Kamis 20 Jumadil Ula 1446 - 21 November 2024
Indonesian

Apa Sajakah Hewan yang Suci dan Hewan yang Najis ?

Pertanyaan

Apa sajakah hewan yang suci dan hewan yang najis ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Sesuai dengan ketetapan syariat, bahwasanya hukum asal dari segala sesuatu dan segala yang diciptakan (makhluk) adalah suci. Sesuatu tidak dihukumi najis, melainkan ada dalil syar’i yang menunjukkan kenajisannya. Ada berbagai macam dan jenis hewan. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya dari segi kesucian atau kenajisannya. Bisa dijelaskan secara global dalam keterangan berikut ini.

  1. Setiap hewan yang halal dimakan dagingnya adalah suci, sesuai dengan ijma’ para ulama.

Ibnu Hazm mengatakan, “Semua hewan yang halal dimakan dagingnya, maka tidak ada perbedaan bahwa ia suci. Allah Ta’ala berfirman,

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ

“…menghalalkan segala yang baik bagi mereka, mengharamkan segala yang buruk bagi mereka.” (QS. Al-A’raf : 157), setiap yang halal adalah baik dan setiap yang baik tidaklah najis, akan tetapi suci.” (Al-Muhalla, 1/129).

Ibnu Al-Mundzir mengatakan, “Ulama ijma’; tidak ada perbedaan di antara mereka, bahwasanya bekas minum hewan yang halal dimakan dagingnya suci, boleh diminum dan digunakan bersuci.” (Al-Ausath, 1/299). 

Su’run adalah bekas minum. Lihat Tahdzibul Asma’ wal Lughat, 3/132.

  1. Setiap hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir adalah suci, di antaranya lalat, belalang, semut, kalajengking, kecoa, kumbang, laba-laba. Semua hewan ini tidak memiliki darah yang mengalir.

Dalil yang menunjukkan kesuciannya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,

إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ ، فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ، ثُمَّ لِيَطْرَحْهُ ، فَإِنَّ فِي أَحَدِ جَنَاحَيْهِ شِفَاءً ، وَفِي الْآخَرِ دَاءً رواه البخاري5782

Apabila lalat jatuh di bejana salah satu di antara kalian, maka celupkanlah karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap lainnya terdapat obat penawarnya.(HR. Al-Bukhari, no. 5782).

Seandainya najis, beliau tidak akan menyuruh untuk menyelupkan ke dalam bejana.

Ibnu Al-Qayyim mengatakan, “Hadits ini adalah dalil yang jelas sekali petunjuknya bahwa apabila lalat mati di dalam air, maka tidak membuat airnya najis. Pendapat ini yang dianut oleh jumhur ulama, dan tidak diketahui di kalangan ulama salaf yang berbeda tentang masalah ini.  

Segi Istidlalnya adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh menyelupkan ke dalam makanan, sedangkan diketahui bahwa lalat itu mati sebab terjatuh ke dalam makanan, apalagi jika makanan tersebut panas. Seandainya lalat itu membuatnya najis, niscaya beliau menyuruh untuk menganggap makanan itu telah rusak, padahal beliau menyuruh untuk menganggap makanan itu bagus. Kemudian hukum ini diterapkan pada segala hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir, seperti lebah, tawon, laba-laba dan semisalnya.” (Zadul Ma’ad, 4/101).

  1. Hewan yang berbaur dengan manusia dan mereka sulit menghindarinya hukumnya suci, meskipun hewan tersebut tidak halal dimakan dagingnya atau termasuk hewan buas. Di antaranya kucing, keledai, baghal (hewan peranakan kuda dan keledai), tikus, dan semisalnya yang termasuk hewan-hewan yang menghuni rumah manusia. 

Hal itu ditunjukkan oleh hadits,

كَبْشَةَ بِنْتِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ وَكَانَتْ عِنْدَ ابْنِ أَبِي قَتَادَةَ : " أَنَّ أَبَا قَتَادَةَ دَخَلَ عَلَيْهَا .قَالَتْ : فَسَكَبْتُ لَهُ وَضُوءًا ، فَجَاءَتْ هِرَّةٌ تَشْرَبُ ، فَأَصْغَى لَهَا الْإِنَاءَ حَتَّى شَرِبَتْ .قَالَتْ كَبْشَةُ : فَرَآنِي أَنْظُرُ إِلَيْهِ .فَقَالَ : أَتَعْجَبِينَ يَا بِنْتَ أَخِي؟ .فَقُلْتُ : نَعَمْ .قَالَ : إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ( إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ ، إِنَّمَا هِيَ مِنْ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ وْالطَّوَّافَاتِ ) . رواه أصحاب السنن الأربعة ، وصححه البخاري والترمذي والعقيلي والدارقطني .

Diriwayatkan dari Kabsyah binti Ka’ab bin Malik (dan waktu itu ia masih menjadi istri putra Abu Qatadah) bahwasanya Abu Qatadah pernah masuk menemuinya. Ia (Kabsyah) berkata, “Aku menuangkan air wudhu untuknya. Lalu datanglah seekor kucing meminum air wudhu. Maka Abu Qatadah memiringkan bejana tersebut agar kucing itu bisa minum dengan leluasa.” Kabsyah berkata, “Abu Qatadah melihatku yang tengah memperhatikan dengan penuh keheranan.” Lalu ia bertanya, ‘Apakah kamu heran wahai anak saudaraku?’ Aku menjawab, “Ya, benar.” Ia berkata lagi, ‘Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda, ‘Kucing tidaklah najis. Ia hanyalah hewan yang seringkali berkeliaran dan mengelilingi (berada di dekat) kalian.’” (HR. Ashhabus Sunan, dishahihkan oleh Al-Bukhari, At-Tirmidzi, Al-Uqaili dan Ad-Daruquthni).  

“Makna At-Thawwafin ‘Alaina adalah yang memasuki dan berbaur dengan kita.” (At-Tamhid, 1/319). “At-Thawwafun adalah anak Adam. Mereka menemui sebagian yang lain berulang-ulang. Sedangkan At-Thawwafat adalah hewan yang sering berada di sekitar manusia, seperti kambing, sapi dan unta. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadikan kucing termasuk ke dalam dua golongan, karena ia sering berkeliling dan bercampur dengan manusia. Hal itu ditunjukkan dengan Shigat (bentuk) Taf’il (تفعيل) yang menunjukkan makna Taktsir (sering, banyak) dan Mubalaghah (berlebihan).” (Syarah Abu Daud, karya Al-Aini, 1/220).

“Beliau menunjukkan bahwa Illat (alasan) hukum tidak najis bagi kucing adalah keliaran yang ditimbulkan dari seringnya dia berkeliling di rumah, masuk ke rumah, yang sangat menyulitkan untuk menjaga bejana-bejana dari kucing itu. Maknanya adalah kucing berkeliling pada kalian di rumah dan tempat tinggal kalian. Kalian mengusap-usapnya dengan badan dan pakaian kalian. Kalau seandainya ia najis, pasti aku akan menyuruh kalian untuk menjauhinya.” (‘Aunul Ma’bud, 1/141).

Ibnu Al-Qayyim mengatakan, “Hikmah dan maslahat yang dibawa oleh syariat tentang masalah itu sangatlah luar biasa. Sesungguhnya seandainya syariat menyatakan kenajisan keduanya (At-Thawwafun dan At-Thawwafat), niscaya terjadi kesulitan dan kesempitan pada umat Islam, karena keduanya banyak berkeliling pada manusia siang dan malam, pada tempat tidur, pakaian dan makanan mereka.” (I’lamul Muwaqqi’in, 2/172).

Pendapat yang menyatakan bahwa kucing itu suci adalah pendapat para fuqaha kota besar dari kalangan penduduk Madinah, penduduk Kufah, penduduk Syam, dan seluruh penduduk Hijaz, Iraq, dan para ahli hadits.” (Al-Ausath, karya Ibnu Al-Mundzir, 1/276). 

Apabila kucing itu minum dari suatu bejana atau makan makanan, maka tidak membuatnya najis.

Diqiyaskan pada kucing adalah hewan lainnya yang tinggal di rumah yang sama kondisinya dengan kucing.

Semua hewan yang sering mengelilingi manusia, yang sulit untuk menghindarinya, maka hukumnya sama dengan kucing, akan tetapi dikecualikan dari hukum ini hewan-hewan yang dikecualikan oleh syariat, seperti anjing. Anjing juga hewan yang sering mengelilingi manusia, namun anjing hukumnya najis.

Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Teks hadits menyatakan bahwa sucinya kucing karena alasan sulit untuk dihindari, karena ia termasuk hewan yang mengelilingi kita. Ia bolak-balik menemui kita. Seandainya kucing najis, pastilah akan menyulitkan manusia.

Atas dasar inilah manath (alasan) hukumnya adalah berkeliling yang menyebabkan kesulitan untuk menghindarinya. Semua yang sulit untuk menghindarinya, maka hukumnya suci.

Atas dasar inilah, maka baghal dan keledai itu suci. Inilah pendapat yang kuat, yang dipilih oleh banyak ulama.” (As-Syarhul Mumti’, 1/444).

Pendapat ulama yang benar adalah menyamakan keledai dan baghal dengan kucing mengenai kesucian bekas dan keringatnya. Inilah pendapat madzhab Maliki dan Syafii, karena illat yang sudah disebutkan, dan juga karena kebutuhan manusia pada kedua binatang ini untuk ditunggangi dan dijadikan alat angkut.

Ibnu Qudamah mengatakan, “Pendapat yang benar menurut saya, baghal dan keledai itu suci, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menungganginya, ditunggangi pada zaman beliau dan zaman para sahabat. Kalau seandainya najis, pastilah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan masalah itu, dan karena keduanya tidak mungkin dihindari oleh para pemiliknya. Maka ia mirip dengan kucing.” Al-Mughni, 1/68).

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di mengatakan, “Pendapat yang benar, yang tidak ada keraguan di dalamnya adalah baghal dan keledai itu suci dalam kehidupan, seperti kucing. Maka, air liur dan keringatnya suci. Hal itu karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sering mengendarainya dan dikendarai pada zaman beliau. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda mengenai kucing, Ia hanyalah hewan yang seringkali berkeliaran dan mengelilingi (berada di dekat) kalian.” Illat (alasan)nya adalah sering berkeliling pada manusia dan sulit untuk menghindarinya. Seperti diketahui bahwa kesulitan pada keledai dan baghal lebih berat dari kucing.” (Al-Mukhtarat Al-Jaliyyah, hal. 27).

  1. Anjing dan babi najis.

Dalil yang menunjukkan kenajisan babi adalah firman Allah Ta’ala,

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ

“Katakanlah, ‘Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali (daging) hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi karena ia najis….” (QS. Al-An’am : 145).

Pendapat yang menyatakan kenajisan babi adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan salaf dan khalaf.

Ibnu Hazm mengatakan, “Mereka (para ulama) sepakat bahwa babi, gajih, lemak, otak dan uratnya semuanya haram, dan semuanya najis.” (Maratibul Ijma’, hal. 23).

An-Nawawi mengatakan, “Ibnu Al-Mundzir mengutip ijma para ulama atas kenajisan babi. Ijma’ ini merupakan dalil paling utama yang digunakan untuk berargumen jika seandainya terjadi ijma’. Akan tetapi madzhab Malik menyatakan sucinya babi selagi babi itu masih hidup.” (Al-Majmu’, 2/568).

Sedangkan kenajisan anjing ditunjukkan oleh sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,

طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ : أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ ، أُولاهُنَّ بِالتُّرَابِ رواه مسلم (279) .

“Sucinya bejana salah seorang dari kalian apabila dijilat oleh anjing adalah dibasuh sebanyak tujuh kali, dan salah satunya dengan debu.” (HR. Muslim, no. 279).

Al-Khathabi mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat pemahaman bahwa anjing itu najis dzatnya. Seandainya tidak najis, niscaya perintah beliau untuk mensucikan bejana dari jilatan anjing tidak memiliki makna. Sedangkan kesucian pada dasarnya terjadi kadang dengan dihilangkan hadatsnya atau dihilangkan najisnya. Sementara bejana tidak berlaku hukum hadats. Maka dapat diketahui bahwa yang beliau maksud adalah menghilangkan najis.

Apabila ditetapkan bahwa lidah yang digunakan untuk meminum air itu najis dan bejana itu harus disucikan darinya, maka dipahami bahwa seluruh anggota tubuh anjing itu najis, sama kedudukannya dengan lidahnya. Dengan bagian tubuh manapun anjing itu menyentuh, maka wajiblah disucikan.” (Ma’alimus Sunan, 1/39).

Sebagian ulama berpendapat bahwasanya hadits menunjukkan yang najis adalah air liur, ludah dan mulut anjing saja. Sementara badannya yang lain tetap suci. Inilah pendapat (madzhab) Hanafi dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 21/530.

Ibnu Daqiq Al-‘Id Rahimahullah menyatakan dengan jelas bahwasanya menghukumi najis pada seluruh tubuh anjing adalah ijtihad dari para ulama dan bukanlah nash (pernyataan) Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kemudian Ibnu Daqiq Al-‘Id mengatakan, “Jelaslah bahwa hadits ini tidak lain hanyalah menunjukkan najisnya anjing hanya terkait dengan mulut saja. Kenajisan anggota tubuh anjing lainnya diperoleh dari Istinbath. (Ihkamul Ahkam, hal. 24).

Pendapat yang menyatakan najisnya anjing adalah pendapat madzhab Syafi’i dan Madzhab Hambali.

Ibnu Qudamah mengatakan, “Anjing dan babi adalah najis dengan semua bagian tubuhnya, kotorannya dan apa-apa yang terpisah darinya.” (Al-Mughni, 2/67). Pendapat inilah yang dipilih oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta’. Dalam fatwa Al-Lajnah (23/89) disebutkan, “Anjing adalah najis, air liur dan lainnya.”

  1. Sisa-sisa dari hewan yang tidak termasuk pada bagian-bagian sebelumnya, baik hewan buas seperti singa, harimau, macan tutul dan srigala atau burung-burung buas seperti elang, rajawali dan semisalnya, atau binatang buas yang tidak halal dimakan dagingnya seperti gajah, monyet, inilah yang menjadi titik perbedaan pendapat di antara ulama.

Madzhab Maliki menyatakan bahwa semua hewan ini suci ketika masih hidup, dan tidak ada pengecualian apapun tentang masalah ini.

Madzhab Hanafi menyatakan bahwa semua hewan suci, kecuali babi.

Madzhab Syafi’i menyatakan bahwa semua hewan suci, kecuali anjing dan babi.

Madzhab Hambali menyatakan bahwa anjing, babi, dan hewan serta burung yang buas najis, sedangkan selain itu suci.

Telah disebutkan beberapa dalil berupa yang menunjukkan kenajisan dan kesuciannya, akan tetapi dhaif (lemah) dan tidak sah dijadikan untuk Istidlal.

Dalil yang paling kuat yang menunjukkan kesuciannya adalah berpegang pada asal muasalnya (yaitu suci) serta diqiyaskan pada kucing.   

Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Ketika hadits menetapkan kucing yang merupakan hewan buas dan hewan yang memakan bangkai tidak najis, hal itu menunjukkan bahwa sesungguhnya semua yang hidup tidaklah najis.” (At-Tamhid, 1/336).

Dalil yang paling kuat yang menunjukkan kenajisannya adalah :

  1. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menghukumi suci terhadap kucing padahal ia termasuk hewan buas dan memberikan alasan bahwa kucing termasuk hewan yang sering mengelilingi kita. Dari hal itu bisa dipahami bahwa hewan buas lainnya yang tidak mengelilingi kita sebagai hewan yang najis. Jika tidak demikian pasti kucing dan hewan buas lainnya sama hukumnya. Maka alasan yang dinyatakan tidak memilki makna. 
  2. Hadits Abdullah bin Umar, ia berkata, “Aku mendengar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika beliau ditanya tentang air yang ada di tanah lapang dan sering dikunjungi oleh binatang buas dan hewan hewan lainnya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, ‘Apabila air itu mencapai dua Qullah, maka tidak akan mengandung kotoran (najis).’”

Seandainya binatang buas minum dari situ kemudian membuatnya najis, mereka tidak perlu bertanya kepada beliau tentang masalah ini, dan jawaban beliau kepada mereka tidak memiliki makna. Ibnu At-Turkumani mengatakan, “Teks hadits ini menunjukkan kenajisan bekas minum binatang buas. Kalau seandainya tidak najis, niscaya syarat ini (apabila air itu mencapai dua Qullah) tidak memiliki manfaat dan batasan tersebut sia-sia saja.” (Al-Jauhar An-Naqi, 1/250).

An-Nawawi mengatakan, “Hadits ini dijadikan sebagai dalil bagi orang yang mengatakan bahwa air bekas minum binatang buas itu najis, berdasarkan sabda Rasulullah, ‘...dan sering dikunjungi oleh binatang buas dan hewan hewan lainnya,’ sedangkan petunjuk ke arah itu tidak ada di dalamnya, karena hewan buas jika mendatangi air di anak sungai, maka ia akan menceburkan diri dan kencing di dalamnya, padahal secara umum anggota tubuhnya tidak terlepas dari najis, kemudian mereka menanyakan masalah itu kepada beliau. Beliau menjawab pertanyaan mereka sebagai sebuah kaidah umum, “Sesungguhnya apabila air mencapai dua Qullah, maka tidak menjadi najis dengan jatuhnya najis ke dalamnya. Air yang berada di alam liar atau di anak sungai umumnya tidak kurang dari dua Qullah.” (Al-Ijaz fi Syarhi Sunan Abi Daud, hal. 287).  

Ubaidillah Al-Mubarakfuri juga mengatakan, “Hadits tentang dua Qullah tidak menunjukkan najisnya bekas minum binatang buas, seperti dugaan mereka, karena asal dari pertanyaan adalah biasanya jika binatang buas mendatangi air, ia akan menceburkan diri dan kencing di air, dan mungkin anggota tubuhnya tidak lepas dari kotoran air kencingnya dan kotorannya.” (Mir’atul Mafatih, 2/185).

Para ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta’ memilih pendapat yang menyatakan suci. Mereka mengatakan, “Pendapat yang kuat adalah binatang buas seperti srigala, harimau, singa dan burung-burung buas seperti elang dan rajawali itu suci. Inilah yang sesuai dengan dalil-dalil syariat.” (Fatawal Lajnah Ad-Da’imah, 5/380 dibawah pimpinan Syaikh Bin Baz).

Begitu pula dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin. Beliau mengatakan, “Pendapat yang benar adalah suci, karena seandainya kita katakan najis, maka akan menyebabkan kesulitan pada manusia. Sesungguhnya ada anak sungai (genangan air) di daratan ini yang kurang dari dua Qullah. Dan tidak ragu lagi bahwa binatang buas dan burung-burung sering mendatangi genangan air ini. Jika kita katakana najis, hal ini menjadikan kesulitan bagi manusia. Sedangkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam -sesuai yang kami pahami -melewati sumber air ini dan berwudhu dengan airnya.” (At-Ta’liqat ‘Alal Kafi, 1/41).

Kesimpulan dari semua pembahasan tersebut, semua hewan dalam keadaan masih hidup adalah suci, baik hewan tersebut halal dimakan dagingnya, binatang buas, serangga dan lain sebagainya. Tidak ada hewan yang dikecualikan dari hewan-hewan tersebut, kecuali anjing dan babi. Keduanya (anjing dan babi) najis.

Wallahu A’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam