Alhamdulillah.
Pertama: tanda suci dari haid bagi seorang wanita
Seorang wanita diketahui telah suci dari haid dengan salah satu dari dua tanda ini:
1. Kering, hal itu dengan berhentinya darah, cairan kekuning-kuningan dan cairan keruh. Dengan menyeka memakai kapas dan semisalnya ketika dikeluarkan dalam kondisi bersih tidak ada bekasnya. Seperti yang telah kami sebutkan.
2. Lendir putih, yaitu lendir mirip gip yaitu seperti warna kapur. Dan kebanyakan para wanita tidak melihatnya. Kalau telah kering, hal itu sudah cukup menghukumi dia telah suci tidak harus menunggu lendir putih. Al-Baji dalam kitab ‘Al-Muntaqo Syarkh Muwatto’ (1/119) mengatakan, “Biasanya suci (dari haid) itu ada dua perkara, lendir putih yaitu air putih. Diriwayatkan dari Ali bin Ziyad dari Malik, ia mirip dengan air mani. Diriwayatkan Ibnu Qosim dari Malik ia mirip dengan air seni. Yang kedua, kering. Yaitu seorang wanita memasukkan kapas atau kain ke kemaluannya kemudian dikeluarkan dalam kondisi kering tidak ada bekas darahnya sama sekali. biasanya para wanita berbeda akan hal itu. Diantara mereka ada yang melihat lendir putih, sebagian lainnya melihat yang kering. Siapa yang biasanya melihat salah satu dari tanda tersebut maka dia telah dihukumi suci. Selesai
Kedua: memastikan telah selesai haidnya.
Kalau kebiasaan anda tujuh hari atau delapan hari, kalau diakhir tujuh hari anda menunggu apakah telah suci atau tidak. Tidak dibenarkan menunggu 24 jam, kemudian mandi tanpa menyeka dengan kapas dan semisalnya. Tanpa keluarnya lendir putih. Hal itu karena dua hal.
Pertama: bisa jadi telah bersih diakhir hari ketujuh, sehingga dia telah meninggalkan shalat dan puasa wajib.
Kedua: terkadang haidnya berlanjut setelah hari kedelapan. Sehingga ketika mandi –tanpa memastikan telah suci atau belum- itu tidak dibenarkan. Oleh karena itu, anda harus berhati-hati, menyeka ini tidak cukup diseka di luar kemaluan. Apalagi hanya menunggu kemudian mandi. Yang menunjukkan akan hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Malik di ‘Muwatho’ (130) dari Ummu Alqomah beliau berkata:
كَانَ النِّسَاءُ يَبْعَثْنَ إِلَى عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ بِالدِّرَجَةِ فِيهَا الْكُرْسُفُ ، فِيهِ الصُّفْرَةُ مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ ، يَسْأَلْنَهَا عَنْ الصَّلَاةِ ؟ فَتَقُولُ لَهُنَّ لَا تَعْجَلْنَ حَتَّى تَرَيْنَ الْقَصَّةَ الْبَيْضَاءَ
Dahulu para wanita mengutus ke Aisyah Ummul Mukminin dengan bejana yang ada kain (kapas), di dalamnya ada cairan kekuning-kuningan dari haid. mereka bertanya tentang shalat? Maka beliau mengatakan kepadanya,”Jangan tergesa-gesa sampai anda semua melihat lendir putih. Beliau menginginkan hal itu adalah bersih dari haid. (HR. Bukhori, secara menggantung Kitab Haid Bab Iqbalul Haid wa Idbaruhu.
Kata ‘والدُّرْجة’ adalah bejana kecil tempat wanita menaruh wewangian dan peralatannya. Silahkan melihat ‘An-nihayah karangan Ibnu Atsir, (2/246). Dan kata ‘والكرسف’ adalah kapas.
Maka tidak cukup dengan menyeka dengan kapas, bahkan para wanita mengirimkan ke Aisyah radhiallahu anha untuk memastikan kesuciannya.
Ketiga:
Sebagian ulama’ berpendapat, bahwa seorang wanita tidak harus melihat waktu sucinya di tengah malam, akan tetapi melakukan hal itu mendekati waktu shalat, dilakukan hal itu sebelum tidur, dan ketika shalat subuh maksudnya sebelum terbit matahari.
Bukhori rahimahullah dalam shohihnya mengatakan, “Bab Iqbalul Haid wa Idbarihi… telah sampai kepada putrinya Zaid bin Tsabit bahwa para wanita mencari lampu-lampu waktu tengah malam untuk melihat apakah telah suci? Maka beliau mengatakan, “Tidak pernah para wanita (Shohabiyat) melakukan hal ini dan beliau mencelanya. Selesai
Atsar ini dikeluarkan oleh Imam Malik di ‘Muwatho’
Ibnu Abdul Bar rahimahullah mengatakan, “Putri Zaid bin Tsabit mengingkari para wanita yang memperhatikan di selain waktu shalat dan yang mendekatinya. Karena waktu tengah malam bukan waktu shalat. Sesungguhnya para wanita selayaknya memperhatikan kondisinya untuk shalat. Kalau telah bersih, maka bersiap-siap untuk mandi karena dia harus menunaikan shalat. Silahkan melihat juga di kitab ‘Al-Muntaqo Syarkh Muwatho’ karangan Al-Baji, (1/120) dan Fathul Bari karangan Ibnu Hajar, (1/421).
Dardir dalam kitab As-Syarkhul Kabir, (1/172) mengatakan, “(Tidak ada atasnya) maksudnya bagi orang yang haid, baik wajib maupun sunah (Melihat kesuciannya sebelum fajar) siapa tahu mendapatkan dua isya’ (magrib dan isya’) dan subuh, bahkan hal itu dimakruhkan. Karena hal itu bukan prilaku orang-orang. Berdasarkan perkataan Imam: Hal itu tidak mengherankan bagiku (bahkan) (Wanita haid) diharuskan melihatnya (ketika akan tidur) waktu malam. Agar diketahui hukum shalat malam dan puasa. Karena asalnya terus dalam kondisi asalnya (haid). (dan) ketika shalat (Subuh). Dan shalat-shalat lainnya. Dengan kewajiban yang masih leluasa pada semuanya. Sampai ketika tersisa cukup untuk mandi dan shalat, maka waktu itu masuk wajib yang sempit.”
Selesai wallahu’alam.