Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Pada tahun ini, saya dan suami menunaikan ibadah haji. Ketika hendak berangka menuju Muzalifah pegurus travel bertanya kepada seluruh jamaah, siapa yang ingin bermalam di Muzdalifah dan siapa yang tidak. Ketika ada sejumlah orang yang ingin menetap dan bermalam di Muzdalifah, mereka berkata, tunggulah di sini hingga datang bus. Lalu datanglah bus pada pukul sepuluh malam dan kamipun mengendarainya. Bus berjalan sangat lambat, sehingga kami tiba di Muzdalifah jam 7 pagi. Apakah kami harus membayar Dam, karena kami tidak dapat sampai dan bermalam di Muzdalifah serta shalat di sana?
Alhamdulillah.
Pertama:
Mabit di Muzdalifah wajib menurut jumhur ulama, sebagian lagi berpendapat bahwa dia adalah rukun.
Diperselisihkan tentang ukuran wajibnya dalam beberapa pendapat. Mazhab Syaffi dan Hambali berpendapat bahwa keberadaan di Muzdalifah adalah wajib walau sesaat, dengan syarat hal itu dilakukan setelah setengah malam kedua setelah wukuf di Arafah. Tidak disyaratkan menetap, tapi cukup sekedar lewat saja.
Jika kalian telah memasuki batas dalam Muzdalifah walau sesaat antara pertengahan malam terakhir hingga fajar, maka kalian telah melakukan perkara yang wajib.
Jika kalian tidak dapat masuk ke Muzdalifah, karena kepadatan di jalan, maka tidak ada konsekwensi apa-apa bagi kalian, karena kewajiban data gugur dengan adanya uzur.
Firman Allah Taala:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا (سورة البقرة: 286)
Syekh Bin Baz rahimahullah pernah ditanya, “Kami tidak dapat melakukan mabit di Muzdalifah, karena kami tidak mendapatkan tempat kecuali di jalan dan mereka tidak mengizinkan seseorang duduk di jalan, maka kami langsung berangkat ke Mina, apakah ada kewajiban bagi kami?
Beliau menjawa, “Jika dia tidak mendapatkan tempat bermalam di Muzdalifah atau dilarang pihak keamanan turun di sana, maka tidak ada kewajiban apa-apa baginya. Berdasatkan firman Allah Taala,
فاتقوا الله ما استطعتم (سورة التغابن: 16)
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” QS. Tagobun: 16
Namun jika hal itu terjadi karena sikap keteledoran, maka dia harus membayar dam bersama taubat.” (Fatawa Bin Baz, 17/287)
Kedua:
Kalian telah keliru berat ketika kalian tidak melaksanakan shalat pada waktunya. Karena perkara ini diharamkan, bahkan termasuk dosa besar. Allah Taala berfirman,
إن الصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا (سورة النساء:103)
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” QS. An-Nisaa’: 103
Allah Taala berfirman,
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا (سورة مريم: 59)
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan,” QS. Maryam: 59.
Yang disunahkan adalah mengakhrikan shalat Maghrib dan menggabungkannya bersama shalat Isya (jamak) di Muzdalifah. Akan tetapi jika seseorang khawatir keluar waktu Isya sebelum tiba di Muzdalifah, maka wajib baginya shalat di jalan dan dia shalat sesuai kondisinya. Jika dia berjalan kaki, hendaknya dia berhenti untuk shalat, dengan berdiri, ruku dan sujud. Jika dia mengendarai kendaraan dan tidak mungkin duduk, maka dia shalat saat berada di atas kendaraannya, berdasarkan firman Allah Taala,
فاتقوا الله ما استطعتم (سورة التغابن: 16)
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” QS. Tagobun: 16
Siapa yang masih berada di Arafah hingga sekitar pukul sepuluh malam, dan dia mengetahui jalanan sangat macet, maka lebih baik baginya shalat Maghrib dan Isya di Arafah, khususnya jika bersama dia terdapat jamaah wanita sehingga sulit bagi mereka untuk turun menunaikan shalat di tengah jalan.
Maksudnya adalah jangan meninggalkan perkara wajib karena ingin mengejar sunah. Yang diwajibkan adalah bertaubat kepada Allah Taala akibat meninggalkan shalat dari waktunya dan tidak ada kewajiban bagi kalian selain ini.
Wallahu a’lam.