Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Di salah satu kelas fisika, saya berdiskusi dengan guru saya tentang Ad-Dharuriyat Al-Khams (Lima Kebutuhan Penting). Beliau mengatakan bahwa menjaga jiwa lebih penting daripada menjaga agama. Saya mengatakan kepada beliau bahwa menjaga agama lebih penting. Beliau tidak menerima apa yang saya katakan, karena beliau beralasan bahwa Islam membolehkan pasien dengan penyakit kronis (diabetes). Beliau meminta dalil dari Al-Qur’an dan hadits serta dalil-dalil dari para tokoh fuqaha, seperti Ibnu Taimiyyah, As-Syafi’i dan fuqaha lainnya agar beliau yakin. Saya ingin Anda memberikan argumen-argumen ini kepada saya beserta penjelasan dan sumbernya. Jazakallah khairal jaza’.
Alhamdulillah.
Pertama.
Ad-Dharurat Al-Khams (lima kebutuhan penting) yaitu agama, jiwa, akal, nasab (keturunan), harta, sebagian menambahkan kehormatan.
Az-Zarkasyi Rahimahullah mengatakan, “Berdasarkan kekuatan dirinya, atau jika dikaitkan dengan kebutuhan manusia terhadapnya, Maslahat Mu’tabarah dibagi menjadi Dharuriyah, Hajiyah dan Tahsiniyah.
Pertama, Dharuriyah adalah sesuatu yang harus ada untuk menegakkan kemaslahatan agama dan dunia, yang mana apabila ia tidak ada (hilang), maka kemaslahatan dunia tidak akan berjalan dengan lurus, akan tetapi akan rusak, goncang dan kehidupan akan hilang. Di akhirat akan sirna keselamatan dan kenikmatan serta kembali dengan kerugian yang nyata.
Dharuriyah mengandung penjagaan terhadap salah satu dari tujuan syariat yang lima, yaitu menjaga agama dengan ditentukannya syariat pembunuhan dan peperangan. Maksud dari membunuh di sini adalah membunuh orang yang murtad dan lainnya yang apabila terjadi penyebab yang mengharuskan hukum bunuh demi untuk kemaslahatan agama. Maksud peperangan adalah berjihad kepada orang yang boleh diperangi. Menjaga jiwa yaitu dengan disyariatkannya hukuman Qishash. Menjaga akal yaitu dengan disyariatkannya Had bagi orang yang meminum minuman keras. Menjaga keturunan yaitu dengan diharamkannya zina dan kewajiban menjatuhkan hukuman pada perbuatan zina. Menjaga harta yaitu dengan mewajibkan menjamin (menanggung) bagi orang yang bertindak sewenang-wenang terhadap harta benda, yaitu dengan memotong tangan dalam kasus pencurian. Inilah yang dihimpun dalam firman Allah,
يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ اِذَا جَاۤءَكَ الْمُؤْمِنٰتُ يُبَايِعْنَكَ عَلٰٓى اَنْ لَّا يُشْرِكْنَ بِاللّٰهِ شَيْـًٔا وَّلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِيْنَ وَلَا يَقْتُلْنَ اَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِيْنَ بِبُهْتَانٍ يَّفْتَرِيْنَهٗ بَيْنَ اَيْدِيْهِنَّ وَاَرْجُلِهِنَّ
“Wahai Nabi, apabila perempuan-perempuan Mukmin datang kepadamu untuk mengadakan bai’at (janji setia) bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka….” (QS. Al-Mumtahanah : 12).
At-Thufi Al-Hambali, kemudian diikuti oleh Tajuddin As-Subki, menambahkan yang keenam yaitu menjaga kehormatan, karena sesungguhnya kebiasaan (tradisi) orang-orang yang berakal mereka akan mencurahkan jiwa dan harta mereka untuk membela kehormatan mereka. Maka apa yang penting untuk ditebus (dibela) lebih utama untuk menjadi kebutuhan penting.” (Tasynif Al-Masami’ Syarh Jam’i Al-Jawami’, 3/15).
Kedua.
Yang termasyhur bahwa menjaga agama lebih diutamakan daripada menjaga jiwa, oleh karena itulah disyariatkan jihad fi sabilillah -untuk menjaga agama- padahal jihad merupakan dugaan kuat akan rusaknya jiwa dan harta.
Dalam Syarah Jam’u Al-Jawami’ (3/322) Jalaluddin Al-Mahalli mengatakan, “Ad-Dharuri adalah kebutuhan yang sampai pada batas penting, seperti menjaga agama (Hifzhu Ad-Din) yang membuat disyariatkannya membunuh orang kafir dan hukuman bagi para penyeru bid’ah. Kemudian menjaga jiwa (Hifzhu An-Nafs) yang membuat disyariatkannya Qishash. Lalu menjaga akal (Hifzhu Al-‘Aql) yang membuat disyariatkannya hukuman bagi perbuatan minum minuman keras. Lantas menjaga nasab/keturunan (Hifzh An-Nasl) yang membuat disyariatkannya hukuman perbuatan zina. Kemudian menjaga harta (Hifzh Al-Mal) yang membuat disyariatkannya hukuman bagi pencurian dan perampokan. Dan menjaga kehormatan (Hifzh Al-‘Irdh) yang membuat disyariatkannya hukuman menuduh berzina (Qadzaf). Hal ini ditambahkan oleh Mushannif (penulis), seperti At-Thufi, dan disambungkan dengan menggunakan huruf Wawu untuk menunjukkan bahwa Hifzh Al-‘Irdh setingkat dengan Hifzh Al-Mal, dan menyambungkan masing-masing yang empat sebelumnya dengan huruf Fa’ untuk menginformasikan bahwa yang empat itu berada di atas tingkat Hifzh Al-Mal.”
Atas dasar itu pulalah yang berlaku dalam kitab Maraqi As-Su’ud. Beliau mengatakan,
“Agama, kemudian jiwa, lalu akal, nasab dan harta dinisbatkan pada Dharurah dan diurutkan. Disambungkan kehormatan dengan harta secara setara, jadilah pelengkap. Menjaganya adalah kemestian bagi manusia di setiap syariat dari agama.”
Lihat Maraqi As-Su’ud ila Maraqi As-Su’ud, hal. 349.
Urutan seperti ini merupakan masalah ijtihad. Ada perbedaan pendapat mengenai hal itu yang akan tampak ketika diterapkan.
Ibnu Amir Al-Haj Rahimahullah mengatakan, “Hifzh Ad-Din (menjaga agama) diutamakan daripada Dharuriyat lainnya ketika terjadi kontradiksi, karena menjaga agamalah tujuan yang paling besar. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
‘Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.’ (QS. Ad-Dzariyat : 56).
Dharuriyat yang lain merupakan tujuan dari menjaga agama, dan oleh karena manfaatnya merupakan manfaat yang paling sempurna, yaitu meraih kebahagiaan abadi di sisi Tuhan semesta alam.
Kemudian menjaga jiwa diutamakan daripada menjaga nasab/keturunan, akal dan harta karena mengandung kemaslahatan agama. Ia dapat diraih dengan ibadah. Ibadah tersebut tergantung dengan keberadaan jiwa.
Lalu menjaga nasab/keturunan diutamakan daripada yang lainnya, karena ia diperuntukkan bagi tetapnya jiwa anak. Dengan diharamkannya zina, maka tidak terjadi percampuran nasab; si anak dinisbatkan pada satu orang, sehingga orang tersebut benar-benar memerhatikan pendidikannya dan penjagaan jiwanya. Jika tidak demikian, maka jiwanya akan terlantar karena ketidakmampuan dalam menjaganya.
Lantas menjaga akal diutamakan daripada daripada menjaga harta, karena jiwa akan hilang dengan hilangnya akal. Dengan hilangnya akal, bahkan manusia masuk dalam kategori hewan dan taklif pun gugur darinya. Selanjutnya dengan hilangnya akal, maka diwajibkan pula sesuatu yang membuat hilangnya jiwa yaitu diyat secara sempurna. Beberapa arahan yang sangat bermanfaat dalam mengurutkan hal-hal yang disebutkan dalam bentuk pendahuluan dan pengakhiran seperti ini senantiasa membutuhkan perenungan.
Kemudian menjaga harta. Ada juga yang mengatakan menjaga harta diutamakan -seperti halnya menjaga jiwa, akal dan nasab- daripada menjaga agama, sebagaimana disampaikan bukan hanya oleh satu orang. Seolah-olah penulis ingin memperingatkan yang rendah daripada yang tinggi dengan cara yang lebih utama. Memang sebaiknya mengutamakan empat (menjaga jiwa, akal, nasab dan harta) ini daripada menjaga agama, karena ia adalah hak manusia (hak Adami) yang dasarnya adalah kesempitan, pendek dan berbahaya jika hilang. Sedangkan agama adalah hak Allah yang dasarnya adalah kemudahan dan toleransi. Karena Dia Maha Kaya, maka tidak berbahaya dengan hilangnya agama. Oleh karena mengutamakan keempat hal ini daripada agama, maka shalat Jumat dan jamaah bisa ditinggalkan yang mana keduanya bersifat agama demi untuk menjaga harta yang sifatnya duniawi. Menurut Abu Yusuf, shalat dapat diputus demi menjaga dirham. Ringkasnya, seandainya dirham dicuri darinya atau dari orang lain, maka shalat fardhu dan shalat sunah boleh diputus.” (At-Tahrir wa At-Tahbir, 3/231).
Anda akan melihat bahwa pendapat yang menyatakan menjaga jiwa lebih terpandang memiliki banyak contoh, seperti bolehnya mengatakan kata-kata (yang dihukumi) kafir ketika dipaksa itu juga untuk menjaga jiwa, bolehnya memakan bangkai dan meminum khamr (minuman keras) karena terpaksa itu juga demi menjaga jiwa, ditambah lagi bolehnya meninggalkan shalat Jumat dan shalat jamaah apabila khawatir akan dirinya (jiwanya) dari musuh, binatang buas dan lainnya.
Al-Amidi sudah membahas panjang lebar dalam Al-Instishar dalam mengutamakan menjaga dasar agama dan menjawab pendapat-pendapat yang menyelisihi hal itu.
Di antara pembicaraan Al-Amidi Rahimahullah, “Jika dikatakan, ‘Bahkan jika menyebabkan penjagaan terhadap tujuan jiwa, maka ia lebih utama dan lebih kuat. Hal itu karena maksud dari agama adalah hak Allah Ta’ala, dan maksud dari yang lainnya adalah hak manusia, sedangkan hak manusia dikuatkan daripada hak-hak Allah Ta’ala karena ia berdasar pada kesempitan dan kesulitan, sementara hak-hak Allah berdasar pada toleransi dan kemudahan, karena Allah tidak akan bermasalah dengan hilangnya hak-hak-Nya. Menjaga hak-hak manusia lebih utama daripada menjaga hak-hak yang pemilik haknya tidak bermasalah jika haknya hilang. Oleh karena itulah, kami menguatkan hak-hak manusia atas hak-hak Allah dengan dalil jika seandainya hak Allah dan hak manusia saling tarik-ulur alam satu tempat dan sulit untuk memenuhi keduanya, misalnya ada seseorang kafir dan membunuh dengan sengaja disertai permusuhan, maka kami akan menghukum bunuh padanya sebagai Qishash, bukan karena kafirnya.
Selain itu, kami utamakan kemaslahatan jiwa di atas kemaslahatan agama, sebagaimana kami memberikan keringanan bagi musafir dengan menggugurkan dua rakaat dan pelaksanaan puasa, dan bagi orang sakit dengan tidak melakukan shalat sambil berdiri dan tidak menunaikan ibadah puasa. Dan kami mendahulukan kemaslahatan jiwa di atas kemaslahatan shalat terkait dengan penyelamatan orang yang tenggelam, dan yang lebih hebat lagi adalah kami mendahulukan kemaslahatan harta di atas kemaslahatan agama di mana kami bolehkan meninggalkan shalat Jumat dan shalat berjamaah karena keperluan untuk menjaga harta sekecil apapun. Dan kami mendahulukan kemaslahatan umat Islam terkait dengan menetapkan ahli dzimmah di tengah-tengah mereka di atas kemaslahatan agama, sehingga bisa menjaga darah dan hartanya, meskipun terdapat kekafiran yang dibolehkan.’
Maka kami katakan, ‘Adapun jiwa, sebagaimana ia berkaitan dengan hak manusia berdasarkan beberapa hukum, maka ia juga berkaitan dengan hak Allah Ta’ala berdasarkan hukum-hukum yang lain, dan oleh karena itu haram baginya bunuh diri dan berbuat yang mengarah pada pengabaian terhadap diri sendiri. Dengan demikian, pengutamaan hanya berkaitan dengan kedua hak tersebut, dan bukan tidak mungkin mendahulukan hak Allah dan hak manusia di atas sesuatau yang memurnikan hak untuk Allah.
Adapun memberikan keringanan bagi musafir dan orang sakit, tidaklah mengutamakan tujuan dari jiwa di atas tujuan pokok agama, melainkan pada cabang-cabangnya, dan cabang-cabang dari pokok bukanlah pokok sesuatu.
Maka kalaupun ada, maka kesusahan melaksanakan dua rakaat saat bepergian menggantikan kesusahan empat rakaat saat berada di rumah (tidak bepergian). Demikian pula shalat orang sakit sambil duduk dikaitkan dengan shalatnya sambal berdiri dalam keadaan sehat. Jadi, tujuannya tidak berbeda.
Adapun pelaksanaan puasa karena ia tidak hilang sama sekali, melainkan diganti yaitu dengan mengqadha’nya. Pada hal itu pulalah menyelamatkan orang yang tenggelam dan meninggalkan shalat Jumat dan shalat berjamaah untuk menjaga harta yang mereka sebutkan digerakkan. Adanya ahli dzimah di tengah-tengah antara umat Islam yang dilindungi darah dan hartanya, bukan untuk kepentingan umat Islam, tetapi demi mengenalkannya pada keindahan-keindahan syariat dan kaidah-kaidah agama, agar lebih mudah mengikutinya dan memudahkan bimbingannya, dan itu demi kemaslahatan agama dan bukan demi kemaslahatan yang lain.’” (Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, 4/275).
Perbedaan mengenai urut-urutan ini semua diakui, karena setiap pendapat memiliki dalilnya.
Untuk mendapatkan penjelasan lebih, lihat
Wallahu A’lam.