Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Bagaimanakah perbedaan yang sebenarnya antara Ali dan istrinya –radhiyallahu ‘anhuma- dan antara Umar dan Aisyah –radhiyallahu ‘anhuma- ?
Alhamdulillah.
Pertama:
Tidak ada perbedaan aqidah di antara para sahabat, bahkan tidak juga dalam metode menyimpulkan dalil, mereka adalah sebaik-baik masa, sebagaimana yang telah disabdakan oleh yang jujur dan dapat dipercaya –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, hubungan sebagian mereka dengan sebagian yang lain lebih tinggi dengan apa yang dituduhkan oleh kelompok Rafidhah, bukti yang paling nyata adalah di antara mereka saling menjalin hubungan perbesanan, juga penamaan anak-anak mereka dengan nama-nama para pembesar sahabat.
Jika kita pindah pada masalah pertanyaan di atas, kami berpendapat: “Umar bin Khattab telah menikah dengan putrinya Ali bin Abi Thalib dan Fatimah, yaitu; Ummu Kultsum! Dan di antara nama anak-anak Husain adalah Abu Bakar dan Umar!, inilah kenyataannya. Adapun perbedaan yang terjadi antara Fatimah –radhiyallahu ‘anha- dan Abu Bakar ash Shiddiq –radhiyallahu ‘anhu- maka yang benar adalah Abu Bakar, karena Fatimah menginginkan warisan dari ayahnya, yaitu; Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka Abu Bakar menjelaskan bahwa para Nabi tidak mewariskan, demikianlah yang pernah beliau dengar dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan tidak ada bagian tertentu untuk Abu Bakar, karena Allah sudah menjadikannya kaya dengan harta, beliau melarang ‘Fatimah untuk mendapatkan warisan sebagaimana beliau juga melarang ‘Aisyah yang merupakan istri Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, keputusan tersebut tidak didorong karena hawa nafsunya, juga tidak ada permasalahan tertentu yang menyebabkan adanya permusuhan antara Fatimah dan Abu Bakar, Ali –radhiyallahu ‘anhu- lebih memperhatikan istrinya Fatimah untuk meringankan kesedihannya setelah ditinggal ayahandanya, dan menghiburnya untuk tidak mencela Abu Bakar karena melarangnya untuk mendapatkan warisan dari ayahnya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Itu sebabnya beliau menahan diri untuk tidak mendatangi Abu Bakar –radhiyallahu ‘anhu- untuk membaitnya semasa hidupnya Fatimah setelah wafatnya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- selama enam bulan, dan karena sebab lain, yaitu; menurut pendapat beliau (Ali) para sahabat terlalu dini untuk urusan khilafah dan baiat, dan beliau harapannya agar diajak bermusyawarah, dan hadir dalam urusan tersebut, sedangkan pendapat para sahabat yang lain sebaliknya. Ketika Fatimah meninggal dunia dan telah dikuburkan, beliau (Ali) memuraja’ah dirinya dan meminta Abu Bakar untuk pergi kerumahnya, maka beliau mendatangi undangannya, dan Ali menjelaskan tentang alasannya terlambat untuk membaiatnya, kemudian Abu Bakar tetap pada kebenaran sikapnya bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak mewariskan, maka hati Ali –radhiyallahu ‘anhu- menjadi tenang, lalu keduanya sepakat untuk berbaiat pada waktu dhuhur hari itu juga, dan Ali membaiatnya, maka umat Islam sangat bahagia dengan kejadian tersebut.
Inilah redaksi haditsnya dengan lengkap:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَام بِنْتَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ بِالْمَدِينَةِ ، وَ " فَدَكٍ " ، وَمَا بَقِيَ مِنْ خُمُسِ " خَيْبَرَ " ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ : إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا نُورَثُ ، مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ ، إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْمَالِ وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَلَأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ مِنْهَا شَيْئًا ، فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ ، فَهَجَرَتْهُ ، فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ ، وَعَاشَتْ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ ، فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ دَفَنَهَا زَوْجُهَا عَلِيٌّ لَيْلًا وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ ، وَصَلَّى عَلَيْهَا ، وَكَانَ لِعَلِيٍّ مِنْ النَّاسِ وَجْهٌ ، حَيَاةَ فَاطِمَةَ ، فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ : اسْتَنْكَرَ عَلِيٌّ وُجُوهَ النَّاسِ ، فَالْتَمَسَ مُصَالَحَةَ أَبِي بَكْرٍ ، وَمُبَايَعَتَهُ ، وَلَمْ يَكُنْ يُبَايِعُ تِلْكَ الْأَشْهُرَ ، فَأَرْسَلَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ " أَنْ ائْتِنَا وَلَا يَأْتِنَا أَحَدٌ مَعَكَ " - كَرَاهِيَةً لِمَحْضَرِ عُمَرَ - فَقَالَ عُمَرُ : " لَا وَاللَّهِ لَا تَدْخُلُ عَلَيْهِمْ وَحْدَكَ " ، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ : وَمَا عَسَيْتَهُمْ أَنْ يَفْعَلُوا بِي ؛ وَاللَّهِ لآتِيَنَّهُمْ ، فَدَخَلَ عَلَيْهِمْ أَبُو بَكْرٍ ، فَتَشَهَّدَ عَلِيٌّ فَقَالَ : " إِنَّا قَدْ عَرَفْنَا فَضْلَكَ وَمَا أَعْطَاكَ اللَّهُ ، وَلَمْ نَنْفَسْ عَلَيْكَ خَيْرًا سَاقَهُ اللَّهُ إِلَيْكَ ، وَلَكِنَّكَ اسْتَبْدَدْتَ عَلَيْنَا بِالْأَمْرِ ، وَكُنَّا نَرَى لِقَرَابَتِنَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَصِيبًا " ، حَتَّى فَاضَتْ عَيْنَا أَبِي بَكْرٍ ، فَلَمَّا تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ : وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَرَابَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِي ، وَأَمَّا الَّذِي شَجَرَ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ مِنْ هَذِهِ الْأَمْوَالِ : فَلَمْ آلُ فِيهَا عَنْ الْخَيْرِ ، وَلَمْ أَتْرُكْ أَمْرًا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُهُ فِيهَا إِلَّا صَنَعْتُهُ ، فَقَالَ عَلِيٌّ لِأَبِي بَكْرٍ : مَوْعِدُكَ الْعَشِيَّةَ لِلْبَيْعَةِ ، فَلَمَّا صَلَّى أَبُو بَكْرٍ الظُّهْرَ رَقِيَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَتَشَهَّدَ وَذَكَرَ شَأْنَ عَلِيٍّ وَتَخَلُّفَهُ عَنْ الْبَيْعَةِ وَعُذْرَهُ بِالَّذِي اعْتَذَرَ إِلَيْهِ ، ثُمَّ اسْتَغْفَرَ ، وَتَشَهَّدَ عَلِيٌّ ، فَعَظَّمَ حَقَّ أَبِي بَكْرٍ ، وَحَدَّثَ أَنَّهُ لَمْ يَحْمِلْهُ عَلَى الَّذِي صَنَعَ نَفَاسَةً عَلَى أَبِي بَكْرٍ ، وَلَا إِنْكَارًا لِلَّذِي فَضَّلَهُ اللَّهُ بِهِ ، وَلَكِنَّا نَرَى لَنَا فِي هَذَا الْأَمْرِ نَصِيبًا ، فَاسْتَبَدَّ عَلَيْنَا ، فَوَجَدْنَا فِي أَنْفُسِنَا ، فَسُرَّ بِذَلِكَ الْمُسْلِمُونَ ، وَقَالُوا : أَصَبْتَ ، وَكَانَ الْمُسْلِمُونَ إِلَى عَلِيٍّ قَرِيبًا حِينَ رَاجَعَ الْأَمْرَ الْمَعْرُوفَ (رواه البخاري، رقم 3998 ومسلم، رقم 1759) .
“Dari ‘Aisyah bahwa Fatimah –‘alaihas salam- mengirim utusan kepada Abu Bakar untuk menanyakan warisannya dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari harta rampasan (fa’i) beliau selama di Madinah dan “Fadakin”, dan harta yang tersisa dari seperlima harta Khoibar, maka Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Kami tidak mewariskan (harta kami), apa yang kami tinggalkan adalah sedekah, sesungguhnya keluarga Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari harta ini”. Dan saya sungguh tidak akan merubah sesuatu yang sudah menjadi sedekah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- semenjak masa hidup beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan sungguh akan saya amalkan apa yang sudah apa yang sudah diamalkan oleh Raulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Maka Abu Bakar enggan memenuhi permintaan Fatimah sedikitpun, maka Fatimah merasa tidak nyaman kepada Abu Bakar, dan menjauhinya dan tidak berbicara sampai meninggal dunia, ia hidup setelah wafatnya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- selama enam bulan, ketika meninggal dunia maka Ali suaminya memakamkannya pada malam hari, dan tidak memberitahukan kepada Abu Bakar, ia menshalatinya, sebagian orang mempertanyakan sikap Ali, kehidupan Fatimah, ketika Fatimah wafat: Ali menghindari masyarakat, dan ingin berdamai dengan Abu Bakar dan membaiatnya, karena beliau belum membaiatnya pada beberapa bulan sebelumnya, maka beliau mengutus seseorang untuk mengundang Abu Bakar: “Hendaknya anda mendatangi kami, dan tidak dengan orang lain”, hawatir Umar juga ikut menemani Abu Bakar. Maka Umar berkata: “Jangan, anda jangan datang ke sana sendirian”. Abu Bakar berkata: “Apa yang sekiranya mereka perbuat kepadaku ?, demi Allah, aku akan mendatangi mereka”. Maka Abu Bakar menemui mereka, seraya Ali bersyahadat dan berkata: “Sungguh kami telah mengetahui keutamaan anda, dan yang telah Allah berikan kepada anda, dan kami tidak menaruh iri baik kepadamu dengan apa yang Allah berikan kepadamu, akan tetapi anda bersikeras dengan keputusan anda, Kami dahulu berpendapat karena kami kerabat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- maka kami akan mendapatkan bagian”. Hal ini menjadikan Abu Bakar menangis, dan kemudian berkata: “Demi Allah yang jiwaku ada di dalam genggaman-Nya, keluarga Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- lebih aku cintai dari pada keluargaku sendiri. Adapun perbedaan yang terjadi antar kami dan anda semua tentang harta (warisan), saya tidak akan mendahulukannya untuk kebaikan, dan tidak akan meninggalkan perkara yang aku telah melihat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melakukannya kecuali aku juga akan melakukannya”. Maka Ali berkata kepada Abu Bakar: “Jadwal membaiat anda pada malam ini”. Seusai Abu Bakar medirikan shalat dhuhur, beliau naik ke atas mimbar dan bersyahadat, dan menyebutkan masalah Ali dan sebab keterlambatannya untuk berbaiat, dan alasan lain yang sudah diutarakan kemudian beliau beristighfar, dan Ali bersyahadat, dan mengagungkan hak-hak Abu Bakar, beliau menyampaikan bahwa apa yang dilakukannya selama ini bukan karena bersaing dengan Abu Bakar, bukan juga karena mengingkari apa yang telah Allah berikan kepada Abu Bakar, hanya saja kami menganggap dalam masalah ini (harta warisan) kami mendapatkan bagian, ternyata Abu Bakar bersikeras dengan keputusannya, maka kami mendapatkan (kesalahan) pada diri kami, maka semua umat Islam merasa bahagia dengan itu semua. Dan mereka berkata: “Engkau benar”. Dan umat Islam dekat kembali dengan Ali setelah beliau memuraja’ah perkaranya dengan baik”. (HR. Bukhori 3998 dan Muslim 1759)
Berikut ini beberapa sikap para ulama terkait hadits di atas:
1.Imam Nawawi –rahimahullah- berkata:
Adapun keterlambatan Ali untuk membaiat Abu Bakar, sudah disebutkan sendiri oleh beliau pada hadits di atas. Dan Abu Bakar –radhiyallahu ‘anhu- memaafkannya. Keterlambatannya bukan celah akan keabsaan baiat, juga bukan celah untuk menuduh Ali yang tidak-tidak.
Untuk baiat: Para ulama sudah bersepakat bahwa sahnya baiat tidak harus dilakukan oleh semua orang, juga tidak harus semua anggota ahlul hilli wal ‘aqdi, namun syarat sahnya baiat adalah dari para ulama dan para ketua dan tokoh masyarakat yang memudahkan mereka untuk berkumpul.
Sedangkan tidak ada celah kepada Ali: Karena tidak diwajibkan bagi setiap orang untuk mendatangi seorang imam meletakkan tangannya di atas tangannya untuk membaiatnya, akan tetapi jika sudah ditentukan oleh ahlul hilli wal ‘aqdi maka wajib baginya untuk memiliki rasa keterikatan dengannya, dan tidak menampakkan perbedaan dan tidak mengangkat senjata kepadanya. Seperti itulah kondisi Ali –radhiyallahu ‘anhu- selama belum membaiat Abu Bakar, beliau tidak menampakkan perbedaan di hadapannya, dan tidak mengangkat senjata untuk memeranginya, hanya saja beliau terlambat untuk menghadiri prosesi baiat, karena alasan yang sudah disebutkan dalam hadits di atas, sahnya baiat juga tidak harus dihadiri oleh Ali, maka beliau tidak wajib untuk menghadirinya, ketika tidak wajib maka beliau tidak hadir. Tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa beliau mengganggu proses baiat, beliau juga tidak menyelisihi Abu Bakar, namun rasa tidak setujunya dengan keputusan Abu Bakar beliau simpan di dalam hati, maka beliau terlambat untuk menghadiri prosesi baiat sampai rasa dongkolnya hilang.
Sebab adanya rasa tidak setuju tersebut karena beliau dengan kedudukan dan keutamaannya dan masih kerabat dekat dengan Rasulullah, dan lain-lain, beliau berpendapat bahwa tidaklah perkara tersebut diputuskan kecuali melalui musyarawah dan kehadiran beliau. Alasan Abu Bakar, Umar dan semua para sahabat begitu jelas; karena mereka berpendapat bersegera untuk melakukan baiat adalah bagian dari kemaslahatan yang agung bagi kaum muslimin, mereka hawatir kalau ditunda akan semakin memicu perbedaan dan sengketa yang akan menimbulkan kerusakan yang besar, oleh karenanya mereka mengakhirkan pemakaman jenazah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang mulia sampai menghasilkan baiat; karena baiat adalah perkara yang sangat penting, agar tidak terjadi sengketa ketika proses pemakaman jenazah Nabi, atau pengkafanan beliau, atau yang memandikan, atau yang menshalati dan lain-lain. Tidak ada yang akan merinci semua perkara kepada semuanya, maka mereka berpendapat untuk mendahulukan baiat menjadi prioritas utama.
(Syarh Muslim: 12/77-78)
2.Bukan berarti hijrah (menjauhnya) Fatimah –radhiyallahu ‘anha- dari Abu Bakar –radhiallahu ‘anhu- adalah hijrah yang diharamkan. Karena ia seorang asing (bukan siapa-siapa) di hadapan Abu Bakar.
Badruddin al ‘Aini –rahimahullah- berkata:
“Arti dari berpalingnya Fatimah adalah ia menahan diri untuk tidak bertemu Abu Bakar, cemberut, bukan berpaling yang diharamkan seperti meninggalkan salam, atau semacamnya”. (Umdatul Qaari Syarh Shahih al Bukhori: 17/258).
Beliau –rahimahullah- juga erkata:
Al Mahlab berkata: “Sesungguhnya berpalingnya Fatimah adalah menahan diri agar tidak bertemu Abu Bakar, tidak menjalin komunikasi, ini bukanlah berpaling yang diharamkan. Yang diharamkan adalah ketika keduanya bertemu tidak saling mengucapkan salam, tidak seorang pun yang meriwayatkan bahwa ketika keduanya bertemu lalu mereka tidak saling memberi salam, kalau mereka berdua melakukan itu juga belum dikatakan saling berpaling kecuali jiwanya menampakkan permusuhan dan berpaling. Akan tetapi Fatimah berdiam di rumah saja tidak kemana-mana. Seraya diungkapkan oleh perawi hadits dengan “hijran” (berpaling)”. (Umdatul Qaari: 15/20)
3.Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:
“Seakan mereka (para sahabat) memaafkan (memahami kondisi) Ali bin Abi Thalib akan keterlambatannya membaiat Abu Bakar semasa hidunya Fatimah, karena kesibukannya dengan Fatimah, dan merawatnya, menghiburnya dari kesedihannya karena ditinggal oleh ayahnya –shallallahu ‘alaihi wa sallam-; dan karena ia marah setelah ditolak oleh Abu Bakar ketika meminta warisan dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka Ali berpendapat untuk mendukung istrinya untuk tidak menjalin hubungan dengan Abu Bakar”. (Fathul Baari: 7/494)
4.Beliau –rahimahullah- juga berkata:
Perkataan Ali: "كراهة ليحضر عمر"(Khawatir (Abu Bakar) akan datang ke rumahnya bersama Umar), Kebanyakan riwayatnya mengatakan: "كراهة لمحضر عمر" (hawatir akan kehadiran Umar). Hal tersebut disebabkan karena sudah terkenal bahwa Umar adalah seorang yang kuat, teguh pendirian, keras dalam perkataan dan perbuatan, sedangkan Abu Bakar adalah seorang yang lembut, mudah terharu, seakan mereka hawatir dengan kehadiran Umar justru akan menjadikan suasana semakin tidak kondusif dan menimbulkan perbedaan, dan tujuan utamanya untuk damai tidak terpenuhi”. (Fathul Baari: 7/494)
5.Beliau –rahimahullah- juga berkata:
“Perkataan Ali: “Kami tidak bersaing dalam kebaikan dengan apa yang Allah sudah berikan kepada anda (Abu Bakar)”. Yaitu; menaruh rasa iri dengan khilafah. Perkataan Ali: “Engkau putuskan perkara tanpa musyawarah dengan kami”. Yang dimaksud adalah tentang khilafah.
6.Perkataan Ali: “Karena kekerabatan kami”. Maksudnya: karena kami adalah kerabat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- (maka kami berhak mendapatkan) bagian”. (Fathul Baari: 7/494)
Inilah yang terjadi antara Fatimah dan Abu Bakar, dan antara Ali dan Abu Bakar –radhiyallahu ‘anhum jami’an-. Barang siapa yang mendengar dan membaca (buku-buku) kelompok Rafidhah maka ia akan melihat keanehan dan akan menemukan kebohongan sejarah. Lihatlah bahwa Ali menyampaikan alasannya kepada Abu Bakar, memuliakan Abu Bakar, mengakui Abu Bakar sebagai kholifah, membaiatnya di hadapan para sahabat yang lain, yang sebelumnya Abu Bakar mengunjungi Ali di rumahnya, memuji beliau, juga kepada ahlul bait Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan kerabatnya, dan lebih mengutamakan keluarga Nabi dari pada keluarganya sendiri. Mana rasa iri dan dengki, laknat, berpura-pura, tuduhan buruk, kejahatan dan kebencian !?, semua itu tidak ada kecuali pada fikiran dan hati orang-orang Syi’ah Majusi, sekutu Hulaku (panglima Mongol), saudara-saudara ‘Alqami, riwayat di atas adalah riwayat yang paling shahih terkait bab ini. Imam Bukhori dan Muslim –rahimahumallah- telah bersepakat untuk meriwayatkannya. Kami tidak menyembunyikan sesuatu dari agama kami. Kami juga meriwayatkan bahwa Ali –radhiyallahu ‘anhu- tidak menginginkan Abu Bakar mendatanginya ditemani seorangpun. ‘Aisyah atau yang lainnya juga tidak menutupi bahwa sepertinya yang dimaksud oleh Ali adalah Umar –radhiyallahu ‘anhu-. Abu Bakar –radhiyallahu ‘anhu- juga memenuhi permintaan Ali tersebut. Beliau juga melihat bahwa masalah ini tidak akan membahayakannya, dan tidak perlu dicurigai.
Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:
“Al Qurthubi berkata: “Barang siapa yang berfikir jernih tentang apa yang terjadi antara Abu Bakar dan Ali dalam masalah tersebut sampai masing-masing menjelaskan alasannya, dengan hasil yang mengandung unsur obyektif, sebagian mereka mengakui keutamaan sebagian yang lain, hati mereka bersepakat untuk saling menghormati, mencintai, meskipun naluri kemanusiaannya kadang kala lebih mendominasi, namun dengan derajat keagamaannya, mereka mampu mengatasinya. Allah-lah pemberi petunjuk.
Kelompok Rafidhah berpegang teguh dengan keterlambatannya Ali untuk membaiat Abu Bakar sampai meninggalnya Fatimah, ocehan mereka dalam masalah tersebut sudah tidak asing lagi, dan hadits di atas menjawab dan menyanggah pendapat mereka”. (Fathul Baari: 7/495)
Wallahu A’lam.