Alhamdulillah.
Pertama: Shalawat kepada selain para nabi dibolehkan jika diikutkan kepada mereka. Sebagaimana ucapan,
اللهم صل على محمد وعلى آله وأصحابه
“Ya Allah, semoga shalawat terlimpah kepada Muhammad beserta keluarga dan para shahabatnya.”
Adapun menyebutkannya secara terpisah, misalnya Abu Bakar shallallahu alaihi, atau Umar, Ali, dll, dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang melarangnya secara mutlak, sebagian lagi membolehkannya. Adapula yang merinci dengan berpendapat dibolehkan, bukan disunahkan, apalagi diwajibkan. Akan tetapi jika kemudian hal itu menjadi simbol kesesatan, seperti Syiah dan semacamnya, maka dengan alasan tersebut, dilarang.
Ibnu Qayim telah menguraikan dalil kedua kelompok dengan pajang lebar dengan berkata,
“Jika shalawatnya diarahkan kepada individu tertentu atau kelompok tertentu, Maka dimakruhkan menjadikan shawalat kepadanya sebagai kebiasaan yang tidak ditinggalkan. Seandainya dikatakan haram, maka hal itu lebih kuat, khususnya jika sudah dijadikan syiar yang khusus baginya dan terhalang bagi selainnya bahkan kepada yang lebih baik darinya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan kalangan syiah terhadap Ali radhiallahu anhu, apabila namanya disebut, mereka akan berkata, alaihishalatu wassalamu. Mereka tidak mengucapkannya kepada orang yang lebih baik darinya. Hal seperti ini dilarang. Apalagi jika dijadikan sebagai syiar yang tidak mereka tinggalkan. Maka, jika demikian halnya, meninggalkan hal tersebut lebih dituntut. Adapun jika shalawat disampaikan kepadanya kadang-kadang dan tidak menjadikannya sebagai syiar, sebagaimana shalawat diucapkan kepada orang yang membayar zakat sebagaimana perkataan Ibnu Umar kepada jenazah “shallallahu alaih” Juga sebagaimana shalawat Nabi kepada seorang wanita dan suaminya, juga sebagaimana diriwayatkan dari Ali bahwa dia bershalawat kepada Umar, maka hal ini tidak mengapa.”
(Jala’ul Afham, hal. 663)
Syekh Bakar Abu Zaid rahimahullah berkata, “Shalawat dan salam kepada selain para Nabi, baik posisinya mengikuti atau berdiri sendiri. Jika posisinya mengikuti, maka berdasarkan ijmak hal ini dibolehkan, sebagaimana redaksi dalam shalawat Ibrahimiah.
Akan tetapi, perbedaan terjadi jika disebutkan berdiri sendiri. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat. Jumhur ulama berpendapat bahwa hal tersebut tidak bolah. Maka tidak boleh dikatakan Abu Bakar shallallahu alaihi wa sallam, meskipun maknanya benar. Sebagaimana tidak boleh mengatakan, Muhammad Azza wa Jalla, meskipun beliau adalah orang yang mulia dan besar (aziizan jalilan), karena hal itu telah menjadi syiar dalam menyebut nama Allah Azza wa Jalla. Mereka menyimpulkan terkait riwayat yang menyebutkan hal tersebut dalam Alquran dan Sunah sebagai doa untuk mereka. Karena itu tidak menjadi syiar bagi keluarga Abu Aufa juga kepada Jabir dan isterinya. Ibnu Katsir berkata, ‘Ini kesimpulan bagus.”
Kemudian mereka yang melarangnya berbeda pendapat dalam bentuk larangannya, apakah haram atau makruh yang cenderung boleh saja atau sekedar meninggalkan hal yang baik (khilaful aula).
Adapun Imam Ahmad dan para pengikutnya berpendapat bahwa hal tersebut tidak mengapa.
Imam Nawawi, setelah menyebutkan adanya perbedaan tersebut menyatakan, “Yang benar menurut pendapat jumhur adalah bahwa perkara ini merupakan perbuatan makruh yang cenderung boleh, karena dia merupakan syiar pelaku bid’ah, dan kita dilarang menggunakan syiar mereka….”
Maknanya adalah bahwa hukum makruh ini karena munculnya fenomena syiah. Kalau tidak, maka dia asalnya boleh. Karena itu, Ibnu Katsir berkata sesudahnya, “Aku katakan, hal ini biasanya banyak terjadi pada para penulis buku yang mengkhususkan Ali radhiallahu anhu dengan mengatakan ‘alaihissalam’ sementara terhadap sahabat lainnya tidak demikian. Atau ada yang menyebut ‘karramallahu wajhah’. Perkara ini, walaupun maknanya benar, akan tetapi seharusnya perlakuannya sama terhadap seluruh shahabat. Karena dari sudut pandang pemuliaan dan penghormatan, maka kedua shahabat besar; Abu Bakar dan Umar, serta Amirul Mukminin Utsman, lebih utama untuk disebut demikian daripadanya (Ali) radhiallahu anhu ajmain.
Diriwayatkan berdasarkan sanad dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, bahwa dia berkata, “Tidak sah shalawat kepada seseorang kecuali kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Akan tetapi, kepada kaum muslimin dan muslimat didoakan agar mendapatkan maghfirah (ampunan).”
Juga diriwayatkan dari Umar bin Abdulaziz rahimahullah ta’ala, dia berkata, “Amma ba’du, Ada orang yang mencari dunia dengan amal akhirat. Ada sejumalah tukang cerita yang mengada-adakan shalawat terhadap para khalifah dan amir mereka, sebanding dengan shalawat kepada Nabi shallallahu alaih wa sallam. Jika telah sampai kepadamu suratku ini, perintahkan kepada mereka untuk menjadikan shalawat kepada para Nabi saja, dan mendoakan kaum muslimin secara umum dan mendoakan selain itu memiki atsar yang baik.”
Pandangan Imam Nawawi dan Ibnu Katsir menjadi pilihan pendapat Ibnu Qayim rahimahumullah ta’ala.”
(Mu’jam Al-Manahi Al-Lafziah, 349-350)
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Bershalawat kepada selain para nabi secara tersendiri bukan mengikuti, diperdebatkan para ulama, apakah dibolehkan atau tidak? Yang benar adalah dibolehkan, yaitu ketika menyebutkan nama seseorang boleh mengatakan ‘shallallahu alaih’. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عليهم
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.” (SQ. At-Taubah: 103)
Maka nabi shallallahu alaihi wa sallam apabila ada orang yang datang untuk membayar zakat mengucapkan demikian. Sebagaimana ketika kelaurga Abu Aufa datang membayar zakat, beliau mengatakan,
اللهم صلِّ على آل أبي أوفى
“Semoga Allah memberikan shalawat kepada keluarga Abu Aufa.”
Kecuali jika hal ini telah menjadi syiar bagi orang tertentu yang apabila disebut namanya, maka dikatakan ‘shallallahu alaih’. Hal ini tidak boleh kepada selain para nabi.”
(Fatawa Nurun Alad-Darbi, Ibnu Utsaimin, 11/13. Lihat Fatawa Al-Lajnah Daimah, 4/396-397)
Kedua:
Mengkhususkan orang tertentu untuk menyampaikan salam, seperti mengucapkan ‘alaihissalam’ tanpa menyebut shalawat, juga diperselisihkan pendapatnya.
Ibnu Qayim rahimahullah berkata tentang masalah ‘salam’ ini, “Kemudian mereka berbeda pendapat tentang ‘salam’, apakah kedudukannya seperti shalawat, sehingga dianggap makruh mengucapkan ‘assalamu ala fulan..’ atau mengatakan, ‘fulan alaihissalam’? Sebagian ulama menyatakan makruh hal itu, di antara mereka ada Abu Muhammad Al-Juwaini. Dilarang saat menyebutkan Ali menyebutkan ‘alaihissalam’. Adapun sebagian ulama lainnya membedakan antara salam dan shalawat. Mereka berkata, “Salam disyariatkan kepada setiap muslim, baik hidup atau mati, ada atau tidak. Maka anda boleh mengatakan, “Sampaikan salam kepada fulan dariku.” Ini merupakan salam kaum muslimin. Berbeda dengan shalawat, karena dia merupakan hak para rasul. Karena itu orang yang shalat mengatakan,
السلام علينا وعلى عباد الله الصالحين
Tapi tidak mengatakan,
الصلاة علينا وعلى عباد الله الصالحين ؛
Maka dengan demikian, perbedaannya dapat diketahui.”
(Jalaa’ul Afhaam, no. 639)
Yang kuat adalah bahwa mengkhususkan seorang shahabat dengan mengatakan ‘alaihissalam’ lebih ringan dari mengkhususkannya dengan shalawat. Karena itu, hal ini terdapat dalam kitab-kitab para ulama, baik dari para pengarang, dan lebih popular lagi di kalangan para penyalin tulisan.
Imam Bukhari rahimahullah berkata dalam Shahihnya (5/20), “Bab manaqib (catatan kebaikan) kerabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Manqobah Fatimah alaihassalam, puteri Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Fatimah adalah pemimpin para wanita penghuni surga.”
Juga tertera dalam shahih Bukhari, “Sesungguhnya Ali alaihissalam berkata, dahulu aku memiliki seekor onta dari mertuaku hasil dari rampasan perang yang nabi shallallahu alaih wa sallam berikan kepadaku dari jatah khumus (seperlima). Ketika aku hendak menikahi Fatimah puteri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan aku persiapkan walimah...”
Terdapat sebutan ‘assalam’ saat menyebut Fatimah, Ali, Hasan dan Husain juga radhiallahu anhum jamiian dalam beberapa teks dalam shahih Bukhari dan lainnya. Meskipun masalah ini perlu diteliti lagi apakah redaksi ‘assalam’ berasal dari sumber nashnya langsung, ataukah dia tambahan dari para penyalin, sebagaimana disebutkan oleh oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam ucapannya yang tadi telah kami kutip.
Kesimpulannya, tidak mengapa jika mengatakan terhadap Fatimah radhiallahu anha atau para shahabat lainnya; Alaihimussalam, dengan catatan hal itu bukan merupakan syiar ahli bid’ah, khususnya di tempat dan masa munculnya bid’ah tersebut, juga tidak diyakini bahwa hal tersebut tidak berlaku bagi orang yang sejajar dengan orang itu atau yang lebih utama darinya.
Wallahu a’lam.
Perhatikan jawaban soal no.105474 .