Alhamdulillah.
Pertama;
Onani itu diharamkan dengan dalil Qur’an dan sunnah. Maka seorang lelaki dan wanita tidak dihalalkan melakukannya. Maka bagi pemuda dan pemudi hendaknya meminta bantuan dengan puasa dan berdoa. Siapa yang mampu menikah, hendaknya dia menikah karena menikah termasuk benteng kuat. Kalau dia tidak mampu, maka hendaknya dia berpuasa karena ia termasuk penjaga dan tameng dari gairah nafsu. Karena berpuasa dapat menyempitkan tempat jalannya syetan. Dan dapat melemahkan nafsu pada tubuh.
Telah ada dalam kitab Ad-Dur Al-Mukhtar Wa Hasyiyah Ibnu Abidin, (4/27),”Onani itu haram, dan dia mendapatkan hukuman. Selesai
Syafi’I rahimahullah dalam kitab ‘Al-Umm, (5/102),”Tidak dihalalkan onani. Selesai
Nawawi rahimahullah dalam ‘Al-Majmu’, (16/421) mengatakan, “Diharamkan onani yaitu mengeluarkan air (mani) dengan tangannya. Dan ini pendapat kebanyakan ahli ilmu. Selesai.
Dan disebutkan semisalnya oleh Mardawi dalam kitab ‘Al-Inshof’ silahkan dilihat, (10/252).
Ibnu Dhowyan dalam kitab ‘Manarus Sabil, (2/383), “Diharamkan onani dengan tangan, baik bagi lelaki maupun perempuan berdasarkan firman Allah ta’ala:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ
“(Dan orang-orang yang terhadap kemaluannya mereka selalu memeliharanya) dari yang diharamkan.” QS. Al-Mukminum: 5
Kemudian disebutkan dalil-dalilnya.
Silahkan melihat jawaban soal no. 329 .
Kedua:
Onani dapat membatalkan puasa kalau keluar mani, sementara kalau tidak keluar mani, maka tidak membatalkan puasanya.
Ibnu Abidin dalam kitab ‘Raddul Mukhtar, (2/399) mengatakan, “Begitu juga onani dengan menahannya. Maksudnya tidak merusak (puasanya) akan tetapi hal ini kalau tidak keluar mani. Kalau keluar, maka dia harus mengqodho’nya. Selesai
Dalam kitab ‘Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, (4/100),”Onani dengan tangan membatalkan puasa menurut Malikiyah, Syafiiyyah dan Hanabilah dan mayoritas Hanfaiyah juga.
Ketiga:
Kalau seseorang beronani, ketika merasa akan keluar mani, dia menahan kemaluannya sehingga tidak keluar apapun darinya. Hal ini ada dua kondisi:
Kondisi pertama: dia menahannya, sehingga tidak keluar meskipun dalam waktu lama. Hal ini tidak perlu mandi menurut mayoritas ulama’, dan puasanya tidak rusak.
Kedua; keluar (maninya) ketika dilepaskan kemaluannya atau setelah itu beberapa saat. Keluarnya ini mengharuskan dia mandi dan merusak puasanya.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Ketika merasa keluarnya mani waktu bernafsu, kemudian dia tahan kemaluannya. Sehingga tidak keluar. Maka tidak perlu mandi menurut yang nampak dari pendapat Al-Khiroqi dan salah satu dari dua riwayat dari Ahmad dan pendapat kebanyakan para ulama fiqih. Kemudian beliau mengatakan dalam menetapkan pendapat ini serta menjawab terhadap yang berbeda dengannya.
Menurut kami, sesungguhnya Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam menggantungkan mandi dengan melihat dan keluarnya. Dalam sabdanya (Kalau dia melihat air) dan (ketika keluar air, maka mandilah). Maka tidak ada ketetapan hukum ketika tidak ada.
Kemudian mengatakan, “Dari sini, kalau keluar mani setelah itu, maka diharuskan mandi. Baik dia telah mandi sebelum keluarnya (mani) atau belum mandi. Karena mani keluar dengan syahwat. Maka diharuskan mandi sebagaimana ketika keluar dalam kondisi berpindah (tempat).
Imam Ahmad rahimahullah mengatakan terkait dengan permasalahan seseorang yang berhubungan badan tapi tidak sampai keluar (mani). Kemudian setelah itu mandi. Kemudian setelah itu keluar mani, Maka dia harus mandi lagi. Dan beliau ditanya tentang seseorang bermimpi dalam tidurnya dia bersenggama kemudian dia bangun. Dan tidak mendapatkan sesuatu, ketika dia berjalan keluar maninya. Beliau menjawab, ”Dia harus mandi. Selesai dari ‘Al-Mugni, (1/128 – 129)
Silahkan melihat jawaban soal no. 40126 .
Kesimpulan akan hal itu adalah bahwa mani kalau tidak keluar waktu onani, karena dipengang kemaluannya, kemudian setelah itu keluar (maninya) bersamaan dengan kencing atau dengan lainnya, maka puasanya rusak dan dia harus mengqodho’nya.
Wallahua’lam