Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Sahkah taubat Nasuha tanpa adanya penyesalan atas dosa yang sudah berlalu? Apakah makna dari syarat penyesalan dalam taubat?
Alhamdulillah.
Pertama.
Syarat-syarat taubat yang benar adalah :
Apabila taubat itu terkait dengan kezaliman yang dilakukan pada harta, kehormatan dan jiwa manusia, maka ditambah syarat yang keempat, yaitu :
Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk melakukan taubat Nasuha. Dia berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
التحريم/8
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya. Mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya. Cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanannya. Mereka berkata, “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. At-Tahrim : 8).
Al-Baghawi Rahimahullah mengatakan, “Mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang maknanya (Taubat Nasuha). Umar, Ubay dan Mu’adz berkata, ‘Taubat Nasuha adalah bertaubat kemudian tidak akan kembali melakukan dosa lagi, seperti halnya susu tidak akan kembali lagi ke kantongnya.’ Al-Hasan berkata, ‘Taubat Nasuha adalah seorang hamba menyesal atas dosa yang sudah berlalu, sembari bertekad tidak akan mengulanginya lagi.’ Al-Kalbi berkata, ‘Beristighfar dengan lisan, menyesal dengan hati dan menahan diri dengan badan.’ Sa’id bin Al-Musayyab berkata, ‘Yaitu taubat yang mana kalian menasihati diri kalian dengannya.’ Al-Qurthubi berkata, ‘Taubat Nasuha adalah taubat yang dihimpun dari empat perkara, yaitu istighfar dengan lisan, meninggalkan dosa dengan badan, menekadkan diri untuk tidak kembali lagi dengan hati, dan meninggalkan teman-teman yang buruk.’” (Tafsir Al-Baghawi, 8/169). Untuk mengetahui hakikat taubat dan syarat-syaratnya lihatlah pertanyaan no. 13990 dan pertanyaan no. 182767.
Kedua.
Penyesalan merupakan syarat utama atau rukun taubat yang besar.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَعْقِلٍ بْنِ مُقَرِّنٍ قَالَ : كَانَ أَبِي عِنْدَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ فَسَمِعَهُ يَقُولُ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: النَّدَمُ تَوْبَةٌ . رواه أحمد 4012 وصححه الألباني
Diriwayatkan dari Abdullah bin Ma’qil bin Muqarrin, ia berkata, “Suatu ketika ayahku berada di sisi Abdullah bin Mas’ud, kemudian ia mendengar Ibnu Mas’ud berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Penyesalan adalah taubat.’” (HR. Ahmad, no. 4012 dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Sebagian ulama mengatakan, “Cukuplah taubat itu terwujudnya penyesalan, karena penyesalan memerlukan berlepas diri dari dosa-dosa dan bertekad untuk tidak mengulangi lagi. Keduanya muncul dari penyesalan, bukan asal yang menyertai taubat.” Lihat Fathul Bari, 13/471.
Al-Qari Rahimahullah mengatakan, “Penyesalan adalah taubat, karena dari penyesalan akan menimbulkan rukun-rukun yang lainnya yaitu berlepas dulu dari dosa-dosa dan bertekad tidak akan mengulanginya lagi serta berusaha mengembalikan hak-hak kepada yang berhak. Maksudnya adalah penyesalan terhadap perbuatan maksiat karena memang perbuatan tersebut adalah maksiat, bukan karena lainnya.” (Mirqatul Mafatih, 4/1637).
Hal tersebut sudah dijelaskan secara rinci pada jawaban dari pertanyaan no. 247976 .
Apabila penyesalan benar-benar, maka pelaku maksiat akan meninggalkan kemaksiatannya dan bertekad untuk tidak mengulanginya kembali. Dengan demikian sempurnalah taubat dan terwujudlah syarat-syarat seluruhnya.
Ketiga.
Ada beberapa perkara yang dapat membantu hamba dalam mewujudkan penyesalan pada hatinya, yaitu :
Pertama, mengenal Allah setelah tidak mengetahui-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ فَأُولَئِكَ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا * وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
النساء/17-18
“Sesungguhnya taubat yang pasti diterima Allah itu hanya bagi mereka yang melakukan keburukan karena kebodohan, kemudian mereka segera bertaubat. Merekalah yang Allah terima taubatnya. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Tidaklah taubat itu (diterima Allah) bagi orang-orang yang melakukan keburukan sehingga apabila datang ajal kepada seorang di antara mereka, (barulah) dia mengatakan, ‘Saya benar-benar bertaubat sekarang.’ Tidak (pula) bagi orang-orang yang meninggal dunia, sementara mereka di dalam kekufuran. Telah Kami sediakan azab yang sangat pedih bagi mereka.” (QS. An-Nisa’ : 17-18).
Mujahid mongomentari firman Allah bagi mereka yang melakukan keburukan karena kebodohan, “Setiap orang yang bermaksiat kepada Tuhannya adalah orang yang bodoh, hingga ia dicabut dari kemaksiatannya.” (As-Shahih AL-Masbur fit Tafsir bil Ma’tsur, 2/19).
Kedua, mengingat Allah setelah melalaikan-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ * الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ * وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ * أُولَئِكَ جَزَاؤُهُمْ مَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ
آل عمران/133-136
“Bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga (yang) luasnya (seperti) langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan. Demikian (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka (segera) mengingat Allah lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya. Siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Mereka pun tidak meneruskan apa yang mereka kerjakan (perbuatan dosa itu) sedangkan mereka mengetahui(-nya). Mereka itu balasannya adalah ampunan dari Tuhan mereka dan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. (Itulah) sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang mengerjakan (amal-amal shalih).” (QS. Ali Imran : 133-136).
Ali bin Abu Thalib mengatakan, “Abu Bakar memberitahu aku. Benarlah Abu Bakar. Ia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
ما من رجل يُذنب ذنباً، ثم يقوم فيتطهر، ثم يصلي، ثم يستغفر الله، إلا غفر الله له .
“Tidak ada seseorang yang melakukan dosa, kemudian beranjak bersuci, lalu melaksanakan shalat, lantas beristighfar kepada Allah, kecuali Allah akan mengampuninya.”
Kemudian beliau membaca ayat,
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
أخرجه أبو داود (1521)، والترمذي (406)، وابن ماجة (1395)، وصححه الالباني في "صحيح الجامع" (5738).
“Demikian (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka (segera) mengingat Allah lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya. Siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Mereka pun tidak meneruskan apa yang mereka kerjakan (perbuatan dosa itu) sedangkan mereka mengetahui(-nya).” (QS. Ali Imran : 135). (HR. Abu Daud, no. 1521, At-Tirmidzi, no. 406, Ibnu Majah, no. 1395 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 5738.
Ketiga, mengharap rahmat Allah setelah berputus asa darinya.
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (53) وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ (54) وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ (55)
الزمر/53-55
“Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Kembalilah kepada Tuhanmu dan berserahdirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu, kemudian kamu tidak akan ditolong. Ikutilah sebaik-baik apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu (Al-Qur’an) sebelum azab datang kepadamu secara mendadak, sedangkan kamu tidak menyadarinya.’” (QS. Az-Zumar : 53-55).
وعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ نَاسًا مِنْ أَهْلِ الشِّرْكِ كَانُوا قَدْ قَتَلُوا وَأَكْثَرُوا وَزَنَوْا وَأَكْثَرُوا، فَأَتَوْا مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالُوا: إِنَّ الَّذِي تَقُولُ وَتَدْعُو إِلَيْهِ لَحَسَنٌ، لَوْ تُخْبِرُنَا أَنَّ لِمَا عَمِلْنَا كَفَّارَةً ؟ فَنَزَلَ: وَالَّذِينَ لاَ يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ، وَلاَ يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالحَقِّ، وَلاَ يَزْنُونَ [الفرقان: 68]، ونزلت قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ، لاَ تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ [الزمر: 53] رواه البخاري (4810)، ومسلم (122).
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma, bahwasanya orang-orang musyrik dahulu sering membunuh, sering berzina dan lalu mereka mendatangi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan berkata, “Wahai Muhammad, apa yang engkau katakan dan engkau serukan adalah baik jika engkau mengabarkan kepada kami bahwa apa yang telah kami perbuat ada kafaratnya. Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat, ‘Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berzina,’ (QS. Al-Furqan : 68), dan turunlah ayat, ‘Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.’ (QS. Az Zumar : 53). (HR. Al-Bukhari, no. 4810 dan Muslim, no. 122).
Keempat.
Adapun buah dari penyesalan ada empat.
Pertama, hati senantiasa merasa sakit dan meratapi dosa.
قال ابن مسعود- رضي الله عنه-: إِنَّ المُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ» فَقَالَ بِهِ هَكَذَا، قَالَ أَبُو شِهَابٍ: بِيَدِهِ فَوْقَ أَنْفِهِ .رواه البخاري (6308)
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu mengatakan, “Sesungguhnya orang Mukmin melihat dosa-dosanya seperti ia duduk di pangkal gunung, ia khawatir gunung itu akan menimpanya. Sedangkan orang fajir (selalu berbuat dosa) melihat dosa-dosanya seperti lalat yang menempel di batang hidungnya, kemudian ia mengusirnya seperti ini lalu terbang." Abu Syihab mengisyaratkan dengan tangannya di atas hidungnya.” (HR. Al-Bukhari, no. 6308).
Kebalikannya adalah bergembira jika ia mampu melakukan dosanya dan memiliki kesempatan untuk melakukannya.
فعن ابن عباس رضي الله عنهما أنه قال: "فرحُك بالذنب إذا ظفرت به أعظمُ من الذنب. وحزنُك على الذنب إذا فاتك أعظمُ من الذنب رواه أبو نعيم في الحلية (1/ 324) .
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, ia berkata, “Rasa gembira karena berhasil berbuat dosa itu lebih besar dosanya dibandingkan perbuatan dosa itu sendiri. Rasa sedih karena gagal berbuat dosa adalah dosa yang lebih besar dibandingkan perbuatan dosa itu sendiri.” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 1/324).
Kedua, berharap tidak akan mengulangi dosa, akan tetapi membenci kebiasaan berbuat dosa setelah Allah mengampuninya, sebagaimana ia tidak suka dilemparkan ke dalam neraka.
عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ: مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ .رواه البخاري (6941)، ومسلم (43).
Diriwayatkan dari Anas bin Malik dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Tiga perkara yang apabila ada pada seseorang, ia akan mendapatkan manisnya iman. Jika Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya. Jika ia mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah. Dan dia benci kembali kepada kekufuran seperti dia benci bila dilempar ke neraka.” (HR. Al-Bukhari, no. 6941 dan Muslim, no. 43).
Kebalikannya, ia terus-menerus melakukan dosa di setiap tempat dan waktu, bersama dengan sahabat-sahabatnya. Allah Ta’ala berfirman,
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا * إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا
مريم/59-60
“Kemudian, datanglah setelah mereka (generasi) pengganti yang mengabaikan shalat dan mengikuti hawa nafsu. Mereka kelak akan tersesat. Kecuali orang yang bertaubat, beriman, dan beramal shalih, mereka akan masuk surga dan tidak dizalimi sedikit pun.” (QS. Maryam : 59-60).
Ketiga, melepaskan diri dari dosa.
Hal itu karena berulang-ulang melakukan dosa dapat memutuskan taubat dan menunjukkan bahwa taubat tidak pernah terwujud dalam hati dengan sebenarnya.
Imam Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah mengatakan, “Menurut saya dalam masalah ini, taubat tidak sah dilakukan pada suatu dosa jika diserati dengan terus-menerus melakukan dosa dari jenisnya. Sedangkan taubat dari suatu dosa disertai dengan melakukan dosa lain yang tidak terkait dengan dosa itu dan tidak berasal dari jenis dosa yang sama, maka taubatnya sah. Seperti jika ia bertaubat dari riba, namun tidak bertaubat dari meminum khamr, misalnya, maka taubat dari riba tetap sah.
Sedangka apabila bertaubat dari riba Fadhl, namun tidak bertaubat dari riba Nasi’ah atau sebaliknya. Atau bertaubat dari mengkonsumsi ganja, namun berulang-ulang meminum khamr atau sebaliknya, maka tidak sah taubatnya.
Seperti orang yang bertaubat dari zina dengan seorang perempuan, namun berulang-ulang berzina dengan selain perempuan, maka tidak disebut bertaubat. Atau bertaubat dari meminum perasan anggur yang memabukkan, tetapi dia juga berulang-ulang meminum minum-minuman memabukkan lainnya, maka pada hakikatnya ia tidak bertaubat dari dosa, akan tetapi beralih dari satu jenis menuju ke jenis lain.
Berbeda dengan orang yang beralih dari suatu maksiat menuju ke maksiat yang lain yang sejenis.” (Madarijus Salikin, 1/285).
Keempat.
Bertekad untuk tidak mengulangi dosa lagi.
Jika ia kembali melakukan dosa, maka hal itu dapat mencemarkan kesempurnaan dan kemanfaatan taubatnya, tidak sampai mengotori sah dan keaslian taubatnya.
Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 14/123, disebutkan, “Di dalam bertaubat tidak disyaratkan: tidak mengulangi dosa lagi yang sudah ditaubati, menurut kebanyakan fuqaha. Akan tetapi, taubat hanya butuh melepaskan diri dari dosa, menyesalinya dan bertekad secara pasti untuk meninggalkan kebiasaan berbuat dosa. Jika ia terbiasa melakukan dosa pada saat bertaubat tidak akan terbiasa melakukan dosa, maka ia seperti orang yang mulai berbuat maksiat, dan tidak membatalkan taubatnya yang dulu, dosa yang sudah terangkat dengan taubatnya yang dulu tidak kembali kepada dirinya dan seolah dosa itu tidak terjadi. Hal itu berdasarkan nash hadits:
التَّائِبُ مَنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ .
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak memiliki dosa.”
Sebagian ulama mengatakan bahwa dosa dari perbuatannya yang awal kembali kepadanya, karena bertaubat dari dosa posisinya seperti kedudukan Islam terhadap kekafiran. Orang kafir jika masuk Islam, Islamnya akan menghapus dosa kekafiran dan hal-hal yang melekat dengan kekafiran. Apabila ia murtad, maka dosanya yang awal akan kembali kepadanya disebabkan karena kemurtadan tersebut.
Pendapat yang benar adalah tidak membiasakan perbuatan dosa, serta terus-menerus bertaubat merupakan syarat sempurna dan manfaatnya taubat, bukan syarat sahnya taubat atas dosa yang telah lewat.
Kelima.
Buah dari bertekad tidak mengulangi dosa lagi ada empat :
Pertama, menutup pintu dosa.
Yaitu dengan menjauhi setiap pertemanan atau fasilitas-fasilitan yang menyebabkan bermaksiat kepada Allah Ta’ala.
فعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَا تَصْحَبْ إِلَّا مُؤْمِنًا، وَلَا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَّا تَقِيٌّ .رواه أبو داود (4832)، والترمذي (2395)، وحسنه الألباني
Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwasanya ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah berteman kecuali dengan orang Mukmin. Janganlah makan makananmu kecuali orang yang bertakwa.” (HR. Abu Daud, no. 4832 dan At-Tirmidzi, no. 2390 dan dihasankan oleh Al-Albani.
Kedua, menutup jalan yang mengarah pada dosa.
Yaitu dengan menjauhi syubhat dan semua yang dapat menyebabkan terjerumus pada hal-hal yang haram.
فعَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: - وَأَهْوَى النُّعْمَانُ بِإِصْبَعَيْهِ إِلَى أُذُنَيْهِ - إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ، وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى، يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ، أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى، أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ، صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ، فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ .رواه البخاري (52)،ومسلم (1599).
Diriwayatkan dari An-Nu’man bin Basyir, ia berkata, “Aku mendengar (An-Nu’man mengarahkan kedua jarinya ke kedua telinganya) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui (hukumnya) oleh kebanyakan manusia . Barangsiapa menjauhi perkara syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa terjerumus kepada perkara syubhat, maka sungguh ia telah terjatuh ke dalam perkara yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar tanah larangan, dikhawatirkan ia akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah! Bahwa setiap raja itu memiliki tanah larangan (undang-undang). Ketahuilah! Bahwa larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. ketahuilah! Bahwa di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging; apabila ia baik, maka baik pula seluruh tubuhnya, dan apabila ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah! Bahwa segumpal daging itu adalah hati.’” (HR. Al-Bukhari, no. 52 dan Muslim, no. 1599).
Ketiga, melakukan perbuatan yang berlawanan dengan dosa.
Taubatnya orang menyembunyikan ajaran Allah adalah dengan menjelaskan ajaran yang diturunkan-Nya. Taubatnya orang munafik tidak sah kecuali dengan melaksanakan ajaran agama ikhlas karena Allah.
Imam Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah mengatakan, “Taubat dari dosa adalah dengan melakukan kebalikan dari dosa itu.
Oleh sebab itu Allah mensyaratkan pertaubatan orang yang menyembunyikan keterangan dan petunjuk yang diturunkan Allah dengan menjelaskannya, karena ketika dosa mereka berupa menyembunyikan petunjuk Allah, maka taubatnya adalah dengan menjelaskan petunjuk itu. Allah Ta’ala berfirman,
اِنَّ الَّذِيْنَ يَكْتُمُوْنَ مَآ اَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنٰتِ وَالْهُدٰى مِنْۢ بَعْدِ مَا بَيَّنّٰهُ لِلنَّاسِ فِى الْكِتٰبِۙ اُولٰۤىِٕكَ يَلْعَنُهُمُ اللّٰهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللّٰعِنُوْنَۙ اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا وَاَصْلَحُوْا وَبَيَّنُوْا فَاُولٰۤىِٕكَ اَتُوْبُ عَلَيْهِمْ ۚ وَاَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
البقرة: 159 - 160
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (Al-Qur’an), mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat, kecuali orang-orang yang telah bertaubat, mengadakan perbaikan, dan menjelaskan. Mereka itulah yang Aku terima taubatnya. Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah : 159-160).
Allah juga mensyaratkan ikhlas pada pertaubatan orang munafik, karena dosanya adalah riya’. Allah Ta’ala berfirman,
اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ فِى الدَّرْكِ الْاَسْفَلِ مِنَ النَّارِۚ
النساء: 145
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) di tingkat paling bawah dari neraka.” (QS. An-Nisa : 145). Kemudian Allah melanjutkan,
اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا وَاَصْلَحُوْا وَاعْتَصَمُوْا بِاللّٰهِ وَاَخْلَصُوْا دِيْنَهُمْ لِلّٰهِ فَاُولٰۤىِٕكَ مَعَ الْمُؤْمِنِيْنَۗ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللّٰهُ الْمُؤْمِنِيْنَ اَجْرًا عَظِيْمًا
النساء: 146
“Kecuali, orang-orang yang bertaubat, memperbaiki diri, berpegang teguh pada (agama) Allah, dan dengan ikhlas (menjalankan) agama mereka karena Allah, mereka itu bersama orang-orang mukmin. Kelak Allah akan memberikan pahala yang besar kepada orang-orang mukmin.” (QS. An-Nisa’ : 146).” (Madarijus Salikin, 1/370, dengan sedikit penyesuaian).
Keempat, membuka jalan yang mengarahkan pada amal shalih dan istikamah pada ketaatan pada Allah.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى
طه /82 .
“Sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi yang bertaubat, beriman, dan berbuat kebajikan, kemudian tetap dalam petunjuk.” (QS. Thaha : 82).
Ibnu ‘Asyur Rahimahullah mengatakan, “Makna Ihtada adalah terus menerus dalam petunjuk dan tetap berada di atasnya. Ia seperti firman Allah Ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ قالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقامُوا فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
الْأَحْقَاف: 13
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah,’ kemudian tetap istikamah, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak (pula) bersedih.” (QS. Al-Ahqaf : 13).” (At-Tahrir wat Tanwir, 16/276).
Dengan begitu jelaslah kedudukan penyesalan pada pertaubatan seorang hamba. Penyesalan merupakan dasar kembalinya hamba kepada Tuhan semesta alam dan dasar meninggalkan godaan-godaan setan.
Kami memohon kepada Allah agar menganugerahkan taubat Nasuha, dan menerima taubat kita.