Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Aku membaca fatwa terkait dengan sutrah (pembatas dalam shalat) di laman anda, tapi aku masih mempunyai sebagian pertanyaan dalam dua hal,
Alhamdulillah.
Pertama:
Dianjurkan bagi imam dan yang shalat seorang diri untuk membuat sutrah, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud, (598) dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu anhu, dia berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ ، فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا قال الشيخ الألباني رحمه الله : "إسناده حسن صحيح" انتهى من " صحيح سنن أبي داود" (3/281
“Jika salah seorang dari kalian melakukan shalat, hendaknya shalat di hadapan sutrah dan mendekat dengannya.” (Syekh Al-Albani rahimahullah berkata, ‘Sanadnya Hasan Shahih.’ dari Shahih Sunan Abi Daud, 3/281).
Terdapat dalam kitab ‘Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, (24/177), “Disunahkan bagi orang yang shalat, kalau dia seorang diri atau menjadi imam, agar membuat sutrah di depannya, untuk menghalangi orang yang lewat antara dia dan sutrahnya dan agar lebih khusyu dalam shalat.
Hal itu sebagaimana riwayat Abi Said Al-Khudri radhiallahu anhu sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ ، فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا ولا يدع أحدا يمر بين يديه
“Kalau salah seorang di antara kalian melakukan shalat, hendaknya dia shalat di hadapan sutrah dan mendekat kepadanya. Dan jangan biarkan seseorang yang lewat di antaranya.”
Juga berdasarkan sabda beliau sallallahu alaihi h wa sallam:
ليستتر أحدكم في صلاته ولو بسهم
“Hendaknya salah satu diantara kalian menutupi (membuat sutrah) dalam shalatnya meskipun dengan busur panah.”
Adapun makmun, sepakat tidak dianjurkan membuat sutrah. Karena sutrahnya Imam itu untuk orang yang di belakangnya, atau karena Imam itu sutrah untuknya.”
Kedua:
Yang sesuai sunah, seseorang yang shalat itu membuat sutrah dengan sesuatu yang berdiri. Dan yang paling utama kadarnya seperti pelana onta atau lebih besar dari itu. Sebagaimana diriwayatkan Muslim, (771) dari Aisyah radhiallahu anha berkata:
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ سُتْرَةِ الْمُصَلِّي ، فَقَالَ : مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ رواه مسلم (771) .
“Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam ditanya tentang sutrah orang yang shalat. Maka beliau menjawab, ‘Seperti pelana unta.” (HR. Muslim, no. 771)
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits terdapat anjuran untuk membuat sutrah di depan orang yang shalat dan penjelasan bahwa minimal sutrah itu seukuran pelana onta, yaitu setinggi tulang tangan atau sekitar dua pertiga hasta. Hal tersebut dapat terwujud dengan sesuatu yang dapat ditegakkan di hadapannya.” (Syarah Muslim, An-Nawawi , 4/216).
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Ukuran sutrah panjangnya adalah sehasta atau semisal itu.” Al-Atsram berkata, “Abu Abdillah ditanya tentang pelana onta, berapakah tingginya?” Beliau menjawab, ‘Sehasta.”
Begitu juga apa yang dikatakan oleh ‘Atha’, “Satu hasta.” Juga dikatakan oleh At-Tsauri, ashaburra’yi, dan diriwayatkan dari Ahmad, bahwa ukurannya setinggi tulang tangan. Ini adalah pendapat Malik dan Syafi’i.
Pendapat yang kuat, bahwa hal ini cuma sekedar perkiraan bukan penentuan pasti, karena Nabi sallallahu alaihi wa sallam memperkirakan dengan pelana onta. Padahal pelana itu berbeda satu sama lain dari sisi panjang dan pendeknya. Kadang ada yang satu hasta, kadang ada yang kurang dari itu. Maka sesuatu yang ukurannya kurang lebih satu hasta dapat dijadikan sutrah. Wallahu a’lam.
Adapun dari ukuran tipis tebalnya, kami tidak mengetahui ketentuannya. Maka boleh menggunakan yang tipis seperti busur panah dan tombak, atau yang tebal seperti dinding. Nabi sallallahu alaihi wa sallam dahulu membuat sutrah dari hewan kambing. Abu Said berkata, “Dahulu kami membuat sutrah dengan busur panah dan batu dalam shalat.”
Diriwayatkan dari Subrumah sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
استتروا في الصلاة ولو بسهم رواه الأثرم
“Buatlah sutrah dalam shalat meskipun dengan busur panah.” (HR. Al-Atsram)
Al-Auza’i berkata, “Sutrah dapat dilakukan dengan memakai busur dan cambuk.” Ahmad berkata, “Yang lebih panjang lebih aku sukai. Hal itu karena sabda beliau ‘Meskipun dengan busur panah.” Hal itu menunjukkan bahwa lainnya itu lebih utama dari itu. (Al-Mughni, 2/38).
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya tentang ukuran sutrah bagi orang yang shalat?
Maka beliau menjawab ”Sutrah yang diletakkan di hadapan orang yang yang shalat itu yang lebih utama adalah seukuran pelana unta. Sekitar dua pertiga hasta, kalau kurang dari itu tidak mengapa meskipun hanya busur panah atau tongkat. Maka hal itu diterima.” (Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, 13/326).
Ketiga:
Yang sesuai sunah orang yang shalat hendaknya mendekati sutrahnya. Sehingga dia menjadi dekat dengannya dan memungkinkan baginya menghalau orang yang lewat antara dia dan sutrah.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, (695) dari Sahl bin Abu Hatsmah radhiallahu anhu dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا ، لَا يَقْطَعْ الشَّيْطَانُ عَلَيْهِ صَلَاتَهُ حسنه ابن عبد البر في "التمهيد" (4/195) ، وصححه النووي في "المجموع" (3/244) ، وصححه الألباني في "صحيح أبي داود" .
“Kalau salah seorang diantara kalian shalat di depannya ada sutrahnya, maka hendaknya dia mendekat dengannya, jangan sampai setan memutuskan shalatnya.” (Dinyatakan hasan oleh Ibnu Abdul Bar dalam kitab ‘At-Tamhid, 4/195, dishahihkan oleh An-Nawawi dalam kitab ‘Al-Majmu’, 3/244, dishahihkan juga oleh Al-Albani di Shahih Abi Daud)
Para ulama rahimahumullah berbeda pendapat terkait ukuran jarak antara seseorang dengan sutrahnya, dimana mulai dihitungnya?
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa ukurannya sekitar tiga hasta dari kaki orang yang shalat. Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, (506) dari Nafi’ bahwa Abdullah bin Umar radhiallah anhuma, “Dahulu ketika masuk Ka’bah, beliau berjalan ke arah depan membelakangi pintu, lalu beliau berjalan sampai antara dia dan dinding yang ada di depannya berjarak sekitar tiga hasta. Lalu beliau menunaikan shalat dengan mencari tempat yang diberi tahu oleh Bilal, sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam shalat disitu.
Terdapat dalam kitab ‘Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, (24/184), “Disunahkan bagi orang yang ingin menunaikan shalat agar menghadap ke sutrah hendaknya mendekat kepadanya sekitar tiga hasta dari kedua kakinya dan jangan lebih dari itu. Berdasarkan hadits:
أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى في الكعبة وبينه وبين الجدار ثلاثة أذرع
“Sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam ketika shalat di dalam Ka’bah, antara beliau dengan tembok sekitar tiga hasta.”
Ini menurut ulama mazhab Hanafi, Syafii dan Hanbali dan sebagaimana yang difahami dari perkataan ulama mazhab Maliki. Karena pembatas antara orang yang shalat dan sutrah itu sebatas apa yang dia butuhkan untuk berdiri dan rukuk serta sujud.
Adapun ulama lainnya berpendapat bahwa jarak sekedar tempat berjalannya kambing dari tempat sujudnya orang yang shalat. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari, (474) dan Muslim, (508) dari Sahl bin Sa’d radhiallahu anhu berkata:
كَانَ بَيْنَ مُصَلَّى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ الْجِدَارِ مَمَرُّ الشَّاةِ
“Jarak antara tempat shalat Rasulullah sallallahu alaihi wa salam dengan dinding adalah seukuran tempat lewatnya kambing.”
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Sabdanya Beliau ‘Dahulu jarak antara tempat shalat Rasulullah sallallahu alaihi wa salam dengan dinding itu seukuran tempat berlalunya kambing. Maksudnya dengan musholla adalah tempat sujudnya. Terkandung di dalamnya bahwa yang sesuai sunah adalah orang yang shalat mendekat dengan sutrahnya.”
Di antara para ulama ada yang menggabungkan hadits Ibnu Umar dan hadits Sahl bin Sa’d radhiallahu anhum, dan menjadikan hadits Ibnu Umar (tiga hasta) dalam kondisi berdiri Adapun hadits Sahl (Tempat jalannya kambing) dalam kondisi sujud.
Syekh Al-Albani rahimahullah berkata dalam kitab ‘Sifatus Sholat, (1/114), “Dahulu nabi sallallahu alaihi wa sallam berdiri dekat dengan sutrahnya, jarak antara beliau dengan tembok sejauh tiga hasta dan antara tempat sujudnya dengan tembok seukuran tempat berlalunya kambing.”
Wallahu a’lam.