Kamis 20 Jumadil Ula 1446 - 21 November 2024
Indonesian

Apakah Membatalkan Sumpah ?

Pertanyaan

Seseorang bersumpah tidak melakukan sesuatu, akan tetapi dia ingin mencabut sumpahnya. Apa yang harus dilakukan? Apakah harus membayar kafarat (tebusan) sumpah?

Alhamdulillah.

Pertama:

  • Hukum membatalkan sumpah

Siapa yang bersumpah dan ingin membatalkannya, hal itu dibolehkan selagi pembatalannya tidak menyebabkan sesuatu yang diharamkan. Dan karena itu dia diharuskan membayar tebusan sumpah (kafarat).

Diriwayatkan oleh Bukhari, (6718) dan Muslim, (1649) dari Abu Musa Al-Asy’ari, dia berkata, Rasulullah sallallahu’alai wa sallam bersabda:

إِنِّي وَاللَّهِ - إِنْ شَاءَ اللَّهُ - لاَ أَحْلِفُ عَلَى يَمِينٍ، فَأَرَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا، إِلَّا كَفَّرْتُ عَنْ يَمِينِي، وَأَتَيْتُ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ 

“Sesungguhnya saya Demi Allah –Insya Allah- jika aku bersumpah kemudian aku melihat selainnya lebih baik darinya, maka aku batalkan sumpah dan bayar kafarat lalu aku  melakukan yang aku nilai lebih baik.”

Diriwaytkan Bukhori, (6622) dan Muslim, (1652) dari Abdurrahman bin Samurah berkata, Rasulullah sallallahua alaihi wa sallam bersabda:

 يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لاَ تَسْأَلِ الإِمَارَةَ، فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا، وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا، وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ، فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا، فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ

“Wahai Abdurrahman bin Samurah, jangan meminta kekuasaan. Karena kalau anda diberikan dari suatu permintaan, maka anda akan dibiarkan. Kalau anda diberikan tanpa memintanya, maka anda akan dibantu. Jika anda bersumpah, kemudian anda melihat yang lainnya itu lebih baik drinya, maka tebuslah sumpah anda (batalkan sumpahnya) dan lakukan yang lebih baik itu.”

Diriwaytkan Muslim, (1650) dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ، فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا، فَلْيَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ، وَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ 

“Siapa yang bersumpa dengan sesuatu, kemudian melihat yang lainnya itu lebih baik darinya, maka lakukan yang lebih baik itu dan tebuslah dari sumpahnya.”

An-Nawawi rahimahullah mengatakan dalam kitab ‘Syarh Muslim, (11/108), “Dalam hadits ini menunjukkan bahwa siapa yang bersumpah melakukan sesuatu atau meninggalkannya dan kalau dia membatalkan (sumahnya) itu lebih baik daripada melakukan sumpahnya. Maka dianjurkan untuk membatalkan sumpahnya dan dia harus menebus sumpahnya. Hal ini telah disepakati.

Kemudian beliau menyebutkan perbedaan, manakah yang lebih dahulu dilakukan apakah menebus (sumpah) atau membatalkan (sumpahnya), maka beliau mengatakan, “Mereka sepakat bahwa tidak wajib menebus sumpah sebelum dilanggarnya. Dan dibolehkan menunda tebusan setelah membatalkannya. Tapi tebusan tidak boleh lebih dahulu dari sumpah itu sendiri.

Mereka berbeda pendapat apakah dibolehkan membayar kafarat setelah bersumpah dan sebelum dibatalkan?

Malik, Al-Auza’I, At-Tsauri, Syafi’I dan empat belas shahabat, serta sekelompok dari kalangan tabiin membolehkannya dan ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, akan tetapi mereka mengatakan, “Dianjurkan (menebus sumpah) setelah melanggarnya. Adapun Syafi’i mengecualikan menebus dengan puasa, seraya mengatakan, “Tidak dibolehkan sebelum melanggar. Karena dia termasuk ibadah terkait dengan badan, maka tidak dibolehkan pelaksanaannya mendahului waktunya. Seperti shalat dan puasa di bulan Ramadhan. Adapun menebus (sumpah) dengan harta, dibolehkan mendahuluinya sebagaimana diperbolehknya mempercepat  zakat.”

Sebagian rekan-rekan kami mengecualikan kalau melanggar dalam kemaksiatan seraya mengatakan, “Tidak dibolehkan mendahulukan tebusan (sumpah), karena di dalamnya termasuk membantu kemaksiatan, Adapun jumhur memperbolehkannya dan menerimanya seperti selain dari kemaksiatan.

Abu Hanifah dan rekan-rekannya dan Asyhab Al-Maliki mengatakan, “Tidak dibolehkan mendahulukan tebusan sebelum melanggarnya dalam kondisi apapun.”

Dalilnya jumhur adalah tekstual dari hadits-hadits ini serta analogi (qiyas) atas (diperbolehkannya) menyegerakan zakat.

Kedua:

  • Kalau membatalkan sumpah berdampak melakukan kemaksiatan

Kalau  membatalkan sumpahnya terjerumus melakukan kemaksiatan, maka tidak dibolehkan membatalkan sumpahnya. Misalnya jika dia bersumpah, saya tidak akan berzina atau saya tidak akan minum khomr, maka harus ditunaikan dan diharamkan membatalkannya.

Qodhi Iyyad dalam kitab ‘Ikmalul Mu’allim, (5/408) mengatakan, “Arti ungkapan (Saya melihat yang lainnya lebih baik darinya) adalah sumpahnya, baik melakukan atau meninggalkan suatu dapat mendatangkan kebaikan dunia atau akhiratnya atau lebih sesuai dengan selera dan keinginannya, selagi bukan suatu dosa.”

Maka melanggar atau kembali dari sumpahnya terkadang diharamkan, seperti pada contoh tadi, terkadang melanggar (sumpahnya) itu merupakan suatu kewajiban, seperti kalau dia bersumpah tidak shalat, atau tidak mengeluarkan zakat, atau tidak menyambung kerabatnya, maka dia harus batalkan sumpahnya. Terkadang melanggar sumpah itu sunah atau makruh atau mubah sesuai dengan sumpahnya, sehingga masuk di dalamnya lima hukum fikih.

Dalam kitab ‘Al-Iqna’, (4/330) dikatakan, “Sumpah ada yang wajib seperti menyelamatkan orang tak bersalah dari bahaya termasuk atas dirinya. Seperti bersumpah untuk menghadapi tuduhan membunuh terhadap dirinya padahal dia tak bersalah.

Dan ada yang sunah seperti terkait dengan adanya kemaslahatan (kebaikan) untuk mendamaikan d iantara dua orang yang berseteru, atau menghilangkan kedengkian dari hati orang orang yang bersumpah atau untuk menolak kerusakan.

Dan ada yang mubah, seperti bersumpah untuk melakukan suatu amalan mubah atau meninggalkannya. Atau bersumpah atas perbuatan yang dia anggap benar atau dia kira benar.

Dan ada yang makruh, seperti bersumpah melakukan perbuatan makruh atau meninggalkan yang sunah di antaranya bersumpah dalam jual beli.

Dan ada yang diharamkan yaitu bersumpah bohong secara sengaja atau bersumpah melakukan kemaksiatan atau meninggalkan suatu kewajiban.

Kapan saja dia bersumpah untuk melakukan suatu pekerjaan yang wajib atau meninggalkan yang diharamkan, maka membatalkan sumpah diharamkan dan harus ditunaikan.

Kalau bersumpah untuk melakukan pekerjaan yang sunah atau meninggalkan yang makruh, maka membatalkan sumpah  menjadi makruh dan dianjurkan untuk menunaikannya.

Kalau bersumpah malakukan perbuatan makruh atau meninggalkan yang sunah, maka membatalkannya dianjurkan dan makruh menunaikannya.

Kalau (bersumpah) untuk melakukan perbuatan yang diharamkan atau meninggalkan yang wajib, maka membatalkan sumpah diwajibkan dan diharamkan menunaikannya.

Begitu juga membatalan sumpah yang mubah adalah mubah dan menjaganya itu lebih utama.

Adapun kalau maksud penanya menarik sumpah adalah mencabut sumpahnya namun tidak ada akibat apa-apa, tidak ada pembatalan dan tidak harus membayar kafarat, hal ini tidak mungkin. Tidak ada yang mengatakan demikian. Kalau ada seperti itu, pasti Nabi sallallahu’alaihi wa sallam melakukannya dan memberikan arahan agar membatalkan sumpahnya, jika dia melihat yang lainnya lebih baik darinya. Adapun beliau tidak melakukannya, bahkan mengarahkan agar membatalkan sumpahnya, kalau itu lebih baik disertai dengan melakukan kafarat sumpah.

Wallahu a’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam