Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
Para ulama’ fiqih berbeda pendapat terkait dengan nikahnya orang yang sedang berihrom. Mayoritas ulama’ (jumhur) dari kalangan Malikiyah, Syafiiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa nikahnya orang yang sedang berihrom itu tidak sah. Baik dia sebagai suami, istri maupun wali yang melakukan akad pernikahan terhadap orang yang dijadikan perwaliannya atau wakil yang melakukan akad nikah kepada orang yang diwakilkannya. Berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam:
( لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ ) رواه مسلم (1409)
“Orang yang sedang berihrom tidak boleh menikah, tidak boleh dinikahi dan tidak boleh melamar.” HR. Muslim, 1409.
Sementara Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma dan Hanafiyah berpendapat, sah nikahkan orang yang sedang berihrom haji atau umroh. Sampai meskipun keduanya (suami istri) dalam kondisi berihrom. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma sesungguhnya Nabi sallallahu’alaihi wa sallam menikahi Maimnah sementara beliau dalam kondisi berihrom.” HR. Bukhori, 1837. Muslim, 1410. Selesai dari ‘Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 41/349-350.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, 1843 dari Yazid bin Al-Ashom dari Maimunah radhiallahu’anha berkata,
" تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ حَلَالَانِ بِسَرِفَ "
“Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam menikahiku sementara kami dalam kondisi halal di ‘Saraf’.
ورواه مسلم (1411) عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْأَصَمِّ حَدَّثَتْنِي مَيْمُونَةُ بِنْتُ الْحَارِثِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهُوَ حَلَالٌ . قَالَ : وَكَانَتْ خَالَتِي وَخَالَةَ ابْنِ عَبَّاسٍ
Dan diriwayatkan oleh Muslim, 1411 dari Yazid bin Al-Ashom, Maimunah binti Harits memberitahukan kepadaku , sesungguhnya Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam menikahinya sementara beliau dalam kondisi halal. Beliau berkata, ‘Dimana (Maimunah) adalah bibiku dan bibi Ibnu Abbas.
وروى أحمد (26656) عَنْ أَبِي رَافِعٍ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُونَةَ حَلَالًا وَبَنَى بِهَا حَلَالًا
وَكُنْتُ الرَّسُولَ بَيْنَهُمَا .
صححه ابن القيم في "الزاد" (3/373)
Dan diriwayatkan oleh Ahmad, 26656 dari Abu Rafi’ budak Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam. Sesungguhnya Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam menikahi Maimunah dalam kondisi halal. Dan digauli dalam kondisi halal. Dahulu saya adalah sebagai utusan diantara keduanya. Dishohehkan oleh Ibnu Qoyyim, dalam kitab Az-Zad, 3/373.
Syeikhul Islam rahimahullah mengomentari, “Yang terkenal menurut kebanyakan orang bahwa beliau (sallallahu’alaihi wa sallam) menikahi (Maimunah) dalam kondisi halal.” Selesai dari ‘Majmu’ Fatawa, 18/73.
Apa yang disebutkan oleh Syeikhul Islam, merupakan pendapat mayoritas shahabat dan mayoritas ahli ilmu. Bahwa Nabi sallallahu’alai wa sallam menikahi Maimunah radhiallahu’anha dalam kondisi halal. Dan mereka mempunyai banyak jawaban terkait dengan hadits Ibnu Abbas, yang paling kuat adalah hal itu merupakan kelengahan beliau radhiallahu’anhuma. Dimana beliau menyangka bahwa Nabi sallallahu’alaihi wa sallah menikahinya sementara beliau dalam kondisi berihrom.
Ibnu Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Beliau sallallahu’alaihi wa sallam diperselisihkan, apakah ketika menikahi Maimunah dalam kondisi halal atau berihrom? Ibnu Abbas mengatakan, “Menikahinya sementara beliau dalam kondisi berihrom. Sementara Abu Rafi’ mengatakan, “Menikahinya sementara beliau dalam kondisi halal. Dan dahulu saya adalah utusan diantara keduanya. Perkataan Abu Rafi’ lebih kuat dari beberapa sisi,
Salah satunya, Waktu itu beliau sudah dalam kondisi balig. Sementara Ibnu Abbas waktu itu belum mencapai baligh. Bahkan waktu itu beliau baru berumur sepuluh tahun. Sehingga Abu Rafi’ waktu itu lebih hafal darinya.
Kedua, bahwa beliau sebagai utusan. Antara Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam dan Maimunah. Di tangannya terjadi perbincangan. Dan dia lebih mengetahui dari (Ibnu Abbas) tanpa diragukan lagi. Hal itu telah diisyaratkan sendiri dengan penuh kebenaran dan keyakinan tanpa menukil dari yang lainnya. Bahkan beliau sendiri yang melakukannya.
Ketiga, Ibnu Abbas waktu itu tidak bersamanya dalam umroh tersebut. Karena umroh qodo’. Sementara Ibnu Abbas waktu itu termasuk orang-orang lemah yang Allah berikan uzur dari kalangan anak-anak. Dan beliau mendengarkan cerita (dari orang lain) tanpa kehadirannya.
Keempat, Sesungguhnya Nabi sallallahu’alaihi wa sallam ketika masuk Mekkah, beliau mulai dengan towaf di Ka’bah. Kemudian sa’I antara shafa dan marwah, menggundul kemudian tahallul. Telah diketahui bahwa beliau tidak menikahinya di jalan. Tidak juga memulai menikah dengannya sebelum towaf di Ka’bah. Tidak menikah juga sewaktu towaf. Hal ini telah diketahui tidak terjadi. Maka pendapat Abu Rofi’ yang kuat secara meyakinkan.
Kelima, bahwa para shahabat radhiallahu’anhu menyalahkan Ibnu Abbas dan tidak menyalahkan Abu Rafi’.
Keenam, perkataan Abu Rafi’ sesuai dengan larangan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam tentang menikahnya orang yang sedang berihrom. Sementara perkataan Ibnu Abbas menyalahinya. Hal itu ada dua kemungkinan, bisa karena dinaskh (dihapus) atau ditakhsis (dihususkan) oleh Nabi sallallahu’alaihi wa sallam dengan memperbolehkan nikahnya orang yang sedang berihrom. Keduanya menyalahi dari asalnya dan tidak ada dalil (yang menguatkan). Maka tidak dapat diterima.
Ketujuh, bahwa anak saudara perempuan yaitu Yazid bin Al-Ashom memberi persaksian bahwa Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam menikahinya sementara beliau dalam kondisi halal. Dan beliau mengatakan, dia dahulu adalah bibiku dan bibinya Ibnu Abbas. Hal itu disebutkan oleh Muslim. Selesai dari ‘Zadul Ma’ad, 5/112-124.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Al-Atsram mengatakan, saya bertanya kepada Ahmad, bahwa Abu Tsaur mengatakan, dengan apa menolak hadits Ibnu Abbad –padahal shoheh- beliau berkata, “Allahul musta’an. Ibnu Musayyab mengatakan, Ibnu Abbas lengah. Padahal Maimunah berkata, saya dinikahi sementara beliau dalam kondisi halal.” Selesai
Ibnu Abdul Bar mengatakan, “Periwayatan bahwa beliau menikahinya dalam kondisi halal, telah ada dari berbagai macam jalan. Sementara hadits Ibnu Abbas, shoheh dari sisi sanad. Akan tetapi kelengahan seorang (rowi) itu lebih dekat dibandingkan kelengahan kelompok. Kondisi minimal keduanya bertentangan. Sehingga diminta dalil dari selain keduanya. Dan hadits Utsman yang shoheh tentang pelarangan nikah orang yang sedang muhrim, dan itu yang menjadi sandaran.” Selesai
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Maimunah lebih mengetahui tentang dirinya dan Abu Rafi’ pelaku kisah dan dia adalah utusan dalam kisah tersebut. Keduanya lebih mengetahui akan hal itu dibandingkan Ibnu Abbas dan lebih didahulukan kalau sekiranya Ibnu Abbas sudah dewasa. Bagaimana lagi dia (Ibnu Abbas) waktu itu masih kecil. Belum mengetahui hakekat masalah dan belum mendalaminya. Dan pendapat ini telah diingkari. Said bin Musayyab mengatakan, ‘Ibnu Abbas lengah. Nabi sallallahu’alaihi wa sallam tidak pernah menikah kecuali dalam kondisi halal. Bagaimana mengamalkan hadits ini sementara kondisinya seperti ini? Ada kemungkinan pendapat dalam ucapan ‘Dia dalam kondisi haram’ adalah di bulan haram. atau di negeri haram. sebagaimana ungkapan, “Ibnu Affan dibunuh dalam kondisi haram (di negeri haram).” selesai dari Al-Mugni, 3/318.
Kesimpulan, yang benar bahwa Nabi sallallahu’alaihi wa sallam menikahi Maimunah radhiallahu’anha dalam kondisi bukan berihrom. Dan ini yang kuat dan ditegaskan. Kalau sekiranya tidak ada hadits Ibnu Abbas. Kebanyakan ahli ilmu menguatkan bahwa Ibnu Abbas lengah dalam hadits ini. Dimana beliau mengira bahwa Nabi sallallahu’alaihi wa sallam menikahinya sementara beliau dalam kondisi berihrom. Dan pendapat ini beliau pegang berdasarkan berbagai macam penguat yang beliau dapatkan. Pendapat seperti ini tidak dapat mengalahkan hadits yang kuat dari Maimunah dan Abu Rafi’ radhiallahu’anhuma bahwa Nabi sallallahu’alaihi wa sallam menikahinya dan beliau dalam kondisi halal bukan berihrom.
Wallahuta’ala a’lam .