Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
Pertama,
Tayamum dianggap sah dengan semua yang ada di permukaan bumi, baik debu, batu, kerikil atau semisal itu. Tidak disyaratkan memakai debu. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا (سورة النساء: 43)
“Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci).” QS. An-Nisa’: 43.
Kata ‘As-Shoid’ adalah permukaan bumi.
Syaikhul Islam rahmahullah mengatakan, “Dibolehkan bertayamum dengan selain debu dari bagian bumi. Kalau tidak mendapatkan debu.” (Al-Fatawa Al-Kubro, 5/309)
Syekh Ibnu Jibrin rahimahullah mengatakan,
“Sebagian ulama berpendapat bahwa tayamum hendaknya dari debu dan ada yang menempel di tangan, dengan berdalil firman Allah Ta’la, "Sapulah mukamu dan tanganmu.” (QS. An-Nisaa: 43). Yang tidak ada debunya, tidak dapat disapu. Akan tetapi yang benar adalah tidak disyaratkan debu. Akan tetapi disyaratkan bersih dan suci. Berdasarkan firman-Nya Ta’ala, “Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci).” (QS. An-Nisa: 43).
Kata ‘As-Sha'iid’ adalah sesuatu yang menjadi permukaan bumi. Dengan demikian, sah bertayamum dengan kerikil yang tidak ada debunya. Sebagaimana sah (bertayamum) dengan tanah liat dan semisalnya.” (Fatawa Islamiyah, 1/277)
Silahkan lihat jawaban soal no. 36774.
Kedua,
Tayamum dengan tanah dibolehkan, karena ia termasuk as-sha'iid yaitu yang ada dipermukaan bumi. Akan tetapi dimakruhkan kalau hal itu cair. Kalau tanah liat yang kuat tidak kotor, maka hal itu tidak dimakruhkan bertayamum dengannya.
As-Sarkhasi rahimahullah dalam ‘Al-Mabsuth, 1/115 mengatakan, “Kalau dia seorang musafir di tempat bertanah dan tidak mendaptakan air juga tidak mendapatkan debu. Hendaknya dia melepas pakaiannya atau diperas kemudian bertayamum dengan debunya' tidak diperintahkan bertayamum dengan tanah liat. Meskipun kalau dilakukan, dianggap sah menurut pendapat Abu Hanifah rahimahulah. Karena hal itu dapat mengotori wajahnya.”
Ibnu Abidin rahimahullah dalam Hasyiyah, 1/240 mengatakan, “Menurut Abu Hanifah, kalau khawatir keluar waktu (shalat), maka bertayamum dengan (tanah)). Karena tayamum dengan tanah menurut beliau dibolehkan. Kalau tidak (khawatir keluar waktu), maka jangan dilakukan, agar wajahnya tidak kotor dengan tanah.”
Wallahua'lam .