Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Kemarin terjadi perdebatan antara saya dengan salah seorang yang mengingkari sunnah. Dia sebutkan kepadaku bahwa At-Thobari dan Ibnu Taimiyah – rahimahumallah ta’ala- keduanya mengatakan, “Bahwa hadits-hadits dzanniyatuts tsubut (validitasnya tidak kuat) dari Nabi sallallahu’aliahi wa sallam itu tidak pasti. Diantara syubhatnya bahwa hadits-hadits ahad tidak mempunyai faedah keyakinan tapi dzanniyatus tsubut (validitasnya tidak pasti). Saya mohon penjelasan terkait dengan syubhat ini serta cara mengcounternya?
Alhamdulillah.
Kalau ada hadits yang shahih dari Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam maka harus diterima dan diamalkan tanpa membedakan antara hadits Ahad dan Mutawatir. Ini adalah madzhab para shahabat, para tabiin, dan orang yang mengikutinya dengan kebaikan dengan menerima hadits kalau shahih dari sisi sanadnya. Mereka mengamalkannya dan mereka tidak berhenti dari hal itu. Maka siapa yang menolak hadits Ahad, maka dia akan banyak menolak sunnah, karena mayoritasnya adalah hadits ahad. Hal ini bertentangan dengan firman Allah ta’ala:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
سورة الحشر: 7
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Ini adalah perintah Qur’an untuk mengambil apa yang datang dari Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam, maka tidak mungkin dipahami hanya mutawatir saja yang hanya sedikit dan terbatas tidak akan mencakup tentang masalah keyakinan (Aqidah), ibadah, muamalat dan akhlak.
Maka propaganda menolak hadits ahad adalah ajakan untuk meninggalkan mayoritas sunnah dan menolak mengamalkan ayat ini.
Hadits-hadits qath’iyyatus tsubut (valid) maksudnya adalah hadits-hadits yang tegas dan pasti akan keshahihannya disandarkan kepada Rasulullah sallallahua’aaihi wa sallam. Yaitu ada empat macam:
Pertama: hadits-hadits mutawatir.
Kedua: Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim yang telah diterima oleh ummat dengan penerimaan sempurna.
Ketiga: diantara hadits-hadits qathiyyatus tsubut adalah apa yang telah menjadi kesepakatan (ijmak) umat dan diterima meskipun tidak terdapat dalam shahihain (Bukhori dan Muslim) seperti tadi bahwa umat ini terjaga dari kesalahan dalam ijma’nya.
Keempat: Khabar (hadits) yang banyak melalui banyak jalan yang tidak ada cela di dalamnya. Silahkan melihat penjelasan akan hal itu di jawaban soal no. (197164).
Dari sini, maka siapa yang menganggap bahwa hadits Ahad saja itu bukan qath’i (pasti) maka itu tidak benar, bahkan hadits ahad yang diterima oleh umat dengan penerimaan sempurna, atau begitu banyak melalui berbagai jalan (sumber) meskipun tidak sampai ke derajat mutawatir, itu juga qothiyyatus tsubut (pasti dari sisi ketetapannya).
Telah kami jelaskan dalam jawaban soal no. (126571), bahwa pembagian hadits menjadi hadits Mutawatir dan hadits Ahad, bukan maksudnya itu meragukan hadits Ahad. Dan didapatkan ilmu itu dari hadits Mutawatir, tidak meniadakan bersandar terhadap hadits Ahad serta menerimanya. Kami buatkan permisalan akan hal itu untuk menjelaskannya silahkan anda merujuknya.
Ahlussunnah berijma’ (konsensus) menerima hadits Ahad dalam masalah keyakinan (aqidah). Meskipun mempunyai faedah dzon (persangkaan). Hal itu tidak ada yang menyalahinya kecuali pelaku Bid’ah dari kalangan Mu’tazilah dan yang sepaham dengan mereka.
Imam Ibnu Abdul Bar rahimahullah mengatakan, “Rekan-rekan kami dan lainnya berbeda pendapat terkait apakah khabar (hadits) ahad dari perawi yang adil dapat menjadi keyakinan dan diamalkan sekaligus, ataukah harus diamalkan tanpa mendapatkan ilmu.
Yang menjadi pendapat mayorits ulama adalah bahwa wajibnya pengamalan meskipun riwayatnya tidak sampai derajat yakin. Ini pendapat Syafi’i dan mayoritas pakar fikih dan ahli logika. Menurut mereka tidak harus riwayatnya sampai level yakin kecuali apa yang telah disaksikan oleh Allah dan tidak ada uzur untuk menyatakan riwayatnya tidak meyakinkan.
Sementara dari kalangan pakar atsar (hadits) dan sebagian pakar nadhar (akal), berpendapat bahwa perkara ini harus mempunyai riwayat yang meyakinkan dan diamalkan secara bersamaan (semuanya). Diantara mereka adalah Husain Al-Karobisi dan lainnya. Disebutkan oleh Ibnu Khuwaiz Mindad bahwa pendapat ini diambilkan dari madzhab Malik.
Abu Umar mengatakan, “Yang menjadi pendapat kami adalah mewajibkan beramal tanpa mendapatkan faedah ilmu. Seperti persaksian dua orang saksi dan empat orang itu sama.”
Ini merupakan pendapat kebanyakan pakar fikih dan atsar (hadits). Mereka semua menerima dari khabar (hadits) satu yang adil dalam masalah keyakinan (I’tiqod). Mereka menentang dan loyal atasnya. Dan menjadikan sebagai syariat dan agama dalam keyakinannya. Dan itu pendapat ahlus sunnah. mereka dalam masalah-masalah hukum seperti yang telah kami sebutkan. Wabillahit taufiq. (At-Tamhid, 1/7).
Beliau rahimahullah mengatakan, “Ahli Ilmu dan Ahli fikih, dan atsar pada semua kota sepengetahuan saya mereka semua berijma’ (konsensus) akan diterimanya khabar ahad dari perawi orang adil dan harus diamalkan kalau ada ketetapannya dan tidak dapat dihapus dengan atsar atau ijma’ lainnya.
Dan ini adalah pendapat semua pakar fikih pada setiap masa. Dari kalangan para shahabat sampai pada hari kita ini. Kecuali dari kalangan orang Khowarij dari kalangan ahli Bid’ah yang jelek tidak kita anggap itu sebagai perbedaan. Selesai dari ‘At-Tamhid, (1/2).
Maka dikatakan bahwa (hadits) Ahad baik dia mempunyai faedah dhon (persangkaan) maupun ilmu, maka harus diterima dan diamalkannya secara sama-sama dalam hukum-hukum dan keyakinan.
Manhaj At-Tobari rahimahullah tidak keluar dari apa yang menjadi pendapatnya Ibnu Abdul Bar. Beliau berpendapat bahwa hadits Ahad tidak mempunyai faedah ilmu, akan tetapi harus dibenarkan dan diamalkan. Meskipun dalam masalah-masalah keyakinan. Dan hal itu sesuai dengan apa yang ada dalam tulisan-tulisannya rahimahullah.
Beliau rahimahullah mengatakan, “Kalau khabar (hadits) yang ada itu adalah khabar yang bisa dijadikan hujjah (alasan) dengan posisi seperti melihat dan mendengarkan, maka wajib secara agama kepada orang yang mendengarkanya akan hakekat dalam persaksiannya bahwa hal itu telah ada dalam khabar, seperti dia menyaksikan akan hakekat sesuatu dengan mata dan mendengarkan (dengan telinga secara langsung).
Kalau khabar yang ada itu khabar yang tidak dengan pasti adanya uzur dan tidak menghilangkan keraguan, tapi orang yang menukilnya dari kalangan orang jujur dan adil, maka orang yang mendengarkannya wajib mempercayainya dalam khabarnya. Dalam persaksian atasnya dengan apa yang diberitahukan kepadanya. Seperti perkataan kita dalam khabar Ahad yang adil. Dan hal itu telah kita jelaskan bukan pada forum ini, sudah cukup dan tidak perlu diulangi lagi. Selesai dari kitab ‘At-Tabsiroh Fi Ma’alimid din, hal. 139.
Beliau rahimahullah mengatakan, “Hal itu merupakan syariat terakhir yang Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam titipkan kepada orang yang menitipkan kepadanya tidak lepas dari salah satu dua perkara:
Kalau orang yang menyampaikannya itu satu atau sekelompok orang yang mempunyai arti satu, dimana mereka tidak memastikan adanya uzur orang yang menyampaikan dari syariat, maka bisa jadi dari orang yang bukan adil dan jujur, maka tidak harus mengamalkannya dan tidak juga mendapatkan ilmu dari khabar mereka. Kalau diantara mereka ada yang adil dan jujur, maka mengharuskan diterima khabarnya kepada orang yang menyampaikannya hal itu untuk mengamalkan meskipun tidak mempunyai faedah ilmu. Selesai dari ‘Tahzibul Atsar, (2/768).
Beliau rahimahullah mengatakan, “Diantaranya, apa yang dinukil oleh satu orang yang adil atau kelompok yang mana tidak mengharuskan adanya ilmu dan tidak mengharuskan adannya uzur. Meskipun lazimnya adanya hal itu dengan keberadaannya untuk membenarkannya.
Diantaranya: apa yang dinukil orang yang harus datang dengannya – bagi orang yang mendatangkannya – mendapatkan ilmu dengan apa yang didatangkannya, dan memastikan adanya uzur. Hal itu dengan menukil sekelompok orang yang tidak lupa dan salah. Dan dilarang menukilnya –dari apa yang dinukilnya – suatu kebohongan). (Tahzibul atsar. Musnad Tolhah dan Zubair. Hal. 439)
Beliau rahimahullah mengatakan, “Tidak ada khabar yang disebutkan atau saya tidak ingat, dimana sanadnya dinukil oleh orang terpercaya dan adil dari Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam kecuali menurut kami itu adalah benar. Dan menjadi landasan agama untuk ummat merupakan suatu kelaziman.” (Tahzibul Atsar, 2/713).
Maka beliau rahimahulah mengharuskan untuk mengamalkan dan mempercayai dari khabar (hadits) ahad, dan ummat harus menjadikan itu sebagai bagian dari agama tanpa membedakan antara suatu hukum dengan yang lainnya.
Silahkan melihat kitab ‘Usulud Din menurut Imam Thobari’ karangan DR. Toha Muhammad Naja, hal. 61. ‘Manhaj Imam Thobari Fi Naqdil Ahadits’ karangan DR. Nabilah binti Zaid bin Sa’ad, (2/707).
Sementara Ibnu Taimiyah rahimahullah beliau berpendapat bahwa hadits ahad kalau dipenuhi berbagai Riwayat penguat maka dia memiliki derajat yakin. Beliau menjadikan hadis Ahad sebagai landasan secara mutlak, baik perkara hukum maupun akidah.
Beliau rahimahullah mengatakan, “Oleh karena itu yang benar adalah bahwa khabar ahad terkadang mempunyai faedah ilmu ketika dikuatkan oleh Riwayat lainnya yang sudah mencapai derajat yakin. Dari sini, maka kebanyakan teks (matan) diantara teks-teks hadits shahihain itu mutawatir dari sisi lafadznya (teksnya) menurut pakar ilmu hadits. Meskipun yang lainnya belum diketahui apakah itu mutawatir. Oleh karena itu kebanyakan matan (teks hadits) shahihain yang diketahui oleh para ulama’ hadits menjadi ilmu qoth’i (pasti) bahwa Nabi sallallahu’alaihi wa sallaam mengatakannya. Terkadang karena mutawatir menurut mereka, terkadang karena diterima oleh umat dengan penerimaan sempurna.
Khabar ahad yang diterima menghasilkan yakin menurut mayoritas ulama, dari kalangan Abu Hanifah, Malik, Syafi’I dan Ahmad. Dan ini adalah pendapat kebanyakan kalangan Asy’ari seperti Isfirayini dan Ibnu Faurok, meskipun pada dirinya tidak mengatakan mendapatkan faedah kecuali persangkaan semata. Akan tetapi ketika ada indikasi digabungkan dengan ijma pakar ilmu hadits, dan diterima dengan benar, maka posisinya seperti ijma’ ulama ilmu fikih terhadap suatu hukum. Bersandarkan dalam hal itu kepada dhohir (yang nampak) atau qiyas (analogi) atau khabar (hadits) satu. Maka hukum itu menjadi qoth’i (pasti) menurut jumhur (mayoritas ulama’). Kalau tanpa adanya ijma’, maka bukan qoth’i (pasti) karena ijmak itu terpelihara (dari kesalahan).
Maka ahli ilmu dengan hukum syariat mereka tidak berijma’ (sepakat) dengan menghalalkan yang haram juga tidak mengharamkan yang halal. Begitu juga pakar ilmu hadits. Mereka tidak berijma’ (konsensus) membenarkan yang bohong dan tidak berbohong terhadap yang benar.
Terkadang yakin salah satu di antara mereka dikuatkan dengan indikasi khabar yang mewajibkan adanya ilmu untuk mereka. Siapa yang mengetahui dari apa yang mereka ketahui dan mendapatkan ilmu dari apa yang didapatinya. (Majmu’ Fatawa, 18/40-41).
Kesimpulannya:
Bahwa pada umumnya umat Islam menerima hadits ahad dalam perkara hukum halal dan haram, dan mayoritas dikalangan mereka –dan ini pendapat Ahlus Sunnah- juga menerimanya dalam masalah aqidah. Dan masalah dhonniyah (persangkaan) dan Qothiyyah (yang pasti) tidak meniadakan kewajiban untuk mempercayai dan mengamalkannya.
Wallahua’lam