berupa harta dan kekuasaan amatlah berbahaya, sebagaimana diriwayatkan oleh At-Tirmidzi.

عن كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ الأَنْصَارِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ وقال : حديث حسن صحيح .

Dari Ka’ab bin Malik Al-Anshari, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Dua srigala yang lapar yang dilepaskan ke dalam kawanan kambing tidak lebih menghancurkan daripada ketamakan seseorang pada harta dan kemuliaan agamanya.’” (At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mencela ketamakan terhadap harta dan kemuliaan, yaitu kepemimpinan dan kekuasaan. Beliau juga mengabarkan bahwa hal itu dapat merusak agama, semisal atau lebih dari dua srigala lapar yang merusak pekarangan kambing.” (Majmu’ul Fatawa, 20/142).

Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah mengatakan, “Harta dicela tak lain karena dikeluarkan pada sesuatu yang tidak semestinya, dibelanjakan pada sesuatu yang bukan haknya, memperbudak pemiliknya, menguasai hatinya dan memalingkannya dari Allah dan negeri akhirat. Harta dicela karena mengantarkan pemiliknya pada tujuan-tujuan yang rusak, atau memalingkannya dari tujuan-tujuan yang terpuji. Celaan itu ditujukan kepada pemilik harta, bukan kepada hartanya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ – رواه البخاري  (2730)   

“Celakalah budak dinar, dirham, Khamishah (pakaian berwarna hitam dan memiliki bintik-bintik merah) dan Qathifah (pakaian yang memiliki beludru).” (HR. Al-Bukhari, no. 2730). 

Beliau mencela budak keduanya (yaitu dinar dan dirham) dan tidak mencela dinar dan dirhamnya.” (‘Uddatus Shabirin, hal. 221-223).

Sedangkan zuhud di dunia tidak bertentangan dengan mencari harta dan bekerja pada profesi tinggi. Lihat penjelasannya pada jawaban dari pertanyaan no. 105352.

Terakhir, harus diketahui bahwasanya profesi bergengsi dan jabatan tinggi tidak boleh diberikan kecuali kepada orang yang mengambilnya sesuai haknya dan ia menunaikan hak yang ada di dalam profesi atau pekerjaan itu. Namun, orang yang mengambilnya tidak sesuai haknya, tidak bertakwa kepada Allah terhadap profesi atau pekerjaan itu, tidak menunaikan kewajiban yang ada di dalamnya, akan tetapi mengambilnya untuk berbuat zalim, mengalahkan dan menguasai mereka, mengumpulkan harta meskipun berasal harta haram, maka jabatan dan kepemimpinan itu akan menjadi musibah bagi pemiliknya kelak di Hari Kiamat.

Mengenai hal ini Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ رواه البخاري (7148) .

"Kalian akan rakus terhadap jabatan, padahal jabatan itu akan menjadi penyesalan di Hari Kiamat.” (HR. Al-Bukhari, no. 7148).     

Muslim meriwayatkan hadits no. 1825

عن أبي ذر رضي الله عنه أنه قال للنبي صلى الله عليه وسلم : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي ، قَالَ : فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ، ثُمَّ قَالَ : يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا  .

Diriwayatkan dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘Anhu, bahwasanya dia berkata kepada  Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Wahai Rasulullah, tidakkah Anda menjadikanku sebagai pegawai (pejabat)?” Abu Dzar berkata, “Kemudian beliau menepuk bahuku dengan tangan beliau seraya bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada Hari Kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan hak dan melaksanakan tugas dengan benar.”

An-Nawawi Rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim mengatakan, “Hadits ini merupakan dasar yang agung dalam menjauhi kepemimpinan, terutama bagi orang yang memiliki kelemahan untuk melaksanakan tugas dari kepemimpinan tersebut. Sedangkan kehinaan dan penyesalan adalah hak bagi orang yang tidak layak untuk mendapat kepemimpinan atau jabatan tersebut. Atau sebenarnya ia layak, namun ia tidak berbuat adil, sehingga Allah Ta’ala  menghinakannya pada Hari Kiamat, lalu dia menyesal atas perbuatan yang telah dilakukannya. Adapun orang yang layak mendapat kepemimpinan dan berbuat adil, maka ia akann mendapat keutamaan yang besar. Hal itu ditunjukkan oleh hadits-hadits shahih, seperti hadits Sab’atun Yuzhilluhum Allahu (Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah) dan hadits-hadits lainnya serta terjadinya Ijma’ yang dilakukan oleh kaum Muslimin. Namun demikian, karena banyaknya bahaya di dalamnya, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memperingatkan dari hal tersebut, begitu pula para ulama. Beberapa golongan salaf juga enggan mendapatkan jabatan, dan mereka pun sabar ketika mendapatkan siksaan karena menolak jabatan tersebut.”

Wallahu A’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam