Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Seorang dokter wanita ahli penyakit dada didatangi oleh pasien, lalu dia memberinya pengobatan dengan alat Nebulizer. Lalu ditanya oleh pasiennya apakah alat itu bisa membatalkan puasa atau tidak ?, ia menjawab: “Tidak membatalkan”, karena dia telah membaca bahwa alat itu tidak membatalkan, lalu dia ragu-ragu dengan apa yang sudah ia baca dan berkata: “Kemungkinan ada yang kurang jelas, yang saya baca adalah tentang alat semprot asma, maka saya mencari di website anda dan saya dapati bahwa alat ini membatalkan”. Dokter wanita itu berusaha untuk menghubungi pasien tersebut via telepon untuk memberitahunya akan kesalahan yang sudah ia katakan sebelumnya, akan tetapi dia tidak mengangkat telponnya. Pernah sekali diangkat oleh anaknya. Lalu ia berkata: “Berikan kepada ayahmu agar bicara dengan saya, tetapi tidak menjawab juga”. Lalu ia kirimkan surat untuk menyampaikan apa yang mau ia sampaikan hingga dirinya terbebas di hadapan Allah.
Pertanyaan saya adalah:
Alhamdulillah.
Pertama:
Nebulizer adalah merupakan alat untuk untuk dihirup gunanya untuk memindahkan obat yang berbentuk cair agar langsung sampai kepada paru-paru setelah dirubah menjadi uap/embun yang bisa dihirup melalui mulut atau hidung.
Alat ini dipakai untuk penyakit sesak nafas musiman, asma dan lain dan sebagainya dari banyak penyakit pernafasan lainnya.
Memasukkan uap/embun ke mulut atau hidung membatalkan puasa. Alat itu tidak boleh dipake untuk orang yang sedang berpuasa pada siang hari, kecuali dalam kondisi darurat dan jika dipakai maka batal puasanya.
Baca juga jawaban nomor: 78459
Kedua:
Tidak boleh berfatwa dengan perkiraan, dokter tersebut hendaknya memastikan dulu sebelum berkata bahwa menggunakan alat ini tidak membatalkan puasa atau pasiennya yang bertanya kepada para ulama.
Oleh karenanya menjadi kewajiban bu dokter tersebut untuk bertaubat kepada Allah –Ta’ala- dan memberitahukan kepada pasiennya akan kesalahannya, dia sebenarnya sudah punya niatan baik dengan menghubungi pasien tersebut lalu mengirimkan surat kepadanya, tidak ada kaffarat baginya dan tidak punya kewajiban apapun di balik apa yang telah kami sebutkan sebelumnya, tidak ada konsekuensi lain bagi pasien tersebut jika sudah menggunakan alat tersebut kecuali hanya mengqadha’ puasanya.
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya:
“Jika seseorang memberikan fatwa kepada orang lain, lalu mufti tersebut pergi meninggalkannya, dan setelah sekian waktu mufti tersebut mempelajari pendapat para ulama, lalu mendapati kesalahan dalam fatwanya, maka apa yang harus ia lakukan ?, apakah ia berdosa ?, kami mohon penjelsannya”.
Beliau –rahimahullah- menjawab:
“Jika fatwa pertama berdasarkan hasil ijtihad dan dia pun sudah berhak melakukan ijtihad, kemudian setelah diteliti dan didiskusikan lagi ternyata terjadi kesalahan pada ijtihad pertamanya ini, maka tidak ada konsekuensi apapun baginya.
Para ulama kibar telah melakukan hal itu sebelumnya, anda bisa mendapatkan dari satu ulama pada satu permasalahan bisa mengandung beberapa pendapat.
Adapun jika fatwa pertamanya tanpa dilandasi dengan ilmu dan bukan dari hasil ijtihad dan hanya menduga-duga saja, dan sebagian dugaan adalah dosa, maka sejak awal dalam hal ini hukumnya adalah haram berfatwa berdasarkan dugaan dan perkiraan saja; karena kalau ia melakukan hal itu berarti dia telah mengatakan sesuatu tentang Allah tanpa didasari dengan ilmu, mengatakan sesuatu tentang Allah ini termasuk di antara dosa yang terbesar, berdasarkan firman Allah –Ta’ala-:
( قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّي الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ(
“Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui". (QS. Al A’raf: 33)
Jadi sudah menjadi kewajibannya untuk mencari orang yang bertanya tesebut dan memberitahukan kepadanya bahwa fatwa sebelumnya adalah salah dan jika dia telah melakukan itu semoga Allah berkenan untuk mengampuninya.
Masalah fatwa tanpa didasari dengan ilmu adalah masalah yang rawan; karena tidak hanya akan menyesatkan orang yang bertanya saja, bahkan bisa jadi oleh orang yang bertanya tersebut disebarluaskan kepada banyak orang, sehingga akan menyesatkan mereka semuanya juga, ini merupakan sebuah kesalahan dan kedzaliman”. (Fatawa Nur ‘Ala Darb)
Ketiga:
Jika dokter tersebut telah mewajibkan penggunaan alat ini bagi mereka yang membutuhkan pada siang hari dan tidak menyebutkan bahwa alat itu bisa membatalkan puasa atau tidak, maka secara umum ia tidak berdosa karenanya; karena penyakitnya sebenarnya mengharuskan tidak berpuasa, dalam hal ini dia mempunyai udzur. Dan bagi orang yang sakit hendaknya bertanya kepada para ulama apakah menggunakan alat tersebut membatalkan puasa atau tidak ?, jika dia tidak bertanya maka kesalahan ada pada dirinya.
Jika dokter tersebut mewajibkan penggunaannya bagi pasien yang tidak membutuhkannya pada siang hari, dan tidak memperingatkannya juga, maka ia berdosa jika dia mengetahui bahwa alat itu akan digunakan pada siang hari; karena dokter tersebut menjadi penyebab rusaknya puasa pasiennya tanpa ada udzur yang dibenarkan.
Adapun jika dokter tersebut memang belum mengetahui apakah alat itu akan dipakai pasien pada siang hari atau malam hari, maka ia tidak berdosa.
Sebaiknya bagi dokter tersebut dan para dokter lainnya untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan spesialisasi mereka dalam masalah ibadah, seperti; bersuci, shalat, dan puasa; agar mereka tidak merusak ibadah pasien tanpa didasari oleh ilmu.
Jika mereka mendapati masalah arahkan pasiennya agar bertanya kepada para ulama dan hukumnya.
Wallahu A’lam