Alhamdulillah.
Tidak diragukan lagi apa yang dilakukan seseorang terhadap saudari-saudarinya dengan membantu finansial perkawinan mereka termasuk perbuatan kebaikan dan ketaatan yang diberi pahala atasnya. Apa yang dia lakukan ini ada dua kemungkinan.
Pertama:
Apa yang dilakukannya termasuk kebaikan dan bantuan untuk orang tuanya dalam membiayai perkawinan saudari-saudarinya. Atau dari sisi kebaikan dan menyambung silaturrahim untuk saudari-saudarinya. Dalam kondisi seperti ini, seorang anak tidak dihalalkan meminta kepada orang tua atau saudari-saudarinya apapun sebagai pengganti dari apa yang telah diberikannya. Baik langsung dari harta orang tua atau dari harta warisan setelah meninggal dunia. Karena apa yang dia lakukan itu berupa kebaakan dan pemberian, bukan bermaksud mendapatkan pengganti. Telah diriwayatkan Bukhari, no. 2589 dan Muslim, no. 1622, dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, Nabi sallalahu alaihi wa sallam bersabda:
الْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَقِيءُ ثُمَّ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ
“Orang yang mengambil pemberiannya seperti anjing yang muntah kemudian menelan muntahannya.”
Begitu juga orang tua tidak perlu menghitung apapun dari pemberian untuk hal itu. Karena seorang anak melakukan hal itu dengan niat membantu. Jadi tidak boleh dilebihkan dalam pemberian dibandingkan dengan saudari-saudari lainnya.
-Ibnu Qudama rahimahullah mengatakan, “Seseorang diharuskan bersikap sama di antara anak-anaknya dalam pemberian, tidak mengkhususkan salah seorang di antara ----mereka dalam arti dibolehkan melebihkannya. Kalau dia mengkhususkan pemberian kepada sebagiannya, atau melebihkan di antara mereka, maka dia berdosa. Maka dia harus menyamakan dengan salah satu perkara, baik dengan mengembalikan apa yang dilebihkan kepada sebagian atau menyempurnakan bagian lainnya. Ath-Thawus mengatakan, “Tidak dibolehkan hal itu, meskipun hanya roti bakar.” Dan ini pendapat Ibnu Mubarok diriwayatkan semaknanya dari Mujahid dan Urwah.” (Dari kitab Al-Mughni, 5/387)
Ulama yang tergabung dalamLajnah Daimah, 16/207 ditanya, “Saya takut kepada Allah dan saya yakin kematian itu pasti datang. Akan tetapi ibuku memiliki rumah kecil, saya membangunnya dari awal lagi. Saya mempunyai saudara yang tidak ada kontribusi sama sekali. Akan tetapi dia sering sekali marah kepada ibu bapakku dan berinteraksi sangat buruk sepanjang hidupnya sampai sekarang. Dia sekarang hidup di luar rumah sehingga ibuku marah dan memutuskan menulis rumah ini untukku. Saya memberi masukan berkali kali, akan tetapi beliau bersikeras menuliskan untukku. Sekarang saya bertanya, apakah ibuku mendapatkan dosa dengan menuliskan rumah untukku dan menghalangi saudaraku (untuk mendapatkan bagian darinya)? Apakah saya berdosa jika saya menerima hal itu dari ibuku?
Mereka menjawab, “Kalau kondisinya seperti yang disebutkan, maka ibunda anda tidak dibolehkan memberikan kepada anda rumah tanpa (menyertakan) saudara anda. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam:
اتقوا الله واعدلوا بين أولادكم
“Bertakwahlah kepada Allah dan berbuat adillah diantara anak-anak kalian semua.”
Banyak hadits semakna itu. Kalau dia melakukan seperti yang disebutkan, maka dia berdosa, anda juga berdosa jika anda menerima hal itu. Sebab itu termasuk kerja sama dalam dosa dan permusuhan. Allah telah melarang hal itu dalam firman-Nya:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah: 2)
Seharusnya anda mengembalikan pemberian atau anda berikan anaknya yang kedua secara adil. Jika melihat beliau tetap bersikeras tidak boleh menyertakan bersama anda, tidak mengapa anda menerima pemberian dan anda berikan kepada saudara anda separuhnya untuk melepas tanggungan anda, jika ibu anda tidak mempunyai anak kecuali anda berdua saja.” (Lajnah Daimah Lil Bukhuts Ilmiyah Wal Ifta)
Ketua: Abdul Aziz bib Abdullah bin Baz. Wakil ketua Abdurrazaq Afifi. Anggota, Abdullah Qoud.
Bentuk Kedua:
Orang ini memberikan nafkah kepada mereka (saudari-saudarinya) dengan niat agar dikembalikan. Maka orang tua memberikannya dari hartanya. Atau mewasiatkan kepadanya sesuai kadar dana yang diinfakkan. Meskipun saudara lainnya tidak diberi setara itu. Meskipun saudara lainnya tidak rela dengan pemberian ini, karena pemberian ayah dalam kondisi seperti ini bukan termasuk hibah. Juga bukan melebihkan (pemberian) saja. Akan tetapi salah satu bentuk pelunasan hutang. Dan membayar orang yang membantu sesuai kadar haknya.
Para ulama dalam Lajnah Daimah, (16/205) ditanya, “Saya mempunyai orang tua berumur sekitar 75 tahunan yang masih hidup. Beliau mempunyai rumah dari tanah yang sudah lama, lokasinya strategis. Saya hancurkan rumah lalu membangun kembali yang baru dengan biaya dariku. Lalu saya sewakan rumah ini dan hasilnya untuk bayar kredit saya kepada sebagian orang yang menagih hutang dariku. Perlu diketahui, bahwa saya tidak meminjam dari BPR. Orang tua saya ingin menyerahkan rumah ini kepada salah satu anak saya yang paling kecil berumur 7 tahun. Orang tuaku selain diriku juga mempunyai 5 anak perempuan. Salah satunya kakakku lebih tua dari diriku, sisanya lebih kecil dan saya yang merawat ibu bapakku tidak kurang selama 15 tahun.”
Mereka menjawab, “Setelah diperhatikan apa yang anda sebutkan bahwa anak anda yang akan mendapati rumah dari ayah anda, dan dia sekarang belum membutuhkan. Dan anda menjanjikan kepada ayah anda –kalau rumah akan diberikan kepada anak anda- bahwa anda akan membangunkan rumah untuk saudara-saudara anda sebagai ganti darinya kepemilikan anda. Bahwa anda mempunyai 5 saudari perempuan yang sudah menikah. Karena anda telah membangun rumah ayah anda yang diniatkan untuk diberikan kepada anak anda dengan nafkah dari anda. Hal ini menunjukkan bahwa maksud pemberian rumah kepada anda dan mengkhususkan untuk anda tanpa saudara-saudara lainnya. Anak anda dalam pemberian itu dinamakan ‘hilah ‘alal haif’ (siasat dalam penipuan) oleh karena itu, tidak dibolehan ayah anda memberikan rumah kepada anak anda. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam:
اتقوا الله واعدلوا بين أولادكم
“Bertakwahlah kepada Allah dan berbuat adillah diantara anak-anak kalian semua.”
Adapun apa yang anda sebutkan bahwa nafkah anda terhadap rumah ayah anda, kalau hal itu disumbangkan keputusan dari diri anda waktu menginfakkan, maka Allah akan memberikan pahala kepada anda dan anda tidak dibolehkan mengambl dari ayah anda. Jika anda memberikan harta dengan niat mengambil kembali, itu hak anda. Yang lebih utama agar anda jangan perhitungan dengan ayah anda dan jangan merasa kebanyakan pemberian kepadanya. Pahala anda di sisi Allah –subhanahu wata’ala- lebih banyak dari yang anda perkirakan, jika anda jujur bersama Allah subhanahu wata’ala. Wabillahit taufik. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para shahabatnya.
Lajnah Daimah Lil Bukhuts Wal Ifta’.
Ketua, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. Wakil ketua, Abdurrazzaq Afifi. Anggota, Abdullah Qa’ud.
Wallahu a’lam.