Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Apa yang seharusnya dilakukan seorang istri kalau suami menjauhinya, sementara dia ingin menikah (lagi)? Maksudnya suami menghilang semenjak setahun dan tidak meninggalkan bekas. Tanpa meninggalkan bantuan untuk (kebutuhan istrinya). Apakah keluarga suami yang menanggung kebutuhannya? Yang penting sekarang istri menginginkan menikah lagi (dengan orang lain) akan tetapi bagaimana hal itu mungkin, sementara dia tidak dapat menceraikan dan suaminya menghilang?
Alhamdulillah.
Pertama:
Kalau suami hilang maksudnya hilang kabarnya dan tidak diketahui posisinya. Maka istri merujuk ke hakim agama dan memutuskan masa waktu tertentu dalam persangkaan kuat meninggal setelah itu. Sesuai dengan ijtihadnya. Kalau telah lewat masa itu dan tidak ditemukan, maka dihukumi dengan kematiannya. Seorang istri memulai masa iddah wafat empat bulan sepuluh hari setelah itu, diperbolehkan untuk menikah.
Sementara kalau istri mengetahui posisi suaminya, dan menjauhi sampai waktu ini. Maka hukumnya adalah seperti hukum ila’. Maka seorang istri atau walinya menghubungi atau mengadukan masalahnya ke hakim. Sehingga dia dipaksa untuk kembali ke istrinya. Kalau menolak, maka hakim menceraikan satu ceraian atau memutus pernikahannya. Silahkan melihat untuk faedah jawaban soal no. 178188
Kedua:
Nafkah istri yang (suaminya) goib dan hilang, merupakan kewajiban atas harta suaminya disela-sela ketidak beradaannya. Dan semasa waktu menunggu yang diputuskan hakim untuk orang yang hilang. Kalau sekiranya suami ada harta di tangan istrinya. Dia diperbolehkan mengambil untuk nafkahnya dengan makruf.
Kalau ditangannya tidak ada hartanya atau suami tidak mempunyai harta, maka diadukan masalahnya ke hakim. Dalam hal ini ada perbedaan diantara para ulama fikih. Yang lebih nampak adalah bahwa hakim mengharuskan nafkah dari suaminya kalau ada. Atau diberi izin dalam mencari hutangan. Sehingga dia berhutang untuk nafkah dirinya. Kalau telah jelas kematiannya, maka apa yan dinafkahkan setelah kematiannya termasuk dari warisannya. Karena dia tidak ada nafkah lagi setelah kematiannya.
Dalam ‘Mausu’ah Fiqhiyah, (41/50) dikatakan, “Para ulama fikih berbeda pendapat dalam mewajibkan nafkah kepada suami atau yang semisal dalam hukumnya kalau dia tidak ada (goib). Malikiyah, Syafiiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa nafkah istri diwajibkan kepada harta suami yang goib. Baik hartanya ada atau tidak ada. Baik hal itu atas perintah hakim untuk nafkah kalau istri memintanya atau selain itu. Sebagaimana yang ada dari Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam beliau bersabda kepada Hindu istri Abu Sofyan:
خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف
“Ambil secukupnya untuk anda dan anak anda secara makruf.”
Hal itu dari perintah Nabi sallallahu alaihi wa sallam nafkah kepada Abu Sofyan sementara beliau tidak ada.
Sementara Hanafiyah ada dua pendapat dalam mewajibkan nafkah kepada suami yang tidak ada (goib).
Pertama : hakim memerintahkan nafkah kepada suami yang goib untuk istrinya dengan syarat (istri) memintanya. Karena yang menolak adalah suami. Maka tidak boleh menolak nafkah untuk istrinya. Dan ini pendapat Abu Hanifah yang pertama dan pendapat Nakho’I berdasarkan hadits tadi.
Pendapat kedua: tidak memerintahkan nafkah untuk istrinya meskipun memintanya. Meskipun hakim mengetahui istri. Karena perintah dari hakim kepada orang goib termasuk putusan atasnya. telah ada pendapat yang kuat menurut Hanafiyah bahwa hukuman kepada yang goib (tidak ada orangnya) tidak diperbolehkan kecuali seteru orannya hadir sementara dia tidak ada. Dan ini pendapat Abu Hanifah yang lain. Dan ini pendapat Syuraih.
Ini semua kalau suaminya tidak ada (goib) dan tidak mempunyai harta yang dihadirkan. Kalau dia mempunyai harta yang dihadirkan, mungkin di tangan istrinya atau di tangan orang lain. Kalau harta di tangan istrinya, maka itu termasuk nafkah. Menurut mazhab Hanafiyah bahwa istri diperbolehkan menafkahi untuk dirinya tanpa perintah hakim. Berdasarkan hadits Hindun istri Abu Sofyan tadi.
Kalau hartanya ada di tangan orang lain, ia termasuk jenis nafkah. Ulama Hanafiyah berselisih istri mengambil nafkah dari harta suaminya yang ada di tangan orang lain. Baik hartanya itu titipan atau hutang dengan perintah hakim ada dua pendapat.
Ibnu Nujaim berkata, “Kalau sekiranya (suami) aslinya tidak mempunyai harta. Dan hakim meminta kewajiban nafkah, maka menurut kami, tidak didengarkan bukti. Karena termasuk memutuskan terhadap orang yang tidak ada (goib). Sementara menurut Zufar, hakim mendengarkan bukti. Dan tidak diputuskan dengan pernikahan. Dan diberikan nafkah dari harta suami. Kalau dia tidak mempunyai uang, maka hakim memerintahkan wanita itu untuk berhutang. Kalau suami datang dan mengakui pernikahan, maka dia diperintahkan untuk melunasi hutang.” Selesai
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Kalau istri mengambil nafkah untuk darinya dari harta suami yang tidak ada (goib), kemudian ternyata diketahui dia telah meninggal dunia sebelum memberikan nafkah kepadanya, maka dihitung dari nafkah yan diambil istri dari harta warisannya. Baik dia mengambil nafkah (atas inisiatif) dirinya sendiri atau atas perintah hakim.
Dan ini pendapat Abu Aliyah, Muhammad bin Sirin, Syafi’I, Ibnu Mundir dan sepengetahuan saya tidak ada yang berselisih. Karena dia mengambil nafkah (dari sesuatu) yang tidak ada hak.
Kalau ada kelebihan darinya, maka untuk dia (istrinya). Kalau kurang, maka dibebankan kepada istri. Kalau istrinya masih mempunyai hak mahar atau hutang dari suaminya, maka dihitung darinya. Kalau istri tidak mempunyai apa-apa dari hal itu, maka kekurangannya menjadi hutang istri. Wallahu a’lam selesai dari ‘Mugni, (8/208).
Kesimpulannya, dikembalikan kepada hakim agama, kalau suaminya hilang atau tidak ada, dan dia (suami) tidak mempunyai harta di tangan istrinya untuk mewajibkan nafkah untuk istrinya atau diberi izin untuk berhutang. Dan seorang wanita tidak dihalalkan menikah kecuali kalau hakim telah menceraikannya. Atau menghukumi suaminya yang hilang telah meninggal dunia dan diberi waktu iddah wafatnya.
Kalau di negara non Islam dimana disana tidak ada hakim agama, maka Markaz Islam (Islamic Center) dapat menjadi pengganti hakim agama. Maka harus disodorkan permasalahan kepadanya. Sementara mereka akan melihat permasalahannya. Maka keputusan mereka, seperti keputusan hakikm agama. Kemudian setelah itu tinggal pergi ke pengadilan negeri agar menghasilkan berkas resminya saja. Bukan untuk mendapatkan keputusan sebagaimana telah dijelaskan dalam soal no. 194467.
Wallahu a’lam.