Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Banyak orang yang hafal Al-Quran karena ada yang mengajarkan Al-Quran atau belajar fiqih karena ada syekh dan ulama. Akan tetapi, problem yang kami saksikan dan rasakan saat bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat adalah adanya didikan yang buruk atau dengan kata lain pendidikan yang sangat memprihatinkan. Kemana para pendidik dan bagaimana mengatasi hal ini?
Alhamdulillah.
Tidak diragukan lagi bagi siapa yang mengamati bahwa telah terjadi pemisahan antara ilmu dan amal, pengetahuan dan tarbiyah, baik dalam pandangan awam atau para ahli. Banyak yang mengira bahwa tarbiyah hanyalah masalah teori terkait dengan kemampuan para orang tua yang dapat mengisi otak anak-anaknya dengan berbagai ilmu pengetahuan disertai kesungguhan untuk menghasilkan sebesar-besarnya karangan-karangan dan tesis-tesis yang berbicara tentang sarana tarbiyah dan segala sesuatu yang terkait dengannya. Bahkan hingga sampai pada tingkat mencocokkan nash-nash syar’i dengan teori-teori akal tanpa meninjau sisi praktis dalam tarbiyah.
Misalnya, sikap mencocokkan ayat berikut
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ (سورة غافر: 28)
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hambaNya hanyalah para ulama.” (QS. Ghafir: 28)
Dipahami bahwa siapa saja yang berilmu, baik ilmu-ilmu syari atau ilmu-ilmu sains dianggap sebagai orang yang takut kepada Allah. Padahal ayat tersebut tidak menunjukkan semua orang yang berilmu adalah takut kepada Allah, akan tetapi orang yang takut kepada Allah adalah orang yang berilmu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata dalam kita Majmu Fatawa, 7/539. Allah Taala berfirman,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hambaNya hanyalah para ulama.” (QS. Ghafir: 28)
Ayat ini menunjukkan bahwa siapa saja yang takut kepada Allah maka dia adalah orang berilmu, tidak menunjukkan bahwa setiap orang yang berilmu maka dia takut kepada Allah.”
Beliau juga berkata di tempat lain, “Maknanya adalah bahwa tidak ada yang takut kepada Allah melainkan dia ulama. Allah mengabarkan bahwa siapa yang takut kepada Allah, maka dia ulama. Sebagaimana dia berfirman dalam ayat lain,
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ (سورة الزمر: 9)
“Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, "Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (QS. Az-Zumar: 9)
Ini merupakan ayat lainnya yang oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah termasuk di antara ayat-ayat yang dipahami tidak benar termasuk dalam perkara memuji para ulama walaupun terhindar dari amal dan tarbiyah. Hal tersebut karena mereka hanya menyebut akhir ayatnya dan mengabaikan awalnya. Karena firman Allah Taala,
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
"Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"
Adalah penafsiran dari ayat sebelumnya,
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ
“Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?”
Orang yang mengetahui di sini adalah mereka yang sering beribadah karena Allah dalam keadaan tunduk di waktu malam karena takut dari nerakanya dan berharap surga dan rahmatNya. Adapun yang tidak berilmu adalah mereka yang lalai dari semua itu. Perhatikanlah!
Karena itu, Imam Ibnu Qayim menyatakan dalam kitab ‘Miftah Dar As-Saadah’ (1/89) satu kaidah umum dalam masalah ini, “Dahulu kalangan salaf tidak menyebutkan nama ‘fiqih’ kecuali terhadap ilmu yang diiringin amal.’
Inilah hakikat fiqih menurut para ulama salaf kita, ilmu yang diiringin amal. Ketika hakikat ini hilang dalam pemahaman banyak dai dan tenaga pendidik, maka tarbiyah atau pendidikan yang ada hanya fokus pada masalah ilmu pengetahuan semata dengan mengabaikan prilaku, manajemen hati, pengendalian jiwa dan perbaikan akhlak. Mereka mengira bahwa inilah ilmu dan fikih yang dimaksud. Padahal tidak demikian!.
Pendidikan untuk menanamkan akhlak dan agama tidak dapat terlaksana kecuali oleh orang-orang robbany, apakah mereka ulama, dai, aktifis atau guru. Orang robbany adalah orang yang dekat kepada Allah Taala, dengan ilmu, amal maupun dengan mengajarkannya.
Allah Taala berfirman,
وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ (سورة آل عمران: 79)
"Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali Imran: 79)
Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata dalam kitab Fathul Qadir, 1/407, “Robbany adalah nisbat (sandaran) terhadap kata rabb (tuhan) dengan menambah alif dan nun untuk menunjukkan sangat. Seperti dikatakan kepada orang yang berjenggot lebat ‘lihyani’ atau kepada orang yang lehernya besar ‘ruqbany’.
Ada yang berpendapat bahwa robbany adalah orang yang mendidik manusia dengan ilmu-ilmu yang ringan sebelum yang berat, seakan dia ingin mencontoh Tuhan Taala dalam membantu segala perkara.
Kesimpulannya, tarbiyah bukan sebatas teori-teori kosong yang jauh dari pengamalan, bukan pula kaidah-kaidah yang jauh dari nilai-nilai keimanan. Akan tetapi tarbiyah ruang lingkupnya adalah; Terwujudnya kekuatan jiwa yang menggabungkan antara ilmu dan kesantunan, antara hikmah dan pemahaman, antara ilmu dan amal serta mengajarkan apa yang telah dipahami.
Karena itu, Imam Asy-Syaukani berkata tentang firman Allah Taala,
وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
“Disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”
Yang membaca dengan tasydid, maka dia harus memahami robbani dengan suatu perangkat tambahan selain ilmu dan mengajarkannya, yaitu bersama dengan itu dia ikhlas dan bijaksana, atau santun, sehingga tampak sebabnya.
Yang membaca takhfif (tanpa sebab), boleh memahaminya robbany sebagai orang yang berilmu dan mengajarkan manusia. Maka maknanya adalah jadilah orang yang mengajarkan ilmu karena kalian adalah ulama dan sebab kalian telah mempelajari ilmu.
Ayat ini merupakan dorongan paling kuat bagi orang yang berilmu untuk beramal dan di antara amalan terbesar atas ilmu adalah mengajarkannya serta ikhlas karena Allah Taala.” (Fathul Qadir, Fathul Qadir, 1/407)
Dengan demikian menjadi jelas bahwa inti dari tarbiyah rabbany dan pondosinya adalah tarbiyah dengan praktek, bukan sekedar teori simbolis yang sunyi dari hakikat amal.
Karena itu, Al-Hafiz Ibnu Rajab berkata dalam risalahnya yang bermutu, “Fadlu ilmi Assalaf Ala Ilmi Al-Kholaf.” Hal. 5, “Banyak orang dari kalangan belakangan terkena fitnah dengan mengira bahwa banyaknya pendapat dan perdebatan mereka dalam masalah agama menunjukkan bahwa mereka lebih mengetahui dibanding yang tidak seperti mereka. Ini merupakan kebodohan yang nyata. Perhatikanlah para sahabat-sahabat besar dan ulama mereka, seperti Abu Bakar, Umar, Ali, Muaz, Ibnu Masud, Zaid bin Tsabit, bagaimanakah mereka? Ucapan mereka lebih sedikit dari ucapan Ibnu Abbas padahal mereka lebih berilmu darinya, demikian pula ucapan para tabiin, ucapan mereka lebih banyak dari ucapan para sahabat padahal para sahabat lebih utama dari mereka, lalu tabiit tabiin lebih banyak perkataannya dari tabiin padahal para tabiin lebih utama dari tabiit tabiin. Ilmu itu bukan pada banyaknya riwayat, tidak juga pada pada banyaknya pendapat, akan tetapi dia adalah cahaya yang terpancar dalam hati yang dengan itu seorang hamba memahami kebenaran dan membedakan antara yang hak dan yang batlil lalu dapat mengungkapkan hal tersebut dengan redaksi yang ringkas namun sampai kepada tujuan.”
Inilah bencana besar yang dialami rumah-rumah kaum muslimin dan lembaga-lembaga pendidikan mereka, yaitu hilangnya teladan saleh yang rabbany yang mendidik dengan perbuatan sebelum ucapan dan menghimpun dalam pengajarannya antara pandangan yang benar dengan amal saleh diiringi sikap bijak dan pemahaman yang lurus terhadap agama Allah Taala serta keinginannya terhadap hamba.
Ibnu Jauzi rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa pendidikan seperti benih sedangkan pendidik seperti tanah. Jika buminya buruk, maka sia-sialah benihnya. Jika tanahnya subur, maka benih akan tumbuh berkembang.” (Al-Adab Asy-Syar’iyah Ibnu Muflih, 3/580)
Beginilah kesalehan orang-orang yang saleh di antara anak-anak para ulama dan orang-orang saleh dan inilah yang jalan kebaikan yang dilakukan oleh para fuqoha dan pendidik. Setelah itu, sebab terputus, hasilnya diserahkan kepada pemilik segala urusan, pencipta perbuatan hamba, penunjuk ke jalan yang lurus. Yang paling mungkin dilakukan oleh para pendidik dan orang tua adalah pendidikan dan pembinaan, adalah kesalehan dan berubahnya hati, tidak ada seorang pun yang mampu mewujudkannya kecuali Allah. Karena itu dikatakan, ‘Adab dari orang tua, kesalehan dari Allah.” (Al-Adab Asy-Syar’iyah, Ibnu Muflih, 3/552)
Terakhir, cara untuk mewujudkan hal itu ada dalam point singkat berikut;
1- Para dai dan pendidik menyadari sendiri tentang hakikat tarbiyah dan perkara terkait dengannya.
2- Para pendidik memberikan pemahaman kepada seluruh kaum muslimin tentang sarana-sarana tarbiyah Islam.
3- Kerjasama antara para pendidik dengan lembaga-lembaga, tokoh dan pakar di tengah masyarakat untuk mendirikan lembaga pendidikan yang diawasi dan diselenggarakan oleh para pendidik robbany.
Wallahua’lam .